Demokrasi Era Digital: Ruang Tanpa Pagar
Fenomena ini
menunjukkan dua wajah demokrasi digital. Di satu sisi, ia membuka jalan bagi
partisipasi publik yang luas. Rasa frustrasi yang dulu hanya jadi keluh kesah
di media sosial, kini bisa berubah jadi aksi nyata dalam hitungan jam. Internet
dan pesan instan menjadi pemantik yang lebih cepat dari rapat-rapat organisasi
formal.
Namun di sisi lain,
inilah bahaya dari anonimitas: demokrasi tanpa kontrol, tanpa arah, dan tanpa
struktur yang tetap dapat menjaga energi publik berada di jalur yang sehat.
Dari Tuntutan Rasional ke Amarah Kolektif
Tuntutan awal
sebenarnya wajar dan sangat mulia: transparansi penggunaan anggaran DPR dan
pemerintah, akuntabilitas aparat, dan keadilan bagi korban pascatragedi.
Tetapi dalam
hiruk-pikuk demonstrasi anonim, tuntutan itu terkesan mulai memudar. Gedung
dibakar, fasilitas publik dirusak, dan orasi berubah menjadi teriakan.
Slogan-slogan berganti setiap hari, fokus semakin kabur, dan ruang dialog
terkunci oleh asap ban yang terbakar.
Di sisi lain, respons pemerintah
juga kurang bijak seperti pembatasan media, sikap represif, pembatasan medsos,
dan muncul issue internet shutdown. Bahkan sampai sekarang belum ada statement
yang meneduhkan atau mengurangi amarah publik. Posisi ini menjadikan pemerintah
vis a vis dengan amarah publik.
Siapa yang bertanggung
jawab ketika itu terjadi? Tak ada. Semua terlibat, tetapi tak seorang pun
memimpin, bahkan pemerintah.
Kehilangan Figur Moral dan Krisis Arah
Sejarah Indonesia menunjukkan,
gerakan perubahan besar biasanya punya simpul moral—mahasiswa, akademisi, tokoh
ormas—yang berani pasang badan. Kini, di era serba daring, siapa pun bisa
memantik, tapi tak ada yang mau mengarahkan. Akibatnya, energi besar yang lahir
dari rasa frustrasi justru menjadi bahan bakar kekacauan.
Ini sekaligus
mengingatkan kita akan sisi gelap demokrasi digital: semua orang bisa bersuara,
tapi siapa yang memastikan suara itu membawa solusi, bukan api. Dampaknya semua
dirugikan dan tidak ada demokrasi yang bertanggungjawab.
Jalan Keluar: Dari Reaksi ke Aksi Bijak
Penindakan semata tidak
akan menyelesaikan masalah. Menahan aparat yang bersalah atau menangkap perusuh
hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah membuka saluran komunikasi
yang kredibel antara negara dan rakyat. Kalau masyarakat merasa suaranya hanya
bisa didengar lewat kerusuhan, itu pertanda mekanisme demokrasi kita sedang
pincang.
Peran media, akademisi,
dan masyarakat sipil menjadi krusial. Bukan untuk membela pemerintah, tapi
untuk mengembalikan arah dan memberi pencerahan. Bukan malah dibungkam dan
dinodai. Demokrasi sehat memerlukan keberanian moral untuk bicara waras, meski
risikonya jadi sasaran kritik.
Kebebasan berpendapat
tidak boleh dimaknai sebagai hak untuk menghancurkan. Demokrasi lahir untuk
membagi tanggung jawab secara adil, bukan menghilangkannya. Jika gerakan massa
terus dibiarkan liar, ia justru akan melukai cita-cita reformasi itu sendiri.
Indonesia pernah
melalui masa sulit serupa dan sejarah telah mengajarkan; keberanian saja tidak
cukup. Kita butuh arah. Hari ini, di hadapan wajah anonim demokrasi yang
semakin liar, kita punya pilihan, membiarkannya menjadi bara yang membakar
segalanya, atau mengisinya dengan keberanian yang bertanggung jawab.
Demokrasi yang matang
bukan yang paling bising, tetapi yang mampu membawa perubahan, tanpa
meninggalkan puing di belakangnya atau menghadirkan luka.