Dalam era media sosial,
jadi pemimpin tidak cukup hanya kerja nyata. Harus terlihat kerja. Kamera dan
caption sering kali menjadi alat utama, bukan lagi pendukung. Pemimpin sibuk
membangun tampilan, tapi lupa bertanya, apakah masyarakat sungguh merasakan dampaknya?
Fenomena ini bukan
kebetulan. Pemimpin birokrasi hari ini hidup dalam dunia yang penuh tuntutan
tampil dan menunjukkan kinerja. Akhirnya, banyak dari mereka berlomba jadi yang
paling “terlihat peduli” atau “paling berkinerja”. Kunjungan lapangan satu jam
bisa diabadikan dalam ratusan foto dan video. Laporan program digantikan dengan
unggahan konten yang viral.
Christopher Lasch,
seorang sejarawan, kritikus sosial, dan penulis Amerika Serikat yang terkenal
karena kritik tajamnya terhadap budaya modern, kapitalisme konsumeristik, dan
kemerosotan nilai-nilai komunitas serta otoritas moral, menyebut ini sebagai
masyarakat narsistik, yaitu sebuah masyarakat yang lebih sibuk melihat pantulan
diri di cermin, daripada memperbaiki isi ruangannya. Pemimpin seperti ini
cenderung mengganti kerja nyata dengan representasi visual, dan mengganti
refleksi dengan pujian publik. Masalahnya, budaya citra ini menular. Pegawai di
bawahnya pun ikut-ikutan. Bukan lagi fokus pada pelayanan, tapi bagaimana
caranya mendukung panggung pimpinan, atau menampilkan citra agar dilihat
pimpinannya. Konten dikemas seragam dan kritik dibungkam demi menjaga suasana
dan tampilan citra. Lama-lama, birokrasi lebih sibuk melayani persepsi, bukan
kebutuhan rakyat.
Dalam masyarakat
seperti ini, validasi dari luar jadi segalanya. Pemimpin tidak lagi bertanya,
“apa yang benar?”, tapi “apa yang disukai publik?”. Celakanya, ini bukan karena
mereka terlalu percaya diri. Justru karena di dalamnya, mereka rapuh. Mereka
butuh terus dikagumi, karena tidak punya pusat moral yang kuat untuk menahan
godaan sorotan dan ilusi citra.
Jika terus dibiarkan,
pemimpin akan lebih takut kehilangan simpati publik ketimbang kehilangan
integritas. Kritik jadi ancaman, pujian jadi candu, dan pelayanan berubah jadi
panggung, bukan proses. Seperti Lasch bilang, ini bukan demokrasi, ini hiburan.
Carl Gustav Jung,
seorang tokoh dalam psikoanalitik pernah menyebut bahwa setiap orang punya
persona atau topeng sosial, agar ia bisa berfungsi dalam masyarakat. Tapi kalau
seseorang terlalu melekat pada topeng itu, ia akan kehilangan jati dirinya.
Begitu pula pemimpin birokrasi. Apabila terlalu sering ingin tampil sempurna,
terlalu sibuk dengan pencitraan, akhirnya lupa siapa dirinya sebenarnya. Ia
hanya mengulang skrip yang disukai publik, dan menekan sisi manusiawinya, rasa
takut, rasa gagal, dan kegelisahan.
Dari luar terlihat
kuat, tapi di dalam bisa kosong. Lebih berbahaya lagi, ketika topeng pemimpin
jadi standar di birokrasi, maka semua orang akan mulai berpura-pura. Tidak
boleh lelah, tidak boleh ragu, dan tidak boleh jujur demi citra yang baik di
hadapan publik.
Sigmund Freud, seorang
tokoh psikoanalisis menyebut proses ini sebagai represi, yaitu menekan perasaan
yang tidak sesuai dengan tuntutan luar. Dalam birokrasi, banyak pemimpin yang
sebenarnya ingin berbenah, jujur, atau menyampaikan kebenaran. Tapi karena
tekanan untuk terlihat “baik-baik saja”, perasaan itu ditekan dalam.
Semakin lama ditekan,
semakin besar energi yang dibutuhkan. Akhirnya muncul dalam bentuk lain,
sinisme, kelelahan, atau keputusan yang impulsif. Pemimpin jadi mudah
tersinggung, mudah menyalahkan, atau sebaliknya, terlalu butuh dikagumi. Di
titik ini, bukan hanya individu yang kelelahan. Birokrasi pun ikut kehilangan
arah.
Budaya ini tidak
berhenti di pimpinan. Ia menyebar ke seluruh organisasi. ASN muda belajar bahwa
yang penting itu tampil “solid” di depan atasan, bukan menyuarakan ide. Sikap
berani mengkritik dianggap tidak loyal, dan yang jujur dinilai kurang pandai
bersikap. Akhirnya semua belajar menekan. Menekan gagasan, menekan keresahan,
menekan integritas. Lama-lama birokrasi penuh orang baik yang kehilangan
keberanian.
Sistem terlihat stabil
di luar, tapi retak di dalam. Ia berjalan, tapi hanya karena semua takut
berhenti. Saat krisis datang, sistem gampang runtuh, karena memang tidak pernah
dibangun untuk kuat dari dalam, tapi hanya untuk tampak kokoh di luar.
Tulisan ini bukan ingin
menyalahkan siapa-siapa. Tapi sebagai ajakan untuk bercermin. Karena birokrasi
yang sehat dimulai dari keberanian untuk melihat ke dalam. Kita butuh pemimpin
yang berani hadir dan otentik, bukan hanya tampil. Pemimpin yang mau bekerja
dalam sunyi, bukan sekadar menunggu sorak ramai dan banyaknya sorot kamera.
Yang siap menerima kritik, dan tetap tenang dalam badai pujian.
Pelayanan publik sejati
tidak butuh banyak dokumentasi. Ia butuh kehadiran, kejujuran, dan keutuhan.
Mungkin tidak akan viral. Mungkin tidak banyak disorot. Tapi seperti benih yang
tumbuh di tanah sunyi, justru di situlah letak kekuatan birokrasi yang tahan
lama.