![]() |
| Tempat kelahiran Yesus di Betlehem |
Natal, yang seharusnya
menjadi perayaan terbesar misteri keselamatan—Allah menjadi manusia—kini
dipreteli menjadi debat dangkal tentang tanggal. Lebih parah lagi, sebagian
orang yang menyebut diri pemimpin rohani menyajikan perdebatan itu dengan cara
yang memalukan: penuh misinformasi, historisisme sempit, dan rasa superioritas
yang lahir bukan dari studi, tetapi dari popularitas digital.
Di sini, iman tidak
sedang bertumbuh.
Iman sedang digerogoti
oleh kepercayaan diri yang tidak didukung kapasitas teologis.
Dalam iman Katolik,
penetapan 25 Desember bukanlah isu yang pernah disembunyikan Gereja. Gereja
sangat tahu bahwa tidak ada catatan kelahiran Yesus yang mencantumkan tanggal.
Namun Gereja juga tahu bahwa liturgi tidak pernah dimaksudkan sebagai laporan
ilmiah, tetapi ruang ilahi yang memungkinkan umat mengalami misteri
keselamatan. Kalender liturgi adalah warisan spiritual, bukan spreadsheet
kronologis.
Karena itu, ketika
sebagian pendeta viral berteriak bahwa “Natal 25 Desember itu salah!”, mereka
sesungguhnya sedang memperlihatkan ketidaktahuan mereka tentang bagaimana iman
Kristen berkembang. Mereka mengabaikan sejarah Gereja perdana, menolak peran
para Bapa Gereja, dan meminggirkan Tradisi Suci. Mereka merendahkan Magisterium
seolah-olah hanya kumpulan manusia yang salah, tetapi tanpa malu-malu
mengangkat interpretasi pribadi mereka sendiri seakan-akan itu suara Roh Kudus.
Ironinya, orang-orang
yang paling sering menuduh Gereja Katolik “menyesatkan” adalah orang-orang yang
bahkan tidak memahami struktur dasar bagaimana Gereja menentukan liturgi.
Mereka menuduh Gereja meniru penyembahan matahari, padahal tidak mampu
membedakan antara konflik budaya dan inkulturasi teologis. Mereka membangun
narasi tandingan yang terlihat cerdas di permukaan, tetapi rapuh di hadapan
data sejarah sesungguhnya.
Krisis terbesar yang
kita saksikan bukan soal tanggal, tetapi soal kehilangan kerendahan hati dalam
beriman.
Gereja, lewat ribuan
tahun sejarah, membangun liturgi lewat doa, puasa, konsili, perdebatan
teologis, dan bimbingan Roh Kudus. Sementara sebagian pengkhotbah viral
membangun pengajaran mereka dari studio dadakan di kamar tidur. Yang satu
mengakar pada Tradisi Apostolik, yang lain mengakar pada algoritma For You
Page.
Pertanyaannya: mengapa umat begitu cepat percaya pada yang
viral tetapi ragu terhadap Gereja yang diwariskan Kristus sendiri?
Jawabannya sederhana: karena budaya digital telah melatih kita
untuk percaya pada yang cepat, bukan yang benar; yang keras, bukan yang hikmat;
yang dramatis, bukan yang mendalam.
Polemik Natal ini
membuka kebobrokan yang lebih besar: sebagian umat Kristen tidak lagi mengenal
sumber imannya sendiri. Kitab Suci dilepaskan dari Tradisi Suci. Tafsir pribadi
dianggap lebih murni daripada Magisterium. Padahal Yesus tidak pernah
mendirikan “gereja TikTok”; Ia mendirikan Gereja Katolik, dengan struktur,
hierarki, dan tugas mengajar.
Ironisnya lagi, orang
yang mencemooh perayaan Natal 25 Desember tetap merayakan Paskah pada tanggal
yang ditetapkan kalender liturgi yang sama. Tidak ada keberatan ketika memakai
kalender Gregorian untuk tahun baru, tetapi tiba-tiba fanatik soal tanggal ketika
menyangkut Natal. Ini bukan konsistensi teologis; ini inkonsistensi yang
dibungkus dengan kesalehan palsu.
Natal 25 Desember
hanyalah pintu masuk. Krisis sebenarnya adalah semakin banyaknya umat Kristen
yang kehilangan kemampuan membedakan mana ajaran Gereja dan mana konten viral.
Magisterium yang sudah membimbing umat selama dua milenium kini dilecehkan oleh
mereka yang menolak belajar, tetapi rajin menuduh.
Sementara itu, inti
Natal semakin hilang. Fokus umat terpecah pada perdebatan kronologi, sementara
misteri inkarnasi—Allah yang merendahkan diri menjadi manusia—hampir tidak
disentuh. Yang dirayakan bukan lagi kedatangan Sang Juru Selamat, tetapi adu
argumen kosong yang membuat iman semakin dangkal.
Pada akhirnya,
pertanyaan terpenting bukanlah:
“Benarkah Yesus lahir
tanggal 25 Desember?”
Pertanyaan terpenting
adalah:
“Apakah hidup kita
mencerminkan bahwa Yesus sungguh telah lahir di hati kita?”
Karena tanpa itu,
tanggal apa pun tidak berarti.
Dan tanpa Magisterium,
tafsir apa pun akan liar.
Dan tanpa kerendahan
hati, iman apa pun akan hancur.
Gereja tidak
membutuhkan pembelaan dari konten viral. Gereja membutuhkan umat yang berani
berpikir, membaca, berdoa, dan memegang teguh tradisi yang telah menjaga iman
selama dua ribu tahun. Natal 25 Desember bukan masalah. Yang bermasalah adalah
generasi baru yang lebih percaya pada layar ponsel daripada pada Gereja yang
dibangun Kristus.
