banner Filosofi Bermain Layang-Layang Mengajarkan Kita Cara Membimbing Anak

Filosofi Bermain Layang-Layang Mengajarkan Kita Cara Membimbing Anak



Suara Numbei News - Musim kemarau selalu membawa suasana khas di banyak daerah di Indonesia. Angin yang berhembus kencang menjadi pertanda dimulainya musim bermain layang-layang. Di langit sore, sering terlihat warna-warni layangan beterbangan, saling mengadu, atau sekadar dibiarkan melayang tinggi mengikuti hembusan angin. Bagi sebagian orang, bermain layang-layang bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarat dengan makna filosofis yang dapat dijadikan pelajaran, terutama dalam dunia pendidikan anak.

Dulu, waktu kecil, banyak dari kita akrab dengan permainan ini. Tidak semua anak pandai membuat layangan, tetapi hampir semua senang menerbangkannya. Bahkan keseruan semakin terasa ketika ada layangan putus, anak-anak berlarian mengejarnya dengan penuh semangat. Dari permainan sederhana itu, sebenarnya tersimpan pesan mendalam yang dapat dianalogikan dengan cara mendidik anak: ada tarik ulur, ada kendali, ada arah angin, dan ada kebebasan.

Pertama, filosofi tarik ulur. Layangan bisa terbang tinggi jika benangnya dimainkan dengan seimbang—ditarik saat perlu dan diulur pada waktunya. Jika hanya ditarik terus-menerus, layangan akan jatuh karena kehilangan keseimbangan. Sebaliknya, jika benang diulur tanpa kendali, layangan bisa melayang liar lalu putus. Sama halnya dengan pendidikan. Anak-anak membutuhkan bimbingan yang kadang harus tegas (tarikan), tetapi juga perlu ruang kebebasan (uluran). Keseimbangan antara disiplin dan keleluasaan inilah yang membuat anak berkembang sesuai usianya, tanpa merasa tertekan, namun tetap memiliki kendali arah hidup.

Kedua, filosofi arah angin. Layangan hanya bisa terbang jika mengikuti arah angin. Tidak ada gunanya memaksa layangan melawan angin karena ia akan terhempas jatuh. Demikian pula anak-anak, mereka tumbuh dengan potensi dan minat masing-masing. Orang tua maupun guru tidak bisa memaksakan kehendak yang bertentangan dengan bakat alamiah anak. Pendidikan sejatinya adalah mengarahkan agar anak bisa mengikuti "angin hidupnya", mengembangkan bakat dan minat, sembari tetap berada dalam jalur yang benar.

Ketiga, benang sebagai kendali. Layangan tetap terikat pada benang. Tanpa benang, layangan hanyalah selembar kertas atau plastik yang terbawa angin, tanpa arah dan tujuan. Dalam pendidikan, benang itu ibarat nilai, aturan, dan kasih sayang yang mengikat anak pada jati dirinya. Kendali ini tidak boleh hilang, sebab jika anak tumbuh tanpa pegangan, ia akan mudah hanyut dalam arus pergaulan dan tantangan zaman. Kendali bukan berarti mengekang, melainkan memastikan anak selalu memiliki pijakan meski ia terbang tinggi.

Keempat, filosofi persaingan sehat. Dalam budaya bermain layangan, ada tradisi saling mengadu. Siapa yang benangnya lebih tajam, dialah yang menang. Ada pula semangat mengejar layangan putus, di mana anak-anak berlari tanpa kenal lelah demi mendapatkannya. Dari sini anak belajar arti perjuangan, semangat kompetisi, dan menerima kalah–menang. Pendidikan pun serupa. Anak-anak harus dibiasakan menghadapi persaingan dengan sportif, bekerja keras untuk meraih sesuatu, namun tetap lapang dada jika belum berhasil.

Permainan layang-layang juga mengajarkan kesabaran. Membuat layangan butuh keterampilan, dari memilih bambu, membentuk kerangka, menempel kertas, hingga merapikan ekor. Proses itu tidak instan. Sama seperti pendidikan, membentuk karakter anak butuh proses panjang, kesabaran, dan ketelatenan. Tidak bisa dipaksa dalam sekejap, melainkan perlu pendampingan bertahap.

Dari sudut pandang yang lebih luas, layang-layang mencerminkan kehidupan anak di era digital. Jika benang kendali orang tua terlalu longgar, anak bisa bebas menjelajah dunia maya tanpa arah, mudah terjebak hoaks atau pengaruh buruk. Namun jika tarikan terlalu keras, anak bisa memberontak dan justru mencari pelarian. Maka, keseimbangan tetap menjadi kunci utama.

Pada akhirnya, layang-layang hanyalah permainan sederhana yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun jika kita mau merenung, banyak pesan berharga yang bisa dipetik darinya. Pendidikan bukan sekadar memindahkan ilmu, tetapi seni menjaga keseimbangan antara kendali dan kebebasan, antara tarikan dan uluran, antara bimbingan dan kepercayaan.

Seperti layangan yang terbang tinggi di langit sore, anak-anak juga butuh ruang untuk bermimpi setinggi mungkin. Namun mereka tetap membutuhkan benang yang menuntun agar tidak terlepas dari akar nilai dan karakter. Di tangan orang tua dan guru yang bijak, anak-anak akan melayang dengan indah, menari bersama angin kehidupan, dan tetap terikat pada kendali penuh kasih.***

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama