![]() |
Tampak gedung dengan hamparan lapangan SDK Naibone |
Waktu telah menorehkan
garis-garis renta pada tubuh sekolah ini. Atapnya bocor ketika hujan deras
turun, lantainya dingin dan mulai retak, catnya mengelupas, dan kursi-kursi
kayu di dalam kelas telah kehilangan kilau lamanya. Namun di balik semua itu,
sekolah ini tetap berdiri, seolah berkata dengan lirih: “Aku menua, tapi aku masih ingin menjaga anak-anak ini belajar,
bercita-cita, dan bermimpi.”
Di halaman rumput hijau
yang membentang luas, anak-anak berlari riang, seakan tidak peduli pada kondisi
gedung yang renta. Tawa mereka adalah obat bagi keletihan bangunan, dan doa-doa
mereka adalah penguat bagi dinding yang mulai goyah. Guru-guru pun hadir dengan
ketulusan yang tak kalah kuat. Mereka menulis di papan yang mulai kusam,
mengajarkan huruf dan angka, menanamkan nilai-nilai, seakan berkata: “Gedung boleh rapuh, tapi ilmu dan cinta
kasih tidak boleh berhenti.”
Inilah filosofi yang
bisa kita renungkan: gedung sekolah adalah tubuh, tetapi pendidikan adalah
jiwa. Tubuh bisa menua, rapuh, bahkan runtuh, tetapi jiwa pendidikan harus
tetap hidup. Namun, tubuh yang rapuh tidak boleh diabaikan, sebab tubuh adalah
wadah tempat jiwa itu berdiam. Ketika gedung semakin renta, itu adalah
panggilan bagi empati dan simpati dari semua pihak—pemerintah, masyarakat,
bahkan siapa saja yang peduli pada masa depan bangsa.
Gedung yang menua ini
sebenarnya adalah cermin kehidupan. Ia mengajarkan bahwa waktu akan mengikis
segala yang tampak, tetapi yang tak tampak—semangat, pengabdian, cinta terhadap
ilmu—akan selalu abadi. Dari ruang kelas yang sederhana inilah, anak-anak desa
menanam mimpi untuk menjadi guru, dokter, perawat, pastor, bahkan pemimpin masa
depan. Mereka tidak pernah menuntut gedung megah; mereka hanya butuh tempat
yang layak untuk belajar, berteduh, dan bermimpi tanpa rasa takut atap runtuh
atau dinding roboh.
Memandang SD Katolik
Naibone berarti memandang wajah masa depan. Di dalam kelas yang lapuk, ada
semangat muda yang berdenyut. Di balik papan tulis yang tua, ada huruf-huruf
baru yang lahir. Dan di atas bangku kayu yang usang, ada cita-cita yang tumbuh
segar.
Maka, gedung ini bukan
sekadar tempat, melainkan doa yang terwujud dalam bentuk bangunan. Doa para
orang tua yang ingin anaknya bersekolah, doa para guru yang ingin ilmu mereka
berguna, doa masyarakat yang ingin kampungnya maju. Semua doa itu kini
bersemayam di sebuah gedung yang menua—yang membutuhkan perhatian, empati, dan
simpati dari kita semua.
Ajakan Moral
SD Katolik Naibone
mengajarkan kita untuk tidak menutup mata. Ia menunggu uluran tangan dari
pemerintah, suara dari gereja, kepedulian dari masyarakat, serta solidaritas
dari siapa saja yang masih percaya bahwa pendidikan adalah warisan paling
berharga. Kita semua dipanggil untuk menjaga agar rumah ilmu ini tidak runtuh
bersama waktu.
Biarlah sekolah ini
bukan hanya menjadi cerita tentang bangunan tua, tetapi juga menjadi kisah
kebangkitan, tentang sebuah komunitas yang bersatu menjaga cahaya pendidikan.
Karena gedung boleh menua, tetapi harapan anak-anak Naibone harus selalu tetap
muda—dan itulah tanggung jawab kita bersama.