banner Cermin, Kepemimpinan, dan Candu Ilusi Citra : Suara Reflektif Akar Rumput

Cermin, Kepemimpinan, dan Candu Ilusi Citra : Suara Reflektif Akar Rumput



Suara Numbei News - Setiap pagi, di layar ponsel kita, bermunculan unggahan tentang pemimpin birokrasi kini, tersenyum di lapangan, memberi bantuan, meninjau proyek, atau berfoto bersama staf. Caption-nya menyentuh hati, “Bersama rakyat membangun negeri”, “Pemimpin hadir di tengah masyarakat”. Semuanya tampak indah. Tapi lama-lama, kita mulai bertanya, Ini benar pelayanan kepada masyarakat? Atau sekadar pertunjukan citra?

Dalam era media sosial, jadi pemimpin tidak cukup hanya kerja nyata. Harus terlihat kerja. Kamera dan caption sering kali menjadi alat utama, bukan lagi pendukung. Pemimpin sibuk membangun tampilan, tapi lupa bertanya, apakah masyarakat sungguh merasakan dampaknya?

Fenomena ini bukan kebetulan. Pemimpin birokrasi hari ini hidup dalam dunia yang penuh tuntutan tampil dan menunjukkan kinerja. Akhirnya, banyak dari mereka berlomba jadi yang paling “terlihat peduli” atau “paling berkinerja”. Kunjungan lapangan satu jam bisa diabadikan dalam ratusan foto dan video. Laporan program digantikan dengan unggahan konten yang viral.

Christopher Lasch, seorang sejarawan, kritikus sosial, dan penulis Amerika Serikat yang terkenal karena kritik tajamnya terhadap budaya modern, kapitalisme konsumeristik, dan kemerosotan nilai-nilai komunitas serta otoritas moral, menyebut ini sebagai masyarakat narsistik, yaitu sebuah masyarakat yang lebih sibuk melihat pantulan diri di cermin, daripada memperbaiki isi ruangannya. Pemimpin seperti ini cenderung mengganti kerja nyata dengan representasi visual, dan mengganti refleksi dengan pujian publik. Masalahnya, budaya citra ini menular. Pegawai di bawahnya pun ikut-ikutan. Bukan lagi fokus pada pelayanan, tapi bagaimana caranya mendukung panggung pimpinan, atau menampilkan citra agar dilihat pimpinannya. Konten dikemas seragam dan kritik dibungkam demi menjaga suasana dan tampilan citra. Lama-lama, birokrasi lebih sibuk melayani persepsi, bukan kebutuhan rakyat.

Dalam masyarakat seperti ini, validasi dari luar jadi segalanya. Pemimpin tidak lagi bertanya, “apa yang benar?”, tapi “apa yang disukai publik?”. Celakanya, ini bukan karena mereka terlalu percaya diri. Justru karena di dalamnya, mereka rapuh. Mereka butuh terus dikagumi, karena tidak punya pusat moral yang kuat untuk menahan godaan sorotan dan ilusi citra.

Jika terus dibiarkan, pemimpin akan lebih takut kehilangan simpati publik ketimbang kehilangan integritas. Kritik jadi ancaman, pujian jadi candu, dan pelayanan berubah jadi panggung, bukan proses. Seperti Lasch bilang, ini bukan demokrasi, ini hiburan.

Carl Gustav Jung, seorang tokoh dalam psikoanalitik pernah menyebut bahwa setiap orang punya persona atau topeng sosial, agar ia bisa berfungsi dalam masyarakat. Tapi kalau seseorang terlalu melekat pada topeng itu, ia akan kehilangan jati dirinya. Begitu pula pemimpin birokrasi. Apabila terlalu sering ingin tampil sempurna, terlalu sibuk dengan pencitraan, akhirnya lupa siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya mengulang skrip yang disukai publik, dan menekan sisi manusiawinya, rasa takut, rasa gagal, dan kegelisahan.

Dari luar terlihat kuat, tapi di dalam bisa kosong. Lebih berbahaya lagi, ketika topeng pemimpin jadi standar di birokrasi, maka semua orang akan mulai berpura-pura. Tidak boleh lelah, tidak boleh ragu, dan tidak boleh jujur demi citra yang baik di hadapan publik.

Sigmund Freud, seorang tokoh psikoanalisis menyebut proses ini sebagai represi, yaitu menekan perasaan yang tidak sesuai dengan tuntutan luar. Dalam birokrasi, banyak pemimpin yang sebenarnya ingin berbenah, jujur, atau menyampaikan kebenaran. Tapi karena tekanan untuk terlihat “baik-baik saja”, perasaan itu ditekan dalam.

Semakin lama ditekan, semakin besar energi yang dibutuhkan. Akhirnya muncul dalam bentuk lain, sinisme, kelelahan, atau keputusan yang impulsif. Pemimpin jadi mudah tersinggung, mudah menyalahkan, atau sebaliknya, terlalu butuh dikagumi. Di titik ini, bukan hanya individu yang kelelahan. Birokrasi pun ikut kehilangan arah.

Budaya ini tidak berhenti di pimpinan. Ia menyebar ke seluruh organisasi. ASN muda belajar bahwa yang penting itu tampil “solid” di depan atasan, bukan menyuarakan ide. Sikap berani mengkritik dianggap tidak loyal, dan yang jujur dinilai kurang pandai bersikap. Akhirnya semua belajar menekan. Menekan gagasan, menekan keresahan, menekan integritas. Lama-lama birokrasi penuh orang baik yang kehilangan keberanian.

Sistem terlihat stabil di luar, tapi retak di dalam. Ia berjalan, tapi hanya karena semua takut berhenti. Saat krisis datang, sistem gampang runtuh, karena memang tidak pernah dibangun untuk kuat dari dalam, tapi hanya untuk tampak kokoh di luar.

Tulisan ini bukan ingin menyalahkan siapa-siapa. Tapi sebagai ajakan untuk bercermin. Karena birokrasi yang sehat dimulai dari keberanian untuk melihat ke dalam. Kita butuh pemimpin yang berani hadir dan otentik, bukan hanya tampil. Pemimpin yang mau bekerja dalam sunyi, bukan sekadar menunggu sorak ramai dan banyaknya sorot kamera. Yang siap menerima kritik, dan tetap tenang dalam badai pujian.

Pelayanan publik sejati tidak butuh banyak dokumentasi. Ia butuh kehadiran, kejujuran, dan keutuhan. Mungkin tidak akan viral. Mungkin tidak banyak disorot. Tapi seperti benih yang tumbuh di tanah sunyi, justru di situlah letak kekuatan birokrasi yang tahan lama.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama