banner Moke (Sopi), Warisan atau Dosa? Ironi Penyuling NTT di Tengah Razia Miras

Moke (Sopi), Warisan atau Dosa? Ironi Penyuling NTT di Tengah Razia Miras



Suara Numbei News - Di banyak kampung di Nusa Tenggara Timur, suara gemericik dari bambu penyuling terdengar seperti lagu lama yang terus diperdengarkan alam. Asap mengepul dari tungku, daun lontar bergantungan di pinggir kebun, dan aroma khas moke — hasil fermentasi dari nira pohon lontar atau enau — menandai bahwa kehidupan masih berdenyut. Di balik uap bening itu, tersimpan kisah panjang tentang kerja keras, kearifan, dan identitas orang NTT.

Namun, kini tradisi itu sedang digugat. Dalam operasi bertajuk “pemberantasan miras ilegal”, ribuan liter moke disita, ratusan drum dihancurkan, dan para penyuling dituding sebagai pelaku kejahatan ekonomi. Di mata hukum, mereka dianggap produsen barang haram; di mata tradisi, mereka adalah penjaga warisan leluhur. Di tengah dua pandangan itulah ironi itu berdiri: antara hukum yang kaku dan budaya yang cair.

Moke: Tetes Tradisi dari Tanah Kering

Moke — atau sopi dalam sebutan lain — bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol perjumpaan sosial. Dalam pesta adat, kelahiran, kematian, bahkan dalam musyawarah kampung, moke hadir sebagai tanda penghormatan. Satu botol moke bisa membuka percakapan, meneguhkan perdamaian, dan mengikat persaudaraan.

Proses pembuatannya pun bukan hasil instan. Dari pohon lontar yang disadap tiap pagi, nira dikumpulkan dengan sabar, difermentasi alami tanpa bahan kimia, lalu disuling menggunakan bambu, drum, dan bara kayu. Di tangan para penyuling, sains dan tradisi berpadu dalam keseimbangan sederhana: panas, waktu, dan kejujuran rasa.

Bagi banyak keluarga di pedalaman NTT, moke adalah “tambang kecil” di tanah tandus. Ia bukan sumber mabuk, tapi sumber makan. Hasil penjualan moke sering kali menjadi biaya anak sekolah, beli beras, atau membangun rumah. Dalam kondisi ekonomi yang serba terbatas, penyulingan moke adalah bentuk kreativitas bertahan hidup — bukan pelanggaran moral.

Ketika Warisan Dicap Ilegal

Ironi muncul ketika negara turun tangan tanpa membaca konteks. Moke yang selama puluhan tahun menjadi bagian dari identitas lokal, tiba-tiba disamakan dengan miras pabrikan yang beredar tanpa izin. Penyuling tradisional ditangkap, barangnya disita, bahkan dianggap ancaman ketertiban umum.

Padahal, perbedaan mendasarnya jelas: moke bukan hasil industri kapitalistik, melainkan produksi rakyat kecil berbasis tradisi dan kebutuhan hidup. Label “ilegal” yang dilekatkan tanpa proses edukasi dan pemberdayaan adalah bentuk pemiskinan struktural yang halus.

Di satu sisi, pemerintah menggaungkan pariwisata budaya NTT — menonjolkan tenun, tarian, dan musik tradisional. Tapi di sisi lain, mereka memukul palu hukum terhadap moke yang juga bagian dari budaya itu sendiri. Sebuah paradoks yang menggugat akal sehat: mengangkat budaya di panggung promosi, namun menindas pelakunya di tanah sendiri.

Hukum yang Buta Akar Budaya

Masalah bukan pada keinginan menegakkan aturan, melainkan pada cara pandang. Regulasi tentang minuman beralkohol di Indonesia dibuat dengan paradigma kota, bukan desa. Ia lahir dari konteks industri, bukan tradisi. Maka, ketika diterapkan di wilayah seperti NTT, aturan itu berubah menjadi alat represi kultural.

Penyuling moke tidak mengenal perizinan berbasis birokrasi. Mereka tak punya akses ke laboratorium uji kadar alkohol, apalagi ke legalitas edar. Mereka hanya mengenal ilmu warisan: suhu tungku, rasa cairan, dan kejujuran hasil kerja. Tetapi hukum memaksa mereka berhadapan dengan bahasa yang tidak mereka pahami.

Apakah adil menyamakan penyuling moke di pelosok dengan produsen miras oplosan berbahaya di kota? Apakah negara begitu cepat menghukum, tanpa terlebih dahulu mendidik, mendampingi, dan mengakui nilai budaya yang melekat di dalamnya?

Antara Warisan dan Dosa

Moke kini berdiri di persimpangan sejarah: antara dianggap warisan budaya atau dilabeli sebagai dosa sosial. Dalam logika negara, moke adalah minuman keras yang berpotensi merusak moral dan kesehatan. Tapi dalam logika rakyat, moke adalah simbol ketahanan, solidaritas, dan kebanggaan akan hasil bumi sendiri.

Masalahnya bukan pada moke itu sendiri, melainkan pada cara manusia memperlakukan moke. Di tangan yang bijak, moke menjadi perekat sosial. Di tangan yang salah, moke memang bisa menimbulkan masalah. Namun menyalahkan tradisi hanya karena segelintir penyalahgunaan adalah bentuk generalisasi yang tidak adil.

Seperti halnya banyak produk lokal lain, moke bisa diatur, dikontrol, dan dikembangkan. Negara bisa membantu standarisasi kualitas, menciptakan izin produksi rakyat, bahkan menjadikan moke sebagai produk budaya bernilai ekonomi tinggi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: yang dibakar bukan keburukan, melainkan harapan.

Mabuk yang Sebenarnya

Ironi terbesar bukan pada moke yang memabukkan, tetapi pada kekuasaan yang mabuk aturan. Mabuk oleh pandangan tunggal yang menolak mendengar suara rakyat. Mabuk oleh ilusi moralitas yang menilai dari permukaan, bukan dari makna.

Setiap drum moke yang disita seolah memadamkan api tradisi yang diwariskan turun-temurun. Di balik asap yang memudar, tersisa pertanyaan yang menggigit:
Apakah negara hadir untuk memberdayakan atau untuk menindas warganya sendiri?
Apakah modernitas harus selalu berarti menghapus yang tradisional?

Jika semua yang lokal dianggap “ilegal”, maka yang akan tersisa hanyalah generasi tanpa akar.

Penutup: Suara dari Tungku yang Padam

Suatu hari nanti, mungkin tungku-tungku penyulingan di pedalaman NTT akan benar-benar padam. Tidak karena kehabisan nira, tapi karena kehabisan harapan. Dan ketika itu terjadi, negara mungkin akan sadar bahwa yang hilang bukan sekadar moke, tetapi sepotong jati diri bangsa.

Moke bukan musuh. Ia hanyalah cermin: mencerminkan betapa rapuhnya cara kita memahami tradisi. Dan selama hukum masih menutup telinga terhadap suara rakyat kecil, uap moke akan terus menjadi simbol perlawanan diam—warisan yang tak bisa sepenuhnya disita.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama