banner Ketika Rahmat Dibelenggu Aturan: Iman Umat dan Kebijakan Pastoral yang Menyekat

Ketika Rahmat Dibelenggu Aturan: Iman Umat dan Kebijakan Pastoral yang Menyekat



Suara Numbei News - Iman umat Katolik lahir dari perjumpaan dengan Allah yang hidup, bukan dari sekadar ketaatan pada aturan. Umat kecil beriman bukan karena hafal pasal-pasal kanonik, melainkan karena mengalami kasih Kristus dalam keseharian: dalam doa yang sederhana, dalam Ekaristi yang membesarkan hati, dalam solidaritas yang nyata. Namun dalam perjalanan sejarah, tidak jarang iman itu terhimpit oleh kebijakan pastoral yang kaku, birokratis, bahkan mengekang.

1. Iman Umat yang Hidup

Iman umat Katolik, terutama mereka yang sederhana, tidak lahir dari kerumitan teologi. Seorang ibu tua yang setiap hari mendaraskan rosario di teras rumahnya, seorang anak kecil yang menyalakan lilin di depan patung Maria, seorang petani yang menunduk syukur di ladang setelah panen—semua itu adalah bentuk iman yang otentik.

Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium menegaskan bahwa “semua umat beriman, karena pengurapan Roh Kudus, tidak mungkin salah dalam hal iman” (LG, 12). Artinya, iman umat kecil tetap memiliki otoritas rohani, sekalipun sering dianggap sederhana.

2. Ketika Pastoral Menjadi Birokrasi

Sayangnya, kebijakan pastoral yang seharusnya menjadi jembatan kasih terkadang berubah menjadi pagar pembatas. Persyaratan administratif untuk menerima sakramen, atau aturan liturgis yang sangat kaku, dapat membuat umat merasa jauh dari Allah.

Dokumen Evangelii Gaudium (2013) oleh Paus Fransiskus memperingatkan:

“Tidak boleh ada hambatan yang menghalangi orang dari rahmat yang ditawarkan oleh Injil. Saya lebih suka Gereja yang terluka, kotor, dan penuh goresan karena telah keluar ke jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan terpaku pada keamanan diri sendiri.” (EG, 47)

Artinya, pastoral yang sejati harus membuka jalan, bukan menutupnya.

3. Bahaya Otoritarianisme Pastoral

Ketika pastoral lebih menekankan kontrol daripada pelayanan, Gereja tampil bukan sebagai ibu yang mengasihi, melainkan sebagai hakim yang mengadili. Padahal Gaudium et Spes mengingatkan:

“Sukacita dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, adalah juga sukacita dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus.” (GS, 1)

Dengan demikian, kebijakan pastoral yang mengekang umat justru mengkhianati roh Konsili Vatikan II: Gereja harus berjalan bersama umat, bukan berdiri di atas mereka.

4. Rahmat Allah Tidak Bisa Dikunci

Kristus sendiri melampaui aturan hukum demi kasih. Ia menyembuhkan pada hari Sabat (Mrk 3:1–6), Ia makan bersama orang berdosa (Luk 5:30), Ia mendekati mereka yang dianggap najis. Pesannya jelas: kasih lebih besar daripada hukum.

Karena itu, pastoral yang benar harus mencerminkan semangat Kristus: rahmat Allah lebih luas daripada batasan manusia.

5. Jalan Menuju Pastoral yang Membebaskan

Aturan tetap diperlukan, tetapi hanya sah jika menjadi pelayan iman. Paus Fransiskus menegaskan dalam Amoris Laetitia:

“Hukum-hukum umum memang penting, tetapi hukum-hukum itu tidak bisa mencakup semua situasi khusus. Apa yang menjadi bagian dari suatu norma umum tidak harus diterapkan secara kaku pada semua kasus tertentu.” (AL, 304)

Inilah kuncinya: pastoral yang membebaskan harus lentur, mendengarkan, dan berbelas kasih, bukan menghukum.

6. Gereja: Rumah, Bukan Kantor

Iman umat Katolik akan bertumbuh jika Gereja tampil sebagai rumah yang hangat, bukan kantor yang penuh prosedur. Gereja adalah “ibu” (LG, 6), bukan sekadar institusi.

Penutup: Menggugat Demi Kasih

Ketika kebijakan pastoral mengekang iman umat, Gereja sedang kehilangan jati dirinya. Sebab Gereja bukan pertama-tama sistem aturan, melainkan tubuh Kristus yang hidup dari rahmat.

Iman umat sederhana seringkali lebih kuat daripada aturan yang mengekang. Maka Gereja perlu belajar dari iman itu, bukan menekannya. Dengan setia pada Konsili Vatikan II dan semangat Paus Fransiskus, kebijakan pastoral harus dibersihkan dari wajah otoriter dan birokratis, supaya kembali pada hakikatnya: jalan kasih yang membebaskan.

Gereja hanya sungguh menjadi tanda keselamatan jika berani membuka pintu rahmat selebar-lebarnya, sebab Kristus sendiri berkata: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10).

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama