Petani desa yang miskin
kerap terjebak dalam lingkaran ini karena minimnya modal. Mereka terpaksa
berutang ke tengkulak dengan posisi tawar yang lemah, lalu terus-menerus
berutang untuk menutupi produksi.
Kondisi ini terus
berulang dan menjadi penghambat utama keluar dari jeratan kemiskinan. Dari
sini, lahirlah Koperasi Merah Putih sebagai solusi besar yang ditawarkan
pemerintah.
Salah satu program
unggulan di bawah Presiden Prabowo adalah Koperasi Merah Putih. Berdasarkan
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025, program ini ditujukan untuk mempercepat
pembentukan koperasi di desa dan kelurahan dengan tujuan mengentaskan
kemiskinan dari akar, yakni desa.
Konsepnya adalah
mendorong kemandirian ekonomi desa agar semua sektor berkembang, ketahanan pangan membaik,
dan taraf hidup masyarakat meningkat.
Program ini bertujuan
menghapus ketergantungan pada rentenir dan mempercepat transaksi hasil
pertanian. Setidaknya ada tujuh unit strategis yang dirancang koperasi ini:
·
Kantor koperasi
sebagai pusat bisnis
·
Pengadaan
sembako untuk ketahanan pangan
·
Unit simpan
pinjam
·
Klinik desa
·
Apotek desa
·
Gudang pendingin
(cold storage) untuk hasil panen
·
Logistik desa
untuk mobilisasi hasil panen
Namun, program besar
ini tentu membutuhkan dana besar pula. Setiap desa diperkirakan membutuhkan
dana Rp2–5 miliar. Jika ditargetkan membentuk 80.000 koperasi hingga launching
pada 12 Juli 2025, maka total kebutuhan dana mencapai Rp400 triliun.
Pertanyaannya, dari
mana dana sebesar ini akan datang? Apalagi pemerintah tengah mendorong
efisiensi anggaran di semua sektor.
Menteri Koordinator
Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa modal awal koperasi berasal
dari pinjaman Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Skema pelunasannya
dirancang 5–10 tahun dengan subsidi bunga. Penyaluran dana akan melalui
verifikasi kebutuhan koperasi oleh pihak bank sebelum pencairan dilakukan.
Namun, kekhawatiran
muncul karena sejarah mencatat banyak program koperasi gagal total. Beberapa
contohnya:
·
Koperasi Unit
Desa (KUD) era Orde Baru (Inpres No. 4 Tahun 1984) yang akhirnya mati suri
·
KSP Indosurya
Cipta yang menipu 23.000 nasabah dengan total kerugian Rp103 triliun
·
KSP Sejahtera
Bersama yang merugikan 186.000 nasabah sebesar Rp8,8 triliun
·
KSP Lima Garuda
gagal bayar Rp400 miliar ke 500 nasabah
Pengalaman pahit masa
lalu membuat masyarakat makin skeptis terhadap koperasi. Ini menjadi tantangan
serius bagi pemerintah. Apakah Koperasi Merah Putih bisa meyakinkan publik dan
para pemangku kepentingan bahwa program ini akan transparan dan tidak berujung
gagal?
Beberapa poin penting
perlu menjadi pelajaran:
1. Koperasi harus dibentuk dari bawah, bukan top-down.
Banyak koperasi gagal karena dibentuk atas
instruksi, bukan inisiatif anggota. Padahal, esensi koperasi adalah kepemilikan
bersama dan gotong royong. Pemerintah sebaiknya mulai dari proyek percontohan
dengan pendekatan organik, baru dikembangkan secara nasional setelah pola
keberhasilan ditemukan.
2.
Sumber daya
manusia desa belum siap.
Minimnya pemahaman, pengalaman, dan kemauan belajar
bisa menjadi penghambat serius. Pemerintah harus menyiapkan pengawas koperasi
yang kompeten dan membekali mereka dengan pelatihan berkelanjutan.
3.
Transparansi dan
akuntabilitas harus menjadi prinsip utama.
Dengan dana ratusan triliun, risiko korupsi sangat
tinggi. Oleh karena itu, perlu koordinasi ketat dengan KPK dan aparat penegak
hukum agar pengawasan berjalan maksimal. Program ini tidak boleh menjadi
"lahan basah" bagi oknum-oknum yang ingin memanfaatkan situasi.
Kita perlu kembali ke
nilai-nilai dasar koperasi: tumbuh secara alami, berbasis kebutuhan nyata, dan
dibangun oleh partisipasi anggota. Pendekatan berbasis kearifan lokal dan
keunggulan daerah lebih efektif ketimbang program seragam yang tidak
kontekstual.
Pemerintah harus
mendorong koperasi sektoral yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi tiap
daerah. Ini bisa menjadi langkah awal uji coba. Ketika koperasi dibangun atas
kesadaran kolektif dan rasa memiliki, maka keberlanjutannya akan lebih
terjamin.
Selamat Hari Koperasi!
Mari bangun Indonesia dari desa—dengan koperasi yang benar-benar milik rakyat,
untuk rakyat, dan oleh rakyat. ***