Dari kacamata filsafat,
terutama dalam analogi kehidupan, guru yang disiplin dapat disamakan dengan
matahari yang setia terbit setiap pagi, meskipun bumi kadang diselimuti awan
gelap. Matahari tidak berhenti bersinar hanya karena cahayanya tertahan awan —
sebab makna keberadaannya bukan pada sambutan bumi, tetapi pada kesetiaannya
memberi terang.
Demikian pula guru:
disiplin bukanlah alat untuk mendapatkan pujian atau hasil cepat, melainkan cara
untuk menegaskan eksistensinya sebagai pendidik — sebagai “ada yang memberi
makna.”
Dalam pandangan filsafat
eksistensialisme, terutama gagasan Kierkegaard dan Sartre, tindakan disiplin
seorang guru adalah tindakan otentik — pilihan sadar untuk tetap bertanggung
jawab, bahkan ketika dunia di sekitarnya tidak merespons sebagaimana
diharapkan. Guru yang demikian telah melampaui orientasi hasil menuju makna
tindakan. Ia tidak lagi mengajar demi nilai, tetapi demi menjaga kesadaran
moral dan tanggung jawabnya terhadap kehidupan.
Sementara itu,
murid-murid yang tidak memberi respon positif bisa diibaratkan sebagai tanah
yang tertidur di musim dingin. Tanah itu tampak beku, keras, dan tak
menumbuhkan apa pun. Tetapi benih yang ditanam dengan kesetiaan akan tetap
hidup di kedalamannya, menunggu waktu yang tepat untuk bertunas.
Filsafat mengingatkan kita: tidak ada tindakan baik yang sia-sia — hanya waktu
yang belum selesai bekerja.
Dari perspektif filsafat
pendidikan humanistik, disiplin guru bukan sekadar aturan, tetapi bentuk kasih
dalam ketegasan. Ia adalah ekspresi cinta yang tidak sentimental, melainkan
tangguh. Sebab, cinta sejati tidak selalu tampak lembut; kadang ia hadir dalam
bentuk ketegasan yang mengarahkan dan mengingatkan. Di sinilah guru menjalani
peran filosofisnya sebagai “pengawal nilai”, bukan sekadar pengajar materi.
Maka, ketika anak-anak
belum menampakkan perubahan, sang guru tidak boleh mengukur dirinya dengan
hasil yang tampak. Sebab yang tidak tampak sering kali lebih bermakna. Dalam
setiap keteraturan, dalam setiap teguran, dan dalam setiap kesabaran yang ia
tanamkan, ia sedang membentuk kesadaran moral — yang mungkin baru akan berbuah
ketika anak-anak itu dewasa dan menatap kembali masa kecilnya dengan pengertian
baru.
Akhirnya, filsafat
mengajarkan bahwa disiplin adalah bentuk keberanian eksistensial:
keberanian untuk tetap menyalakan lentera, bahkan ketika ruangan masih gelap.
Sebab guru sejati tahu, bahwa cahaya tidak hadir untuk dilihat — tetapi untuk menerangi.
