MANUSIA DALAM
KEMAJUAN TEKNOLOGI
Tulisan
ini merupakan suatu tinjauan moral terhadap teknologi yang makin berkembang dan
membawa pengaruh yang tidak sedikit dalam hidup manusia baik sebagai pribadi
maupun sebagai kelompok masyarakat. Tentu saja manusia menjadi pokok yang
paling sentral dalam refleksi ini. Tulisan ini saya sajikan berdasarkan usaha
melihat dari perspektif seorang yang berminat dengan perkembangan globalisasi,
khususnya menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat.
Tentu saja tidak seorangpun yang lebih berminat dan memberi perhatian besar terhadap implikasi multi dimensi dari teknologi dari pada seorang pengamat perkembangan globalisasi yang dikategorikansebagai cendikiawan muda. Seorang cendikiawan, sebagai orang yang cerdas, biasanya diharapkan bisa bersikap kritis dalam menghadapi permasalahan teknologis atau mampu membahas sesuatu secara sistematis, logis dan analitis serta berusaha menjawabnya. Sebab itu ia selalu dikejar dalam tugas merefleksi atau mempertimbangkan kriteria moral, yang menentukan dan mempengaruhi tindakan serta tanggung jawab baik terhadap manusia maupun terhadap dunia secara keseluruhan.
Nilai Absolut
bila
ditinjau dari sudut pandangan etis, maka akan muncul pertanyaan: apa yang
mejadi “Nilai Dasar”, yang harus dipelihara sebagai tanggung jawab autentik
dari teknologi? Jawaban atas pertanyaan ini terungkap jelas dalam Gaudium et
spes no. 12, “menurut pendapat yang hampir sejalan dari orang-orangberiman,
segala sesuatu yang ada di dunia harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat
dan puncaknya”. Orang-orang tak beriman pun mengakui bahwa manusia adalah tuan
atas dunia ini. Menurut pengertian Hegel dan para pengikutnya, manusia bukan
hamba, melainkan tuan, sebab dalam kebebasannya manusia tidak tinggal pasif
saja menantikan masa depan bahagia, melainkan secara aktif mencarinya sehingga
masa depan memproyeksikan dirinya dan manusia itu sendiri pun mengarahkan
dirinya kepada masa depan. Manusia berusaha bergerak ke luar dari dirinya,
mel;ampaui kediriannya, masuk ke dalam dunia masa depan. Dan tanpa mengabaikan
pertanyaan Sartre tentang kebebasan absolut manusia, kita pun sependapat dengan
Kant bahwa manusia termasuk “Kerajaan dari semua tujuan”. Itu berarti menurut
Kant tuntutan-tuntutan martabat manusia yang mau dibicarakan selalu merupakan
tujuan dan tak pernah sebagai kekayaan atau harga.
Segala
yang lain, terkecuali manusia, termasuk “Kerajaan Kebutuhan”. Semuanya itu
dipandang sebagai sebuah kekayaan atau harta yang dapatb membantu manusia dalam
mencapai tujuannya. Jadi, baik theisme kristen maupun humanisme atheistis
sependapat bahwa nilai absolut yang harus dijaga sebagai tanggung jawab
autentik teknologi adalah “MANUSIA”.
AMBIVALENSI PERKEMBANGAN TEKNIS
Menurut
Enda McDonagh, “teknologi” dan perkembangan “teknologis” mengandung dua
pengertian. Pertama, penggunaan terencana sumber kekayaan alam. Dalam hal ini
teknologi dimungkinkan oleh adanya ilmu pengetahuan ilmiah. Jadi, teknologi
adalah konsekuensi dari ilmu pengetahuan. Kedua, teknologi berarti intervensi
atau manipulasi alam supaya memperoleh ilmu pengetahuan baru. Dalam konoteks
ini teknologi mendahului pengetahuan meskipun teknologi digabungkan dengan
metode eksperimental.
“kemajuan-kemajuan
teknis seolah-olah memberikan bahan bagi perkembangan manusia, akan tetapi
tidak pernah mewujudkannya sendiri”. (bdk. GS. 35)
Dengan
kata lain sumber-sumber teknologis dipergunakan untuk kepentingan dan kemajuan
manusia. Dan menurut pengertian kedua yaitu manipulasi alam, manusia dan
karyanya demi perkembangan ilmu pengetahuan baru, teknologi sekali lagi
bersifat ambivalent. Di satu pihak teknologi dapat mengurangkan respek terhadap
manusia, sebab manusia dilihat sebagai harta kekayaan dan dengan itu dunia
manusia bisa rusak; tetapi di pihak lain teknologi membantu manusia
mengembangkan semua potensinya dalam mengolah dan memakai semua kekayaan dunia
demi kemajuannya sendiri.
Sebab
itu seorang cendikiawan, sebagai seorang manusia, tidak boleh begitu saja
menghindarkan diri dari semua konsekuensi dan dasar pemikiran ilmu
pengetahuannya. Walaupun teknologi sekarang menerobos sampai bidang-bidang
intuisi, instink dan coba berusaha menguasai manusia dengan teknik, tetapi
seorang cendikiawan harus mengakui juga bahwa bukan semua kemungkinan dalam hal
teknis dapat direalisir.
Seorang
cendikiawan, dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuannya, harus
bertindak dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab kalau ia mau mengemukakan
manfaat yang mungkin dapat diperoleh dari ilmu pengetahuannya; dan kalau ia
menelaah secara kritis dan tajam ilmu pengetahuannya sehingga kalau
dipergunakan dapat membantu perkembangan manusia. Maka kadang-kadang apabila ia
menganggap bahwa penyelidikan-penyelidikannya itu akan merusak manusia bila
dijalankan, maka ia harus bersedia menerima akibat-akibat bagi dirinya sendiri
atau berani menghentikan penyelidikannya itu. Sering hal ini sangat sulit
terutama jika orang-orang yang membiaya penyelidikan itu mempunyai kemauan yang
kuat. Dalam hal-hal demikian, cendikiawan yang ingin tahu dan memiliki
ketajaman observasi akan lebih dahulu meningkatkan pengontrolan kritis terhadap
hasil-hasil karyanya.
Tentu
saja dalam banyak hal seorang cendikiawan tidak dapat meramalkan secara tepat
dan realistis apa manfaat yang akan diperoleh dari penyelidikannya.
Kadang-kadang juga ia tak mampu membendung hasil-hasil penyelidikannya, yang
dapat membantu kemajuan manusia tetapi juga merusak manusia, dalam hubungan
dengan akibat kedua dari hasil penyelidikan:-merusak manusia-nampak bagi kita bahwa
seorang cendikiawan bisa salah mempergunakan tanggung jawabnya, baik terhadap
dirinya sendiri maupun terhadap manusia lain.
Jauh
lebih sulit lagi yaitu masalah mempergunakan metode ilmu pengetahuan untuk
memanipulasi manusia dan atau dunianya. Ada berbagai macam alasan yang muncul
dari setiap bidang ilmu pengetahuan. Masing-masing disiplin ilmu membutuhkan
kriteria etis yang spesifik. Tetapi bila masing-masing disiplin ilmu itu masih
tetap mempunyai hukum moral profesional tersendiri, maka menurut Vico Peinado,
sekurang-kurangnya beberapa norma umum perlu dibentuk supaya bisa dipergunakan.
Norma-norma Etis Umum
Di
bawah ini secara garis besar dikemukakan beberapa norma etis umum,
1. Pandangan
moral
Bila
ditinjau dari sudut pandangan etis, manupulasi terhadap “dunia” sama sekali
tidak banyak membawa problem. Tentu saja intervensi teknologi semacam ini
mengandalkan bahwa dunia kita, seperti yang dikatakan J. B Metzm, bukan
merupakan sebuah “kosmos” , suatu ordo yang sempurna kepadanya manusia harus
menyerahkan diri. Tetapi dunia kita lebih dilihat sebagai objek atau barang
yang dipercayakan kepada manusia agar diselidiki secara cermat
rahasi-rahasianya sehingga bisa dipergunakan demi kepentingan dan kemajuan
manusia.
2. Justru
karena inio, maka batas intervensi dalam dunia adalah manusia. Pada cendikiawan
hendaknya selalu sadar bahwa dunia di dalamnya mereka berkarya dan
mempergunakan segala kemampuannya adalah
“dunia manusia”, di mana manusia menjadi titik pusatnya. Sebab itu manipulasi
tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Para cendikiawan harus mewujudkan
tanggung jawabnya terhadap sejarah hidup manusia. Bertolak dari “manusia”,
peranan para cendikiawan seharusnya tidak terbatas dalam pemecahan masalah yang
hanya bersifat sementara saja, melainkan juga berpikir tentang resiko-resiko
yang akan menimpa manusia dan sejarahnya sebagai konsekuensi intervensi mereka.
Inilah dasar moral. Dasar ini pernah menjadi jawaban Teilhard de Chardin atas
pertanyaan para ekolog: apakah dalam keadaan yang terdesak kita tidak boleh
menghabiskan dengan cepat sumber cadangan alam kita?
3. Dalam
banyak hal, manusia sendiri menjadi objek dari berbagai intervensi teknologis.
Dikatakan demikian karena tujuan teknologi bukan hanya untuk perkembangan ilmu
pengetahuan; sebab manusia adalah tuan atas ilmu pengetahuan, atau hanya untuk
kepentingan baik secara individual maupun komunal; tetapi juga karena manusia
dilihat sebagai tujuan dan tak pernah sebagai sarana atau barang.
Jadi,
semua norma yang telah disebutkan di atas secarta tidak langsung menyatakan
bahwa:
Pertama: martabat
persona manusia harus dihormati dalam keseluruhannya; intelegensi,
affektivitas, psike, struktur fisik, peranan dan lingkungan hidupnya.
Kedua: Potensi
manusia untuk mendeterminir kehidupannya harus juga dihormati. Karena itu tidak
mungkin ada intervensi yang tepat tanpa persetujuan subjek.
Ketiga:
Persetujuan seperti itu tidak bersifat etis kalau intervensi teknologis itu
merusak atau merendahkan kemanusiaannya secara keseluruhan atau sebagian saja.
Keempat: Di
pihak lain intervensi boleh dilaksanakan kalau ada jaminan pasti bahwa subjek
yang membutuhkan itu akan lebih mengalami perkembangan dan perbaikan.
Apa itu “Kemanusiaan”
Ternyata
kriteria umum yang telah disebutkan di atas berkisar sekitar arti dari “Kemanusiaan”
itu. Tetapi bagaimana kita memberikan pengertian konkret terhadap apa yang
disebut Souhaitable Human?.
Ada
banyak aliran yang berbicara tentang manusia. Setiap aliran itu mempunyai
konsepsi yang sungguh-sungguh berbeda tentang manusia. Di antara aliran-aliran
itu, ada yang berpendapat bahwa “manusia”. Di antara aliran-aliran itu, ada
yang berpendapat bahwa “manusia” adalah abstraksi formal semata-mata dan tidak
mempunyai isi normatif.
Selain
itu perlu disadari bahwa pengetahuan kita tentang “kemanusiaan” tidak terbatas
dan komplet, melainkan senantiasa berkembang seturut perkembangan manusia itu
sendiri. Lebih lagi, pengetahuan ini tidak semata-mata bersifat objektif,
tetapi sekurang-kurangnya sebagiannya merupakan interpretasi subjek sehingga
terlibat juga elemen-elemen subjektif. Hal ini menurut P. Sproken, tindakan ini
mempunyai konsekuensi etis; dan karena tak dapat dielakkan bahwa pengetahuan
kita sering cenderung mengarah ke bahaya ekstrim, maka sangat dibutuhkan
perbaikan kontinu. Karena itu, “kemanusiaan” tak pernah jdapat diijelaskan
dengan sepenuhnya oleh satu kriterium yang valid dan stabil. Dan karena itu,
kita tidak wajib mengorbankan aktualisasi manusia yang bebas untuk
kebenaran-kebenaran statis dari pemikiran praktikal.
Dan
bukan saja pengetahuan manusia tetapi juga realitas manusia itu sendiri adalah
subjek evolusi historis. Seperti yang ditulis Newma dalam Grammar of Assent: makhluk yang lain adalah lengkap dari permulaan
adanya…..; tetapi manusia mulai tanpa apa-apa…., dan dia harus membuat
“capital” untuk dirinya sendiri dengan memakai kesanggupoan-kesanggupan yang
merupakan warisannya yang kodrati dengan memakai kesangggupan-kesanggupan yang merupakan
warisannya yang kodrati. Dengan kesanggupan itu ia seakan menjadi creator bagi
dirinya sendiri.
Ada
orang, seperti Dithey, berkesimpulan bahwa “hanya sejaraha yang mengatakan
bahwa apa itu manusia”. Bagi Y. B. Mangunwijaya, masalah manusia dan kemiskinan
adalah “masalah perjuangan”. Sedangkan untuk orang lain, ungkapan “kodrat
manusia” tidak bisa member kepada kita criteria teoritis yang dapat dipakai
untuk eksistensi konkret dari manusia.
Naif atau Pesimisme
Kedua
pandangan ini, di samping membantu mengatasi kesederhanaan dalam arti naïf dari
parea moralis di masa lampau, tetapi juga menolong kita mengabaikan pesimisme
noetis beberapa moralis zaman modern ini.
Memang
Peinado J. telah menerima pernyataan Dilthey bahwa manusia akan dikenal- dalam
keseluruhannya-hanya pada akhir sejarah. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita
tidak bisa mengetahui apa-apa tentang manusia. Seturut J. Girardi, perbedaan
dan perubahan mendasar secara total tidak menghapus kebiasaan masyarakat. Apabila
ada perubahan-perubahan dalam sejarah manusia, maka ada juga kesatuan-kesatuan
yang konstan.
Kenyataan
bahwa pengetahuan kita tentang “manusia” tetap berkembang. Ini menunjukkan
bahwa kita tak pernah menarik diri dari karya-karya percobaan konstan meskipun
kadang-kadang dirasa sulit. Dan ini membawa perubahan konkret pada norma-norma
etis. Tetapi ini tidak berarti pengetahuan kita yang dulu itu adalah palsu;
lebih tepat, pengetahuan yang dulu belum mengungkapkan sepenuhnya kesempurnaan
struktur manusia. Dan sungguh salah bila kita tetap mempertahankan norma-norma
etis konkret yang statis sementara pengetahuan kita telah diperkaya. Tetapi di
pihak lain juga kita membuat kesalahan yang sama jikalau kita menolak bahwa
pengetahuan kita mempunyai relevansi untuk membatasi norma-norma etis.
Tak
dapat disangkal, psikologi, Gestalt” telah mengajarkan bahwa pengetahuan kita
bersifat interpratif., sebab itu ada juga unsure-unsur atau faktor-faktor
subjektif dalam pengetahuan kita. Tetapi ini tidak berarti keseluruhan
pengetahuan kita bersifat demikian. Sesungguhnya psikologi ini hanya mau
memperlihatkan kepada kita kritik tajam terhadap pemisahan antara pengetahuan
yang bersifat objektif dan subjektif.
Akhirnya
seperti yang dikatakan Jasper, ketergantungan kulutural –kita merupakan suatu “situasi
batas”. Bahkan seperti disimpulkan Erich Fromm, manusia bukan merupakan “sehelai
kertas kosong di dalamnya setiap kebudayaan menulis isinya”. Sebab jikalau
manusia hanya sebuah refleksi dari kebudayaannya, maka tidak ada ordo social yang
dapat dikritik dengan bereferensi pada kesejahteraan manusia, karena tidak ada
konsep tentang manusia.
Jadi,
ada pluralitas humanism tidak berarti bahwa ‘manusia” adalah satu abstraksi
tanpa nilai atau isi normative, tetapi harus diterima sebagai satu undangan
atau panggilan untuk berdialog, mencari dengan jujur dan bebas demi kebenaran.
Jalan-Jalan Masuk
Pada
akhir tulisan ini, sebagai kesimpulan umum diberikan “tiga jalan” untuk sampai
pada isi normative yang manusiawi, yang menentukan arti dan membatasi
manipulasi teknologis.
Pertama: Kita
bisa memperoleh pengetahuan mengenai tuntutan etis dari “manusia” melalui “pengalaman
perdebatan”, melalui dialog dari segala disiplin ilmu, yang pada tarf berbeda
menyelidiki manusia, termasuk filsafat dan teologi. Dan dialog itu mengandaikan
minat atau perhatian mengenai segala sumber cahaya dengan mana kita dapat
menyoroti pokok itu tanpa prasangka dan reduksionisme.
Kedua: Kita
bisa memperoleh pengetahuan mengenai pentingnya nilai Etis dari “kemanusiaan”
melalui pengalaman yang berbeda-beda, lewat perbandingan kebudayaan dan tahap-tahap
yang berbeda dari perkembangan manusia. Proses semacam ini sering membersihkan
apa yang dapat dituntut martabat manusia dan juga implikasi-implikasi etis yang
tidak dipikirkan oleh seorangpun.
Ketiga: Secara
paradoksal, seperti dinyatakan oleh J. Girardi, bahwa dalam pengetahuan
manusiawi kita, tidak terungkap unsure-unsur non konseptual, dan afektivitas
serta intelek memainkan peranan dalam proses mengenal yang membuka jalan untuk
mengenal etis dari “manusia”.
Tentu
saja kita tidak punya kepastian bahwa kalau seorang cendikiawan yang teliti dan
bertanggung jawab menyelidiki tiga jalan itu, secara otomatis akan menghasilkan
persetujuan pada taraf teoritis. Tetapi soalnya berhadapan dengan jawaban yang
berbeda-beda mengenai “manusia”, sikap praktis mana yang harus diambilnya
sendiri. Dan jawabannya, saya kira adalah mengakui berlakunya jalan-jalan itu,
yang secara tradisional telah ditentukan oleh etika untuk bergerak maju dari
kebimbangan teoritis ke kepastian praktik.
Kepustakaan:
Haring
Bernard, Free and Faithfull In Christ,
Vol. 3, London: Paul Publication, 1981
Mangunwijaya,
Y. B. (ed), Teknologi dan Dampak
Kebudayaannya, Vol 2 Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 19895
Sindunata,
Dilema Usaha Manusia Rasional,
Jakarta: Gramedia, 1982