banner Perang Tanggal dan Krisis Iman: Natal 25 Desember di Meja Pengadilan Media Sosial

Perang Tanggal dan Krisis Iman: Natal 25 Desember di Meja Pengadilan Media Sosial

Tempat kelahiran Yesus di Betlehem

Suara Numbei News - Polemik soal Natal 25 Desember yang kembali viral lewat khotbah-khotbah pendek di TikTok dan Facebook bukan sekadar perbedaan pandangan. Ia adalah gejala yang lebih serius: degradasi iman di tangan algoritma. Sebuah kondisi di mana siapa pun bisa bangun tidur, menyalakan kamera, memotong ayat Alkitab sesuka hati, lalu mengklaim dirinya penafsir kebenaran yang lebih murni daripada tradisi Gereja dua ribu tahun.

Natal, yang seharusnya menjadi perayaan terbesar misteri keselamatan—Allah menjadi manusia—kini dipreteli menjadi debat dangkal tentang tanggal. Lebih parah lagi, sebagian orang yang menyebut diri pemimpin rohani menyajikan perdebatan itu dengan cara yang memalukan: penuh misinformasi, historisisme sempit, dan rasa superioritas yang lahir bukan dari studi, tetapi dari popularitas digital.

Di sini, iman tidak sedang bertumbuh.

Iman sedang digerogoti oleh kepercayaan diri yang tidak didukung kapasitas teologis.

Dalam iman Katolik, penetapan 25 Desember bukanlah isu yang pernah disembunyikan Gereja. Gereja sangat tahu bahwa tidak ada catatan kelahiran Yesus yang mencantumkan tanggal. Namun Gereja juga tahu bahwa liturgi tidak pernah dimaksudkan sebagai laporan ilmiah, tetapi ruang ilahi yang memungkinkan umat mengalami misteri keselamatan. Kalender liturgi adalah warisan spiritual, bukan spreadsheet kronologis.

Karena itu, ketika sebagian pendeta viral berteriak bahwa “Natal 25 Desember itu salah!”, mereka sesungguhnya sedang memperlihatkan ketidaktahuan mereka tentang bagaimana iman Kristen berkembang. Mereka mengabaikan sejarah Gereja perdana, menolak peran para Bapa Gereja, dan meminggirkan Tradisi Suci. Mereka merendahkan Magisterium seolah-olah hanya kumpulan manusia yang salah, tetapi tanpa malu-malu mengangkat interpretasi pribadi mereka sendiri seakan-akan itu suara Roh Kudus.

Ironinya, orang-orang yang paling sering menuduh Gereja Katolik “menyesatkan” adalah orang-orang yang bahkan tidak memahami struktur dasar bagaimana Gereja menentukan liturgi. Mereka menuduh Gereja meniru penyembahan matahari, padahal tidak mampu membedakan antara konflik budaya dan inkulturasi teologis. Mereka membangun narasi tandingan yang terlihat cerdas di permukaan, tetapi rapuh di hadapan data sejarah sesungguhnya.

Krisis terbesar yang kita saksikan bukan soal tanggal, tetapi soal kehilangan kerendahan hati dalam beriman.

Gereja, lewat ribuan tahun sejarah, membangun liturgi lewat doa, puasa, konsili, perdebatan teologis, dan bimbingan Roh Kudus. Sementara sebagian pengkhotbah viral membangun pengajaran mereka dari studio dadakan di kamar tidur. Yang satu mengakar pada Tradisi Apostolik, yang lain mengakar pada algoritma For You Page.

Pertanyaannya: mengapa umat begitu cepat percaya pada yang viral tetapi ragu terhadap Gereja yang diwariskan Kristus sendiri?

Jawabannya sederhana: karena budaya digital telah melatih kita untuk percaya pada yang cepat, bukan yang benar; yang keras, bukan yang hikmat; yang dramatis, bukan yang mendalam.

Polemik Natal ini membuka kebobrokan yang lebih besar: sebagian umat Kristen tidak lagi mengenal sumber imannya sendiri. Kitab Suci dilepaskan dari Tradisi Suci. Tafsir pribadi dianggap lebih murni daripada Magisterium. Padahal Yesus tidak pernah mendirikan “gereja TikTok”; Ia mendirikan Gereja Katolik, dengan struktur, hierarki, dan tugas mengajar.

Ironisnya lagi, orang yang mencemooh perayaan Natal 25 Desember tetap merayakan Paskah pada tanggal yang ditetapkan kalender liturgi yang sama. Tidak ada keberatan ketika memakai kalender Gregorian untuk tahun baru, tetapi tiba-tiba fanatik soal tanggal ketika menyangkut Natal. Ini bukan konsistensi teologis; ini inkonsistensi yang dibungkus dengan kesalehan palsu.

Natal 25 Desember hanyalah pintu masuk. Krisis sebenarnya adalah semakin banyaknya umat Kristen yang kehilangan kemampuan membedakan mana ajaran Gereja dan mana konten viral. Magisterium yang sudah membimbing umat selama dua milenium kini dilecehkan oleh mereka yang menolak belajar, tetapi rajin menuduh.

Sementara itu, inti Natal semakin hilang. Fokus umat terpecah pada perdebatan kronologi, sementara misteri inkarnasi—Allah yang merendahkan diri menjadi manusia—hampir tidak disentuh. Yang dirayakan bukan lagi kedatangan Sang Juru Selamat, tetapi adu argumen kosong yang membuat iman semakin dangkal.

Pada akhirnya, pertanyaan terpenting bukanlah:

“Benarkah Yesus lahir tanggal 25 Desember?”

Pertanyaan terpenting adalah:

“Apakah hidup kita mencerminkan bahwa Yesus sungguh telah lahir di hati kita?”

Karena tanpa itu, tanggal apa pun tidak berarti.

Dan tanpa Magisterium, tafsir apa pun akan liar.

Dan tanpa kerendahan hati, iman apa pun akan hancur.

Gereja tidak membutuhkan pembelaan dari konten viral. Gereja membutuhkan umat yang berani berpikir, membaca, berdoa, dan memegang teguh tradisi yang telah menjaga iman selama dua ribu tahun. Natal 25 Desember bukan masalah. Yang bermasalah adalah generasi baru yang lebih percaya pada layar ponsel daripada pada Gereja yang dibangun Kristus.

 




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama