![]() |
Ir. Fransiscus Go, SH |
Ironisnya, mayoritas
pekerja migran yang meninggal itu, merupakan pekerja non-prosedural atau
ilegal. Mereka nekat berangkat tanpa dokumen resmi. Terkait fenomena ini,
pemerhati masalah ketenagakerjaan, Ir. Fransiscus Go, SH, angkat bicara.
Dihubungi melalui telepon selulernya, Sabtu (3/5), pengusaha filantropi ini
menegaskan, perlu aksi nyata! “Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TTPO, harus
ditumpas hingga akar-akarnya,” tandas Frans Go, panggilannya.
Kasus meninggalnya 49
PMI asal NTT yang pulang tak bernyawa per April 2025, lanjut CEO GMT Institute
itu, adalah bukti kegagalan sistem dalam melindungi warga Indonesia dari
sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang. Frans Go lalu membeberkan sejumlah
fakta yang tak boleh diabaikan.
Diantaranya: modus
kejam dimana korban dijebak dengan iming-iming kerja legal, tapi nyatanya
disiksa, dipaksa jadi budak scamming, atau mati mengenaskan di negeri orang.
Selain itu, lemahnya lubang pengawasan. Mayoritas korban berangkat ilegal, dan
kurangnya penindakan terhadap calo dan agen nakal. “Harapan kita pemerintah
bergerak lebih cepat! Hukum pelaku hingga kesindikat internasionalnya. Bukan
hanya “penyelidikan berjalan”. Gencarkan sosialisasi bahaya TPPO hingga ke
desa-desa, khususnya daerah rawan seperti NTT, serta perketat kerja sama dengan
negara tujuan guna pemantauan PMI real-time.
“Ini darurat
kemanusiaan! Setiap korban adalah ayah, ibu, atau anak yang menjadi bukti
kelalaian kita. Jangan ada lagi nyawa melayang karena pembiaran!” ujar Frans Go
yang menginisiasi terbentuknya Komunitas “BAJAGA” atau “Baku Jaga”. Komunitas
ini fokus pada kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di wilayah
Nusa Tenggara Timur, dan berkantor pusat di Jakarta. (*) rakyatntt.com