Secara epistemologis,
transformasi ini menunjukkan gejala inflasi konsep. Nilai-nilai karakter yang
sebelumnya dirangkum dalam kerangka P5 kini diperluas menjadi delapan dimensi
profil lulusan, tetapi tanpa penjelasan teoritik yang kokoh mengenai relasi, hierarki,
dan mekanisme internalisasi antardimensi tersebut. Akibatnya, profil lulusan
berpotensi menjadi daftar ideal normatif yang bersifat deklaratif, bukan
konstruksi pedagogis yang operasional dan terukur secara ilmiah. Dalam kajian
pendidikan karakter, nilai bukan sekadar ditanamkan melalui pernyataan atau
indikator, melainkan dibentuk melalui pengalaman bermakna, refleksi kritis, dan
keteladanan yang konsisten. Semakin banyak dimensi dan indikator yang
dirumuskan, semakin besar risiko nilai tersebut direduksi menjadi simbol
administratif.
Dari perspektif
pedagogis, kebijakan ini kembali memperlihatkan pola beban asimetris pada guru
dan satuan pendidikan. Guru diposisikan sebagai aktor utama yang harus
mengintegrasikan delapan dimensi ke dalam kurikulum, pembelajaran, asesmen, dan
budaya sekolah, tanpa diiringi restrukturisasi beban kerja, penguatan kapasitas
pedagogi kritis, maupun pengurangan tekanan administratif. Kondisi ini
bertentangan dengan prinsip pedagogi transformatif yang menempatkan guru sebagai
subjek reflektif dan intelektual praksis, bukan sekadar pelaksana teknokratis
kebijakan. Dalam situasi demikian, pendidikan karakter berisiko berubah menjadi
rutinitas prosedural—dipenuhi rubrik, laporan, dan dokumentasi—tetapi miskin
transformasi kesadaran.
Secara sosiologis,
pergeseran dari P5 ke delapan dimensi mencerminkan ilusi institusional:
keyakinan bahwa sekolah memiliki kapasitas tunggal dan cukup untuk membentuk
karakter peserta didik secara utuh. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa
karakter manusia dibentuk dalam relasi kompleks antara keluarga, lingkungan
sosial, budaya digital, struktur ekonomi, serta keteladanan publik. Ketika
sekolah dituntut melahirkan lulusan berintegritas, kritis, dan berkeadaban,
sementara ruang publik justru dipenuhi praktik korupsi, kekerasan simbolik,
disinformasi, dan ketidakadilan struktural, maka pendidikan karakter berada
dalam situasi kontradiktif. Sekolah dipaksa menjadi benteng moral terakhir di
tengah runtuhnya konsistensi etika sosial.
Pada level kebijakan,
pergeseran ini juga mengindikasikan problem ketiadaan kontinuitas kebijakan
berbasis evaluasi empiris. Alih-alih melakukan kajian mendalam terhadap
efektivitas P5—apa yang berhasil, apa yang gagal, dan mengapa—negara justru
memperkenalkan kerangka baru yang lebih kompleks. Dalam studi kebijakan publik,
pola semacam ini dikenal sebagai reformasi semu: perubahan desain normatif
tanpa perbaikan ekosistem implementasi. Dampaknya adalah kelelahan
institusional di tingkat sekolah, di mana satuan pendidikan terus beradaptasi
dengan istilah dan format baru, tetapi tidak pernah diberi waktu cukup untuk
menumbuhkan budaya pendidikan karakter yang berkelanjutan.
Wacana resmi tentang
perlunya sinergi semua pihak pun perlu dibaca secara kritis. Tanpa mekanisme
koordinasi lintas sektor yang jelas, distribusi tanggung jawab yang adil, serta
akuntabilitas publik yang tegas, sinergi mudah berubah menjadi jargon retoris.
Pendidikan karakter sejatinya adalah proyek kebudayaan jangka panjang, bukan
program sektoral milik kementerian pendidikan semata. Ia menuntut konsistensi
nilai antara kebijakan pendidikan, kebijakan sosial, regulasi media, praktik
politik, dan perilaku elite publik. Tanpa keteladanan struktural, sekolah hanya
akan memproduksi narasi moral yang rapuh dan mudah runtuh ketika berhadapan
dengan realitas sosial.
Dengan demikian,
pergeseran dari P5 ke delapan dimensi profil lulusan tidak dapat serta-merta
dibaca sebagai kemajuan. Ia justru harus menjadi momentum reflektif untuk
meninjau ulang paradigma pendidikan karakter di Indonesia. Pertanyaan kuncinya
bukanlah berapa banyak dimensi yang dirumuskan, melainkan sejauh mana negara
dan masyarakat berani membangun ekosistem nilai yang hidup, konsisten, dan
berkeadilan.
Tanpa keberanian
meninggalkan pendekatan normatif-administratif menuju pendekatan
kritis-reflektif berbasis bukti empiris dan keteladanan publik, delapan dimensi
profil lulusan berpotensi mengulang nasib P5: kuat dalam dokumen kebijakan,
tetapi lemah dalam pembentukan manusia. Pendidikan karakter akhirnya kembali
menjadi proyek simbolik—indah di konsep, miskin dalam praksis.
.png)