Jalan sunyi, yang kerap
dihindari karena dianggap membosankan, justru menyingkap paradoks zaman. Kita
hidup di era kebisingan permanen—opini berlimpah, notifikasi tak henti—namun
miskin permenungan. Sunyi menjadi subversif. Ia melawan logika produktivitas yang
mengukur nilai manusia dari kecepatan dan jumlah. Menyongsong Natal di jalan
sunyi adalah tindakan kritis: menolak perayaan yang ramai tetapi hampa.
Hujan, dalam kritik
etis, adalah pengingat ketidakadilan. Ia turun merata, tetapi dampaknya tidak
pernah sama. Ada yang merayakan hujan dari balik kaca mobil; ada yang
menanggungnya di jalan berlumpur. Natal sering jatuh pada jebakan serupa:
khotbah tentang kasih universal, tetapi praktik solidaritas yang selektif. Di
sinilah Natal diuji—bukan pada dekorasi, melainkan pada keberpihakan.
Palungan adalah simbol
paling radikal dalam sejarah iman: Tuhan memilih pinggir, bukan pusat. Namun
kita kerap merayakannya dari pusat-pusat kenyamanan. Jalan sunyi menyodorkan
pertanyaan tajam: beranikah kita keluar dari keramaian yang aman menuju
perjumpaan yang menuntut? Natal, jika jujur pada asalnya, selalu mengganggu
tatanan—ia menegur kuasa, menyingkap kepalsuan, dan memihak yang rapuh.
Maka, menyongsong Natal
bukan soal menambah cahaya lampu, tetapi mengurangi kebisingan batin. Derai
hujan mengajak kita belajar setia tanpa sorotan; jalan sunyi menantang kita
berjalan tanpa tepuk tangan. Barangkali Natal yang paling otentik justru lahir
ketika kita berani tidak merayakannya secara berlebihan—agar maknanya tidak
tenggelam dalam riuh yang kita ciptakan sendiri.
