banner Ketika Kreativitas Menjadi Tekanan Sosial, Bukan Lagi Ekspresi Jiwa: Sebuah Renungan tentang Zaman yang Terlalu Sibuk Tampil

Ketika Kreativitas Menjadi Tekanan Sosial, Bukan Lagi Ekspresi Jiwa: Sebuah Renungan tentang Zaman yang Terlalu Sibuk Tampil



Suara Numbei News Ada masa ketika panggung diciptakan untuk menampilkan yang terbaik, dan penonton hadir untuk menikmati, menilai, lalu memberikan tempat bagi makna tumbuh. Namun hari ini, panggung itu luluh lantak—bukan karena runtuh, tetapi karena terlalu banyak orang memanjatnya sekaligus. Kita hidup di zaman di mana semua orang ingin berbicara, tetapi sedikit yang mau mendengarkan. Pertanyaannya bukan lagi “siapa kreatornya?”, melainkan “siapa yang tersisa untuk menjadi penonton?”

Ledakan media sosial dan budaya digital menghadirkan ilusi bahwa setiap orang harus tampil, bersuara, dan menjadi pusat atensi. Identitas kini ditentukan bukan oleh perjalanan hidup, melainkan oleh jejak digital. Kreativitas bukan lahir dari perenungan, tetapi dari dorongan instan: “buat konten apa hari ini?” Semua berlomba-lomba menciptakan, tetapi semakin sedikit yang bertanya: apakah konten itu punya nilai, atau hanya kebisingan yang kita kirim ke udara?

Kreator Massal, Kebijaksanaan yang Hilang

Kita menyaksikan pergeseran dari masyarakat pembelajar ke masyarakat penyiar. Bahkan hal-hal paling intim—kesedihan, kemarahan, cinta—diubah menjadi produk visual untuk konsumsi publik. Semua menjadi “kreator” bukan karena ide besar, tetapi karena ketakutan terpinggirkan. Kita tidak lagi kreatif karena ingin, tetapi karena harus.

Akibatnya, ruang digital kita penuh, tapi miskin makna. Kita mendapati banjir konten yang tidak pernah benar-benar kita nikmati. Kita scroll lebih cepat dari kemampuan otak memahami. Kita melihat, tapi tidak menyimak; kita mendengar, tapi tidak mengolah; kita berbicara, tapi tidak berinteraksi. Ketika semua berbicara keras-keras, tak ada suara yang benar-benar terdengar.

Penonton: Peran yang Diremehkan, Padahal Menentukan

Dalam tatanan budaya mana pun, penonton adalah elemen yang sangat penting. Tanpa penonton, seni kehilangan tujuan. Tanpa pendengar, kata-kata kehilangan makna. Tanpa pembaca, tulisan kehilangan nyawanya. Tetapi hari ini, menjadi penonton dianggap sebagai posisi yang kalah—seolah mereka yang tidak menciptakan konten berarti tidak berprestasi.

Padahal justru penontonlah yang membangun ekosistem makna. Penonton yang kritis memaksa kreator untuk bertanggung jawab. Penonton yang cermat membuat ruang publik lebih sehat. Penonton yang sadar menghadirkan standar kualitas. Tanpa mereka, kita hanya akan memiliki dunia yang penuh dengan “pembicara” tetapi tanpa percakapan.

Krisis yang Diam-Diam Menggerogoti: Hilangnya Kemampuan untuk Mendengar

Fenomena ini menghasilkan masalah yang lebih dalam dari sekadar kebisingan digital: kita kehilangan seni untuk mendengarkan.
Masyarakat yang tidak bisa mendengar adalah masyarakat yang tidak bisa belajar.
Masyarakat yang tidak bisa belajar adalah masyarakat yang tidak bisa maju.

Ketika semua orang sibuk membuktikan diri sebagai “kreator”, kita kehilangan nilai paling mendasar dari interaksi manusia: kemampuan untuk menerima, memahami, dan memaknai suara orang lain. Kita menjadi generasi yang pandai berbicara tetapi miskin pemahaman. Kita mahir tampil tetapi kurang empati. Kita ingin didengar, tetapi tidak mau mendengarkan.

Menjadi Penonton: Di Era Kebisingan, Justru Tindakan Paling Berani

Di tengah budaya digital yang memaksa kita untuk terus tampil, justru menjadi penonton yang baik adalah pilihan yang paling radikal. Menjadi penonton berarti berani mengambil jarak. Berani mengosongkan diri agar bisa diisi. Berani diam agar bisa mendengar. Berani berhenti menciptakan konten agar dapat mengapresiasi karya orang lain.

Dan yang lebih penting, menjadi penonton adalah cara untuk menyelamatkan kualitas budaya kita—agar kreativitas tidak tenggelam menjadi sekadar konten, agar suara yang bermakna tidak tenggelam di tengah teriakan yang tak berujung.

Akhirnya…

Jika semua orang ingin menjadi kreator, kita akan kehilangan ruang untuk mengolah makna. Jika semua ingin tampil, kita akan kehilangan tempat untuk tumbuh. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang yang berbicara; dunia membutuhkan lebih banyak orang yang mau mendengarkan.

Karena pada akhirnya, peradaban tidak dibangun oleh mereka yang paling keras suaranya, tetapi oleh mereka yang mampu mendengar dengan paling dalam.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama