banner Pendidikan yang Kehilangan Jalan Pulang: Dari Ruang Kelas Menuju Panggung Kekuasaan

Pendidikan yang Kehilangan Jalan Pulang: Dari Ruang Kelas Menuju Panggung Kekuasaan



Suara Numbei News - Pendidikan pada hakikatnya adalah ruang suci tempat manusia belajar menjadi manusia seutuhnya. Di dalamnya terkandung cita-cita luhur: mencerdaskan kehidupan bangsa, membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, serta menuntun generasi menuju peradaban yang bermartabat. Namun, sejarah panjang bangsa kita sering memperlihatkan bahwa pendidikan tidak selalu berjalan di jalur ideal itu. Ia kerap dibalut dan dikendalikan oleh kepentingan politik. Intervensi politik dalam pendidikan menjadi kisah lama yang tak kunjung usai, seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti langkah perjalanan bangsa.

Politik dan Pendidikan: Dua Ruang yang Tak Pernah Terpisah

Secara konseptual, politik adalah seni mengelola kekuasaan, sementara pendidikan adalah seni mengelola manusia. Keduanya seolah berbeda, tetapi dalam praktiknya selalu bertemu. Negara membutuhkan pendidikan sebagai alat legitimasi politik, sementara politik membutuhkan pendidikan untuk menanamkan ideologi dan mengarahkan kesetiaan warga. Maka, pendidikan tidak pernah steril dari politik; ia selalu menjadi ruang tarik-menarik antara idealisme pendidik dan pragmatisme penguasa.

Sejarah membuktikan, di banyak negara termasuk Indonesia, kurikulum tidak pernah benar-benar netral. Ia disusun bukan hanya atas dasar kebutuhan pedagogis, melainkan juga atas kepentingan ideologis. Pada masa tertentu, pendidikan dijadikan medium untuk memperkuat nasionalisme; pada masa lain, ia dijadikan alat untuk membungkam kritik dan melanggengkan kekuasaan. Buku pelajaran, narasi sejarah, bahkan pemilihan bahasa pengantar, semuanya bisa menjadi alat hegemoni.

Wajah Intervensi Politik dalam Pendidikan

Intervensi politik dalam pendidikan hadir dalam berbagai wajah. Pertama, dalam bentuk kebijakan kurikulum yang sering berganti sesuai dengan rezim yang berkuasa. Alih-alih konsistensi jangka panjang demi kualitas generasi, kurikulum justru sering dijadikan etalase pencitraan politik. Akibatnya, siswa dan guru menjadi korban eksperimen kebijakan yang berubah-ubah.

Kedua, dalam bentuk pengendalian birokrasi pendidikan. Jabatan kepala sekolah, pengawas, bahkan rekrutmen guru kadang dipolitisasi. Pendidikan, yang seharusnya ditopang oleh profesionalisme dan meritokrasi, justru diwarnai oleh patronase politik. Guru yang semestinya berdiri tegak sebagai pendidik bangsa seringkali dipaksa menjadi “mesin suara” dalam momentum politik elektoral.

Ketiga, dalam bentuk penguasaan narasi sejarah dan identitas. Politik kerap membungkus sejarah dengan versi tunggal yang menguntungkan pihak berkuasa. Generasi muda tidak lagi diajak berpikir kritis, melainkan diarahkan untuk menerima “kebenaran resmi” versi pemerintah. Padahal pendidikan sejatinya adalah ruang untuk menguji kebenaran, bukan sekadar menghafalnya.

Konsekuensi yang Tak Terhindarkan

Intervensi politik dalam pendidikan melahirkan sejumlah konsekuensi serius. Pertama, pendidikan kehilangan roh emansipatorisnya. Alih-alih membebaskan manusia, ia justru membelenggu mereka dalam doktrin dan kepatuhan buta. Kedua, kualitas pendidikan tereduksi karena terlalu sibuk mengurus kepentingan politik sesaat ketimbang kebutuhan generasi jangka panjang. Ketiga, kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan merosot, karena ia tidak lagi dilihat sebagai ruang pembentukan karakter, melainkan alat kekuasaan.

Dalam situasi ini, pendidikan berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara teknis, tetapi miskin daya kritis; pandai menghitung angka, tetapi tidak berani mempertanyakan ketidakadilan; terampil bekerja, tetapi tidak mampu melawan penindasan. Pendidikan semacam ini hanya melahirkan “manusia setengah matang” yang tunduk pada kuasa politik, bukan warga negara yang merdeka.

Jalan Menuju Pendidikan yang Merdeka

Pertanyaan besar kemudian muncul: mungkinkah pendidikan benar-benar bebas dari intervensi politik? Jawaban realistisnya: mungkin tidak sepenuhnya, karena pendidikan selalu terkait dengan negara dan kebijakan publik. Namun, yang bisa diupayakan adalah membangun otonomi pendidikan yang sehat, di mana kepentingan politik tidak lagi mendominasi, melainkan memberi ruang bagi profesionalisme, kebebasan akademik, dan partisipasi masyarakat.

Sekolah dan universitas harus menjadi ruang dialog kritis, bukan sekadar ruang reproduksi ideologi penguasa. Guru harus dilindungi sebagai pendidik profesional, bukan dijadikan alat politik. Kurikulum harus disusun secara partisipatif, berlandaskan kebutuhan generasi dan perkembangan zaman, bukan berdasarkan kalkulasi elektoral.

Pendidikan yang merdeka adalah pendidikan yang berani menumbuhkan keberanian berpikir. Ia tidak mengajarkan kepatuhan membabi buta, tetapi mengajarkan keberanian untuk bertanya, menggugat, dan mencari kebenaran. Dalam pendidikan yang merdeka, politik bukan lagi belenggu, melainkan menjadi ruang etis untuk menumbuhkan kesadaran warga negara yang kritis, adil, dan bermartabat.

Penutup

Pendidikan dalam balutan intervensi politik adalah paradoks. Ia bisa menjadi alat pembebasan sekaligus alat pembelengguan, tergantung siapa yang menguasainya. Tugas kita sebagai bangsa adalah memastikan bahwa pendidikan tidak sekadar menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, tetapi tetap berdiri sebagai ruang sakral pembentukan manusia.

Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan dari Brasil, pernah menegaskan: “Pendidikan tidak pernah netral. Ia selalu menjadi praktik pembebasan atau praktik penindasan.” Kutipan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan yang tunduk pada politik kekuasaan hanya akan melahirkan generasi yang jinak, sementara pendidikan yang merdeka melahirkan generasi yang kritis dan berdaya.

Di tanah air sendiri, Ki Hajar Dewantara sudah jauh-jauh hari mengingatkan: “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Kata “menuntun” di sini menolak logika indoktrinasi politik. Pendidikan bukan untuk mengendalikan, tetapi untuk mengarahkan agar manusia tumbuh dalam kebebasan dan kearifan.

Jika pendidikan terus dirantai oleh kepentingan politik sesaat, maka yang lahir hanyalah generasi yang kehilangan arah. Tetapi jika pendidikan dibiarkan tumbuh dalam kebebasan, maka ia akan melahirkan generasi yang berani mengubah dunia. Dan pada akhirnya, bukankah itu cita-cita tertinggi dari setiap sistem pendidikan: melahirkan manusia yang merdeka dan beradab?

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama