Di sana, internet bukan
kebutuhan sehari-hari — ia adalah kemewahan yang datang dan pergi.
Anak-anak harus berjalan ke bukit untuk mencari titik sinyal agar bisa
mengunduh tugas sekolah. Guru menunggu malam untuk mengirim laporan karena
siang hari jaringan hilang total. Di tempat seperti itu, kata “digital”
terdengar seperti dongeng dari dunia lain.
1. Ketimpangan yang Tak Terlihat
Kesenjangan digital
bukan sekadar soal akses sinyal, tetapi soal keadilan pembangunan. Di kota,
siswa sudah terbiasa belajar lewat video interaktif, konferensi daring, dan
aplikasi pembelajaran pintar. Sementara di pedesaan, papan tulis dan buku lusuh
masih menjadi satu-satunya jendela ilmu.
Ketika kurikulum
nasional menuntut integrasi teknologi, mereka di daerah susah sinyal justru
harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak berpihak.
Ironisnya, sistem pendidikan kita sering menilai semua siswa dengan ukuran yang
sama, tanpa mempertimbangkan perbedaan akses.
2. Teknologi yang Tak Menyentuh
Pemerintah gencar
mengirim perangkat canggih ke sekolah: Smart TV, Chromebook, Interactive Flat
Panel, dan berbagai program digitalisasi. Namun, tanpa internet yang stabil,
semua itu hanya menjadi benda mati.
Inilah bentuk kemajuan
yang salah alamat — teknologi modern di tempat yang belum siap menerimanya.
Yang dibutuhkan bukan
sekadar alat, melainkan fondasi: jaringan internet, listrik stabil, pelatihan
guru, dan kebijakan yang memahami konteks lokal.
3. Pembangunan yang Berpusat di Kota
Daerah susah sinyal
adalah cermin dari arah pembangunan yang masih urban-sentris.
Sinyal kuat, jalan mulus, dan fasilitas lengkap hanya menumpuk di kota besar.
Sementara itu, desa tetap menjadi penonton — bukan karena tidak mau maju, tapi
karena akses menuju kemajuan tak sampai ke sana.
Inilah ironi
digitalisasi di Indonesia: ketika teknologi berlari cepat, tapi pemerataan
berjalan lambat.
4. Refleksi: Internet Sebagai Hak, Bukan Kemewahan
Koneksi internet kini
sejatinya sudah menjadi bagian dari hak dasar manusia — sama pentingnya dengan
pendidikan dan informasi.
Tanpa internet, warga di daerah terpencil kehilangan akses terhadap berita,
ilmu, dan peluang ekonomi.
Mereka bukan tidak mau
belajar atau berkembang; mereka hanya tidak punya jalan menuju dunia yang
terkoneksi.
Penutup: Saatnya Negara
Hadir dengan Sinyal yang Adil
Digitalisasi pendidikan
dan pemerintahan tidak akan pernah benar-benar berhasil bila sebagian rakyat
masih hidup di area “tanpa jaringan.”
Negara tidak cukup hanya mengirim alat, tapi harus memastikan akses dan
keberlanjutan.
Pembangunan yang adil
adalah ketika anak di desa terpencil bisa mengakses pelajaran yang sama dengan
anak di kota besar — bukan hanya di kertas kebijakan, tetapi di layar yang
benar-benar menyala.
Sebab kemajuan sejati
bukan diukur dari seberapa cepat internet di ibu kota,
melainkan dari seberapa jauh sinyal itu mampu menjangkau mereka yang selama ini
terpinggirkan.
