“Ketika hukum dikesampingkan demi politik, maka yang lahir bukanlah keadilan, melainkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan.”
Suara Numbei News - Dalam negara hukum, setiap kebijakan publik mestinya dirancang dan dilaksanakan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi bagi keadilan dan legitimasi pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan terkait Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), khususnya penentuan status paruh waktu, justru memperlihatkan wajah yang sebaliknya: sarat dengan kepentingan politik, pragmatisme kekuasaan, dan pengabaian terhadap regulasi.
Politik Menggeser Hukum
Penentuan PPPK paruh
waktu yang seharusnya menjadi solusi bagi tenaga honorer, sering kali
dimanfaatkan sebagai instrumen politik. Kedekatan dengan elite, afiliasi pada
kelompok tertentu, hingga kepentingan elektoral, lebih menonjol dibandingkan
dengan asas meritokrasi dan keadilan. Padahal, undang-undang telah menggariskan
bahwa pengangkatan PPPK harus melalui mekanisme yang transparan, objektif, dan
akuntabel. Ketika politik menggeser hukum, maka kebijakan yang lahir kehilangan
legitimasi moral sekaligus legalitasnya.
Dampak terhadap Tenaga Honorer
Di banyak daerah,
ribuan tenaga honorer di sektor pendidikan, kesehatan, dan pelayanan teknis
telah bertahun-tahun mengabdikan diri dengan status tidak pasti. Contohnya,
laporan media pendidikan tahun 2024 menyebutkan bahwa masih ada guru honorer di
daerah terpencil dengan masa pengabdian lebih dari 15 tahun, namun tetap
tersingkir dari seleksi PPPK karena tidak memiliki “kedekatan politik” atau
karena jatah formasi dibatasi. Hal yang sama terjadi pada tenaga kesehatan di
Nusa Tenggara Timur, yang meski telah bertugas melayani masyarakat di pelosok
tanpa fasilitas memadai, harus puas hanya menjadi tenaga kontrak paruh waktu
tanpa kejelasan nasib.
Alih-alih mendapatkan
keadilan, mereka justru sering dipinggirkan oleh kebijakan yang bias
kepentingan. Ketidakadilan ini melukai semangat pengabdian, meruntuhkan
motivasi kerja, bahkan menimbulkan frustrasi sosial yang bisa meledak
sewaktu-waktu.
Kerusakan Sistem
Birokrasi
Jika PPPK paruh waktu
dijadikan komoditas politik, dampaknya bukan hanya pada individu tenaga
honorer, tetapi juga pada sistem birokrasi secara keseluruhan. Birokrasi
kehilangan profesionalisme, karena seleksi aparatur tidak lagi berbasis
kompetensi, melainkan loyalitas politik. Pelayanan publik pun ikut terganggu. Contohnya,
di beberapa kabupaten, laporan Ombudsman menemukan bahwa penempatan PPPK justru
tidak sesuai kebutuhan riil sekolah dan puskesmas. Ada sekolah yang kekurangan
guru matematika, tetapi formasi justru diberikan untuk guru lain demi memenuhi
janji politik lokal.
Ini adalah kemunduran
besar dalam upaya reformasi birokrasi yang selama ini digembar-gemborkan.
Kritik terhadap Pemerintah
Pemerintah perlu
diingatkan dengan keras: kebijakan PPPK bukan hadiah politik, melainkan amanat
undang-undang. Pengabaian terhadap aturan hanya akan melahirkan
ketidakpercayaan rakyat. Bila pemerintah terus mempertahankan pola politik
transaksional dalam menentukan PPPK paruh waktu, maka ke depan birokrasi hanya
akan menjadi panggung sandiwara yang rapuh, sementara tenaga honorer yang
berjuang di lapangan tetap dibiarkan dalam ketidakpastian.
Penutup
Sejarah akan menilai dengan tajam:
apakah pemerintah berani menegakkan hukum dalam menentukan PPPK, atau justru
tunduk pada logika politik jangka pendek. Jalan yang ditempuh hari ini akan
menentukan masa depan birokrasi Indonesia. Jika pilihan jatuh pada politik,
maka negara akan kehilangan arah dalam membangun aparatur yang profesional dan
berkeadilan. Tetapi jika hukum yang dijunjung, maka keadilan bagi tenaga
honorer dan kualitas pelayanan publik akan menemukan jalannya.
Kritik ini bukan
sekadar suara sumbang, melainkan panggilan moral agar pemerintah kembali ke rel
hukum, meninggalkan praktik manipulatif, dan menegakkan prinsip keadilan yang
sejati dalam kebijakan PPPK.
