banner Inflasi Konsep dan Ilusi Sinergi: Kritik Ilmiah atas Pergeseran P5 ke Delapan Dimensi Profil Lulusan

Inflasi Konsep dan Ilusi Sinergi: Kritik Ilmiah atas Pergeseran P5 ke Delapan Dimensi Profil Lulusan



Suara Numbei News - Pergeseran kebijakan pendidikan karakter dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) menuju formulasi Delapan Dimensi Profil Lulusan menandai babak baru dalam narasi reformasi pendidikan Indonesia. Secara normatif, perubahan ini dipromosikan sebagai penyempurnaan: lebih komprehensif, lebih holistik, dan lebih relevan dengan tantangan abad ke-21. Namun, jika dibaca secara kritis dan ilmiah, pergeseran ini justru memperlihatkan persoalan lama yang berulang—yakni kecenderungan negara memproduksi konsep baru tanpa pembenahan mendasar pada struktur, kultur, dan praktik pendidikan itu sendiri.

Secara epistemologis, transformasi ini menunjukkan gejala inflasi konsep. Nilai-nilai karakter yang sebelumnya dirangkum dalam kerangka P5 kini diperluas menjadi delapan dimensi profil lulusan, tetapi tanpa penjelasan teoritik yang kokoh mengenai relasi, hierarki, dan mekanisme internalisasi antardimensi tersebut. Akibatnya, profil lulusan berpotensi menjadi daftar ideal normatif yang bersifat deklaratif, bukan konstruksi pedagogis yang operasional dan terukur secara ilmiah. Dalam kajian pendidikan karakter, nilai bukan sekadar ditanamkan melalui pernyataan atau indikator, melainkan dibentuk melalui pengalaman bermakna, refleksi kritis, dan keteladanan yang konsisten. Semakin banyak dimensi dan indikator yang dirumuskan, semakin besar risiko nilai tersebut direduksi menjadi simbol administratif.

Dari perspektif pedagogis, kebijakan ini kembali memperlihatkan pola beban asimetris pada guru dan satuan pendidikan. Guru diposisikan sebagai aktor utama yang harus mengintegrasikan delapan dimensi ke dalam kurikulum, pembelajaran, asesmen, dan budaya sekolah, tanpa diiringi restrukturisasi beban kerja, penguatan kapasitas pedagogi kritis, maupun pengurangan tekanan administratif. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip pedagogi transformatif yang menempatkan guru sebagai subjek reflektif dan intelektual praksis, bukan sekadar pelaksana teknokratis kebijakan. Dalam situasi demikian, pendidikan karakter berisiko berubah menjadi rutinitas prosedural—dipenuhi rubrik, laporan, dan dokumentasi—tetapi miskin transformasi kesadaran.

Secara sosiologis, pergeseran dari P5 ke delapan dimensi mencerminkan ilusi institusional: keyakinan bahwa sekolah memiliki kapasitas tunggal dan cukup untuk membentuk karakter peserta didik secara utuh. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa karakter manusia dibentuk dalam relasi kompleks antara keluarga, lingkungan sosial, budaya digital, struktur ekonomi, serta keteladanan publik. Ketika sekolah dituntut melahirkan lulusan berintegritas, kritis, dan berkeadaban, sementara ruang publik justru dipenuhi praktik korupsi, kekerasan simbolik, disinformasi, dan ketidakadilan struktural, maka pendidikan karakter berada dalam situasi kontradiktif. Sekolah dipaksa menjadi benteng moral terakhir di tengah runtuhnya konsistensi etika sosial.

Pada level kebijakan, pergeseran ini juga mengindikasikan problem ketiadaan kontinuitas kebijakan berbasis evaluasi empiris. Alih-alih melakukan kajian mendalam terhadap efektivitas P5—apa yang berhasil, apa yang gagal, dan mengapa—negara justru memperkenalkan kerangka baru yang lebih kompleks. Dalam studi kebijakan publik, pola semacam ini dikenal sebagai reformasi semu: perubahan desain normatif tanpa perbaikan ekosistem implementasi. Dampaknya adalah kelelahan institusional di tingkat sekolah, di mana satuan pendidikan terus beradaptasi dengan istilah dan format baru, tetapi tidak pernah diberi waktu cukup untuk menumbuhkan budaya pendidikan karakter yang berkelanjutan.

Wacana resmi tentang perlunya sinergi semua pihak pun perlu dibaca secara kritis. Tanpa mekanisme koordinasi lintas sektor yang jelas, distribusi tanggung jawab yang adil, serta akuntabilitas publik yang tegas, sinergi mudah berubah menjadi jargon retoris. Pendidikan karakter sejatinya adalah proyek kebudayaan jangka panjang, bukan program sektoral milik kementerian pendidikan semata. Ia menuntut konsistensi nilai antara kebijakan pendidikan, kebijakan sosial, regulasi media, praktik politik, dan perilaku elite publik. Tanpa keteladanan struktural, sekolah hanya akan memproduksi narasi moral yang rapuh dan mudah runtuh ketika berhadapan dengan realitas sosial.

Dengan demikian, pergeseran dari P5 ke delapan dimensi profil lulusan tidak dapat serta-merta dibaca sebagai kemajuan. Ia justru harus menjadi momentum reflektif untuk meninjau ulang paradigma pendidikan karakter di Indonesia. Pertanyaan kuncinya bukanlah berapa banyak dimensi yang dirumuskan, melainkan sejauh mana negara dan masyarakat berani membangun ekosistem nilai yang hidup, konsisten, dan berkeadilan.

Tanpa keberanian meninggalkan pendekatan normatif-administratif menuju pendekatan kritis-reflektif berbasis bukti empiris dan keteladanan publik, delapan dimensi profil lulusan berpotensi mengulang nasib P5: kuat dalam dokumen kebijakan, tetapi lemah dalam pembentukan manusia. Pendidikan karakter akhirnya kembali menjadi proyek simbolik—indah di konsep, miskin dalam praksis.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama