1. Iman Umat yang Hidup
Iman umat Katolik, terutama
mereka yang sederhana, tidak lahir dari kerumitan teologi. Seorang ibu tua yang
setiap hari mendaraskan rosario di teras rumahnya, seorang anak kecil yang
menyalakan lilin di depan patung Maria, seorang petani yang menunduk syukur di
ladang setelah panen—semua itu adalah bentuk iman yang otentik.
Konsili Vatikan II
dalam Lumen Gentium menegaskan bahwa “semua umat beriman, karena pengurapan Roh
Kudus, tidak mungkin salah dalam hal iman” (LG, 12). Artinya, iman umat kecil
tetap memiliki otoritas rohani, sekalipun sering dianggap sederhana.
2. Ketika Pastoral Menjadi Birokrasi
Sayangnya, kebijakan
pastoral yang seharusnya menjadi jembatan kasih terkadang berubah menjadi pagar
pembatas. Persyaratan administratif untuk menerima sakramen, atau aturan
liturgis yang sangat kaku, dapat membuat umat merasa jauh dari Allah.
Dokumen Evangelii
Gaudium (2013) oleh Paus Fransiskus memperingatkan:
“Tidak boleh ada hambatan yang menghalangi orang dari rahmat yang ditawarkan oleh Injil. Saya lebih suka Gereja yang terluka, kotor, dan penuh goresan karena telah keluar ke jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan terpaku pada keamanan diri sendiri.” (EG, 47)
Artinya, pastoral yang
sejati harus membuka jalan, bukan menutupnya.
3. Bahaya Otoritarianisme Pastoral
Ketika pastoral lebih
menekankan kontrol daripada pelayanan, Gereja tampil bukan sebagai ibu yang
mengasihi, melainkan sebagai hakim yang mengadili. Padahal Gaudium et Spes
mengingatkan:
“Sukacita
dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum
miskin dan siapa saja yang menderita, adalah juga sukacita dan harapan, duka
dan kecemasan para murid Kristus.” (GS, 1)
Dengan demikian,
kebijakan pastoral yang mengekang umat justru mengkhianati roh Konsili Vatikan
II: Gereja harus berjalan bersama umat, bukan berdiri di atas mereka.
4. Rahmat Allah Tidak Bisa Dikunci
Kristus sendiri
melampaui aturan hukum demi kasih. Ia menyembuhkan pada hari Sabat (Mrk 3:1–6),
Ia makan bersama orang berdosa (Luk 5:30), Ia mendekati mereka yang dianggap
najis. Pesannya jelas: kasih lebih besar daripada hukum.
Karena itu, pastoral
yang benar harus mencerminkan semangat Kristus: rahmat Allah lebih luas
daripada batasan manusia.
5. Jalan Menuju Pastoral yang Membebaskan
Aturan tetap
diperlukan, tetapi hanya sah jika menjadi pelayan iman. Paus Fransiskus
menegaskan dalam Amoris Laetitia:
“Hukum-hukum
umum memang penting, tetapi hukum-hukum itu tidak bisa mencakup semua situasi
khusus. Apa yang menjadi bagian dari suatu norma umum tidak harus diterapkan
secara kaku pada semua kasus tertentu.” (AL, 304)
Inilah kuncinya:
pastoral yang membebaskan harus lentur, mendengarkan, dan berbelas kasih, bukan
menghukum.
6. Gereja: Rumah, Bukan Kantor
Iman umat Katolik akan
bertumbuh jika Gereja tampil sebagai rumah yang hangat, bukan kantor yang penuh
prosedur. Gereja adalah “ibu” (LG, 6), bukan sekadar institusi.
Penutup: Menggugat Demi Kasih
Ketika kebijakan
pastoral mengekang iman umat, Gereja sedang kehilangan jati dirinya. Sebab
Gereja bukan pertama-tama sistem aturan, melainkan tubuh Kristus yang hidup
dari rahmat.
Iman umat sederhana
seringkali lebih kuat daripada aturan yang mengekang. Maka Gereja perlu belajar
dari iman itu, bukan menekannya. Dengan setia pada Konsili Vatikan II dan
semangat Paus Fransiskus, kebijakan pastoral harus dibersihkan dari wajah
otoriter dan birokratis, supaya kembali pada hakikatnya: jalan kasih yang
membebaskan.
Gereja hanya sungguh
menjadi tanda keselamatan jika berani membuka pintu rahmat selebar-lebarnya,
sebab Kristus sendiri berkata: “Aku
datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala
kelimpahan” (Yoh 10:10).
