banner Fenomena Wajah Anonimitas Demokrasi: Ruang Bersuara Tanpa Pagar

Fenomena Wajah Anonimitas Demokrasi: Ruang Bersuara Tanpa Pagar



Suara Numbei News - Beberapa hari terakhir, Indonesia diguncang gelombang demonstrasi di berbagai kota. Dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, hingga Makassar, massa turun ke jalan, dipicu peristiwa tragis yang merenggut nyawa seorang pemuda akibat demontrasi ketidakpuasan terhadap DPR, Kamis (28/8). Namun yang mencolok bukan hanya kemarahannya, melainkan cara gerakan ini muncul: tanpa tokoh sentral, tanpa organisasi yang jelas, tanpa komando yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Gerakan ini anonim—dan justru karena itu, menjadi liar.

Demokrasi Era Digital: Ruang Tanpa Pagar

Fenomena ini menunjukkan dua wajah demokrasi digital. Di satu sisi, ia membuka jalan bagi partisipasi publik yang luas. Rasa frustrasi yang dulu hanya jadi keluh kesah di media sosial, kini bisa berubah jadi aksi nyata dalam hitungan jam. Internet dan pesan instan menjadi pemantik yang lebih cepat dari rapat-rapat organisasi formal.

Namun di sisi lain, inilah bahaya dari anonimitas: demokrasi tanpa kontrol, tanpa arah, dan tanpa struktur yang tetap dapat menjaga energi publik berada di jalur yang sehat.

Dari Tuntutan Rasional ke Amarah Kolektif

Tuntutan awal sebenarnya wajar dan sangat mulia: transparansi penggunaan anggaran DPR dan pemerintah, akuntabilitas aparat, dan keadilan bagi korban pascatragedi.

Tetapi dalam hiruk-pikuk demonstrasi anonim, tuntutan itu terkesan mulai memudar. Gedung dibakar, fasilitas publik dirusak, dan orasi berubah menjadi teriakan. Slogan-slogan berganti setiap hari, fokus semakin kabur, dan ruang dialog terkunci oleh asap ban yang terbakar.

Di sisi lain, respons pemerintah juga kurang bijak seperti pembatasan media, sikap represif, pembatasan medsos, dan muncul issue internet shutdown. Bahkan sampai sekarang belum ada statement yang meneduhkan atau mengurangi amarah publik. Posisi ini menjadikan pemerintah vis a vis dengan amarah publik.

Siapa yang bertanggung jawab ketika itu terjadi? Tak ada. Semua terlibat, tetapi tak seorang pun memimpin, bahkan pemerintah.

Kehilangan Figur Moral dan Krisis Arah

Sejarah Indonesia menunjukkan, gerakan perubahan besar biasanya punya simpul moral—mahasiswa, akademisi, tokoh ormas—yang berani pasang badan. Kini, di era serba daring, siapa pun bisa memantik, tapi tak ada yang mau mengarahkan. Akibatnya, energi besar yang lahir dari rasa frustrasi justru menjadi bahan bakar kekacauan.

Ini sekaligus mengingatkan kita akan sisi gelap demokrasi digital: semua orang bisa bersuara, tapi siapa yang memastikan suara itu membawa solusi, bukan api. Dampaknya semua dirugikan dan tidak ada demokrasi yang bertanggungjawab.

Jalan Keluar: Dari Reaksi ke Aksi Bijak

Penindakan semata tidak akan menyelesaikan masalah. Menahan aparat yang bersalah atau menangkap perusuh hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah membuka saluran komunikasi yang kredibel antara negara dan rakyat. Kalau masyarakat merasa suaranya hanya bisa didengar lewat kerusuhan, itu pertanda mekanisme demokrasi kita sedang pincang.

Peran media, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi krusial. Bukan untuk membela pemerintah, tapi untuk mengembalikan arah dan memberi pencerahan. Bukan malah dibungkam dan dinodai. Demokrasi sehat memerlukan keberanian moral untuk bicara waras, meski risikonya jadi sasaran kritik.

Kebebasan berpendapat tidak boleh dimaknai sebagai hak untuk menghancurkan. Demokrasi lahir untuk membagi tanggung jawab secara adil, bukan menghilangkannya. Jika gerakan massa terus dibiarkan liar, ia justru akan melukai cita-cita reformasi itu sendiri.

Indonesia pernah melalui masa sulit serupa dan sejarah telah mengajarkan; keberanian saja tidak cukup. Kita butuh arah. Hari ini, di hadapan wajah anonim demokrasi yang semakin liar, kita punya pilihan, membiarkannya menjadi bara yang membakar segalanya, atau mengisinya dengan keberanian yang bertanggung jawab.

Demokrasi yang matang bukan yang paling bising, tetapi yang mampu membawa perubahan, tanpa meninggalkan puing di belakangnya atau menghadirkan luka.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama