Realitasnya, banyak
anak muda sebenarnya memiliki potensi besar di bidang lain—dari teknologi,
pertanian inovatif, wirausaha, hingga industri kreatif. Tetapi budaya sosial
yang menempatkan PNS sebagai simbol kesuksesan membuat potensi ini sering
terhenti sebelum berkembang. Daerah yang ingin maju seharusnya mendorong
keberagaman profesi, bukan hanya menumpuk harapan pada satu jalur pekerjaan.
Gengsi tidak pernah
menjadi ukuran kemajuan. Yang membawa perubahan adalah karya, integritas, dan
kemampuan memberi dampak. Petani yang hasil panennya menyejahterakan keluarga,
pengusaha kecil yang membuka peluang bagi orang lain, atau pekerja kreatif yang
membawa nama NTT ke luar daerah—mereka sama pentingnya dengan pegawai negeri
dalam membangun masa depan.
Jika banyak orang
mengejar PNS karena sulitnya memperoleh pekerjaan layak di luar sana, maka
persoalannya bukan pada pilihan menjadi PNS, tetapi pada struktur ekonomi yang
belum cukup memberi ruang bagi masyarakat untuk berkembang. Himpitan ekonomi
membuat banyak orang tidak punya pilihan. Itulah masalah sebenarnya.
Karena itu, kita perlu
berani bertanya ulang: untuk apa kita bekerja? Untuk prestise sosial? Untuk
bertahan hidup? Atau untuk memberi arti dan manfaat bagi diri sendiri dan
masyarakat? Menjadi PNS tetaplah profesi terhormat, tetapi keputusan itu
seharusnya lahir dari panggilan dan kompetensi, bukan rasa takut terhadap masa
depan atau demi dianggap lebih hebat dari pekerjaan lain.
NTT membutuhkan cara
pandang baru: bahwa semua pekerjaan layak dihargai, bahwa masa depan daerah
tidak dibangun oleh satu profesi saja. Ketika masyarakat mulai melepaskan
obsesi berlebihan pada satu jalur dan mulai menghargai setiap orang berdasarkan
kontribusinya, bukan seragamnya, di situlah perubahan nyata akan dimulai.
Pada akhirnya, harga
diri tidak ditentukan oleh jabatan, tetapi oleh integritas dan karya yang kita
tinggalkan.

