Lucunya, kondisi
pikiran kosong dan kantong kosong sering datang sepaket. Tidak tahu kenapa,
tapi saat kepala lagi tidak bisa mikir jernih, saldo rekening pun biasanya ikut
merosot drastis. Seolah-olah ada hubungan tak kasat mata antara keuangan dan
kesehatan mental kita.
Kosong di Kepala, Kosong di Dompet
Pikiran kosong itu
nggak selalu soal “malas” atau “nggak produktif”. Banyak orang yang
mengalaminya bukan karena nggak mau mikir, tapi karena udah terlalu lelah untuk
berpikir. Lelah karena harus kuat setiap hari, lelah menyenangkan ekspektasi
orang tua, lelah dibanding-bandingkan dengan pencapaian teman di media sosial,
dan lelah menjalani hidup yang terasa stagnan.
Sementara itu, kantong
kosong adalah realita lain yang nyatanya juga ikut memengaruhi kondisi mental
kita. Gaji bulanan belum naik, tapi harga-harga udah lari maraton. Akhirnya,
uang habis untuk bertahan hidup, bukan untuk menikmati hidup. Keuangan menipis,
kepercayaan diri pun ikut luntur. Kita mulai mempertanyakan diri: “Kenapa sih
hidup orang lain kelihatannya lebih gampang?”
Padahal, mereka yang
kita lihat "sukses" pun mungkin punya momen-momen kosong seperti
kita. Hanya saja, nggak semuanya diumbar ke publik.
Semua Orang Pernah Kosong
Salah satu jebakan di
era digital ini adalah ilusi bahwa semua orang tampak punya arah. Scroll
Instagram atau LinkedIn sebentar, kita bisa lihat teman seangkatan udah punya
jabatan, liburan ke luar negeri, atau lulus S2. Sementara kita? Lagi mikirin
besok makan apa, dan sisa pulsa tinggal 2 ribu. Sedih? Jelas. Tapi kita lupa,
semua orang punya timeline hidup yang beda-beda.
Kita pun jarang
diajarin cara menghadapi fase “kosong”. Fase di mana kita nggak tahu harus
ngapain, tapi juga nggak bisa berhenti ngerasa bersalah karena nggak
ngapa-ngapain. Padahal, justru fase inilah yang sering jadi awal dari kesadaran
baru—asal kita bisa bertahan sedikit lebih lama dan nggak buru-buru menyerah.
Kosong Bukan Akhir, Tapi Tanda untuk Istirahat
Ketika kepala terasa
kosong, dan dompet ikut menipis, sering kali tubuh kita sebenarnya sedang
memberi sinyal: “Berhenti sebentar. Tarik napas.” Kita bukan robot yang bisa
terus produktif setiap hari. Kita manusia yang perlu istirahat, rehat, dan
refleksi.
Jangan anggap kosong
itu akhir dari segalanya. Kadang, kekosongan itu adalah ruang. Ruang untuk
menyusun ulang arah, untuk menyadari bahwa kita nggak harus terus berlari demi
validasi. Dan ya, kamu tetap berharga meskipun sekarang belum punya apa-apa.
Jangan remehkan
kekuatan dari bangun pagi, minum kopi, jalan kaki sebentar, dan ngobrol dari
hati ke hati. Hal-hal kecil ini sering kali jadi penolong ketika hidup terasa
kosong. Karena kuncinya bukan selalu "isi kepala dengan banyak hal",
tapi cukupkan dulu hatimu dengan kesadaran: hidupmu tetap bernilai meski tak
selalu ramai pencapaian.
Menutup Hari dengan Harapan
Kalau hari ini kamu
merasa kosong—di pikiran, di dompet, bahkan di hati—nggak apa-apa. Nggak semua
hari harus produktif. Nggak semua fase hidup harus spektakuler. Kadang, diam
dan bertahan pun sudah cukup keren.
Percayalah, fase ini
akan berlalu. Pelan-pelan, kamu akan isi lagi pikiranmu dengan harapan, dan
kantongmu pun akan menemukan jalannya kembali. Mungkin bukan hari ini, tapi
esok akan selalu punya peluang baru. Dan sampai hari itu datang, cukupkan
dirimu dengan keyakinan bahwa kamu sedang tumbuh, bahkan jika rasanya masih
kosong.