RAJA MEMBERI MAKAN RAKYAT DENGAN JANJI-JANJI, TAPI PELAYAN AKAN MENYEDIAKAN MAKAN BAGI RAJANYA
(Aku Jatuh hati ataukah jatuh
cinta pada daerah ini karena aku baru saja menginjakan kakiku? Semoga bekas langkah kakiku tetap membekas di daerah ini)
Mencari seorang pemimpin yang
hebat dan benar-benar mencintai rakyatnya memang sangatlah sulit untuk
ditemukan,bagaikan mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami,yang sangat sulit
untuk ditemukan.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai sarana kedaulatan politik rakyat, pada dasarnya pesta musiman rakyat. Dikatakan pesta musiman karena semua kegiatan pemilu merujuk pada ketetapan undang-undang (UU) pemilu. Lasimnya pemilu tidak bisa luput dari catatan-catan kekecewaan dan ketidak puasan bagi pihak yang kalah. Pilkada dan rawas politik bukan saja soal gugurnya bakal calon peserta pemilu, juga soal waktu, dinamika, respon politik, dan strategi kampanye politik serta skenario yang dibuat setiap calon peserta pilkada untuk memengkan kontetastan lain di panggung politik.
Kendati demikian proses
pemilu masih berjalan dalam batas-batas yang wajar.Bagaimana dengan kampanye
politik, skenario politik dalam hubungannya dengan waras kampanye politik?
Sangat tergantung pada kesadaran dan kemauan aktor politik memahami hakikat
politik. Elit politik juga menafsirkan perilaku politik masyarakat, keinginan
politik rakyat dan yang terpenting menjaga perilaku politik. Dari sudut pandang
komunikasi pemilu bagaimana membangun persepsi dan tafsir politik, membangun
pesan meyakinkan pemilih. Komunikasi politik tentang siapa menyampaikan apa,
bagaimana menyalurkan pesan dan bagaimana pesan ditafsirkan oleh penerima. Dan
kampanye politik bagaimana membangun semangat orientasi menjaga marwah
demokrasi. Berorientasi pada naskah teks (aturan pemilu) konteks, konten dan
upaya pembangun semangat perbedaan dalam ruang bauran politik.
Peristiwa pemilu
bagaimana menyampaikan gagasan dalam bentuk simbol bagaimana menterjemahkan
simbol dengan baik dan benar. Seorang sender harus mampu menjaga narasi dan meningkatkan
intensitas percakapan, pernyataan yang diinterpretasikan dalam hubungannya
dengan kampanye politik yang dikontestasikan dalam setiap kegiatan kampanye.
Jika demikian apa sesungguhnya yang mengendalikan kegiatan kampanye politik dan
harapan politik? Apakah kampaye politik harapan politik dikendalikan oleh
kebiasaan dan nilai-nilai bauran, perilaku kelompok elit. Ataukah kegiatan
kampanye politik proses pemadatan komunikasi politik yang dikemas? Pada
dasarnya realitas komunikasi politik menandakan dominasi dari kebebasan manusia
bertindak di luar pranata social yang fakem, agama, keluarga pendidikan ekonomi
dan sebagainya. Penjelasan ontologis konstruksi komunikasi politik (kampanye)
proses rekayasa dan pencitraan untuk mendapatkan dukungan politik.
Nyatalah kiranya
perbedaan refleksi anggota masyarakat baik sebagai individu, anggota kelompok
dan eksistensi pranata social agama, pendididkan, organisasi social, lembaga
pemerintah dengan organisasi politik saat memasuki musim semi politik. Pada
titik ini kegiatan kampanye politik berpusat diantara dua gugus. Gugus
pengharapan rakyat sebagai individu yang bebas dan aktif. Gugus rekatan sumber
daya politik dan eksistensi kelompok elit. Untuk itu kampanye politik harus
dibangun di atas pengetahuan yang merefleksikan realitas, kesadaran,
pengalaman, kepentingan dan tujuan politik. Semua kegiatan komunikasi politik
proses pengidentifikasian antara pemilih dengan kelompok elit. Peristiwa
kampanye politik mengarahkan pihak pada proses internalisasi diri dalam ragam
penafsiran. Kelompok elit menafsirkan penerimaan, kehadiran masyarakat bentuk
dukungan politik. Jika memang demikian sesederhana itukah komunikasi, kampanye
politik? Kampanye politik tidak sesederhana yang dilihat dan ditafsirkan. Bisa
jadi apa yang nampak bermakna lain kamuflase.
Terkait kampanye
politik, bagaimana Margaret Theatcher tahun 1999 meremehkan citra dirinya dia
ingin tampil dan berbicara apa adanya dengan suara sengau. Theatcher dengan
dipandu Reece, belajar memperbaiki suaranya, mendalamkan timber-nya dan
menonjolkan suara seraknya, mengubah penampilan darinya, dari mengubah gaya
rambut dan busana. (Deddy Mulyana. 2004:27). Cerita kecil ini membuktikan
bahwasanya kampanye politik bagaimana menjaga kualitas prodak politik dan brand
politik. Produk politik dengan kualitas rendah jelas mempengaruhi selera, minat
dan dukungan pemilih. Peristiwa politik di tahun politik pemilihan kepala
daerah akan terus mendayung kampanye politik memasarankan produk politik,
berharap dapat menguasai pasar politik. Tentu saja kampanye politik ditengah
perkembangan teknologi media menjadi titik perhatian tim kampanye. Saat ini
lompatan komunikasi bergerak cepat memasuki dunia yang tidak berpenghuni. Dunia
hunian pesan, video pendek dan bentuk kampanye politk lainnya. Suka tidak suka
kampanye politik akan menghujani ruang virtual media social. Dalam situasi
seperti ini terlihat bahwa kegiatan kampanye media digital mengambil posisi
konfirmitas dunia maya, untuk mendukung aktivitas kampanye politik ditengah
masyarakat.
Kampanye
dan pendidikan politik massa.
Secara positif kegiatan
kampanye politik pertalian dari pendidikan politik. Pandangan ini justeru
menghadirkan paradok jika berada dalam kungkungan politisi yang berjiwa kerdil.
Paradoknya pada munculnya penafsiran dari warna bauran masyarakat. Menafsiran
perjumpaan masyarakat dengan pasangan calon lain (paslon). Inilah adonan pradok
kampanye sebagai kegiatan yang beorientasi pendidikan politik massa. Kepatutan
dan kelayakan sosialisasi politik, kampanye politik selalu bergerak dinamis
mengikuti gerak individu, intensitas percakapan yang membekas dalam memori
pelaku politik dan jejak digital.
Tidak perlu menunggu partai politik atau apapun itu memahami politik secara komprehnsif. Politik adalah bagaimana menciptakan momentum diri, mengajak pihak lain terlibat mengembangkan citra diri kita di lingkungan di mana orang tersebut berinteraksi satu sama lainnya. Dalam hal media sebagai medan kampanye yang dikontrol, masyarakat, tim kampanye paslon dan kontestan politik menahan diri menjaga focus, lokus, etika kampanye di ruang media social. Pada dasarnya media social media bertuhan. Tidak tampak tapi ada, akan terus memantau pergerakan pesan. Semakin cepat pesan bergerak semakin cepat pula tuhan media mengejar memantau pesan pengguna. Pada akhirnya kami harus jujur mengatakan bahwa media negara dalam urusan-urusan harmonisasi social selalu sejalan, menjaga keseimbangan kampanye politik.
Gagasan media sebagai
ruang (public speace) sebuah ruang
komunikasi yang dipenuhi ide, informasi, dan wacana politik, kampanye politik
yang terus dipertukarkan, diterima ataupun ditolak. Kegiatan kampanye, diawali
dari telaahan-telaahan perilaku politik masyarakat, relasi politik,
percakapan-percakapan yang terbangun di tengah masyarakat dan ruang media
digital. Dari situlah penafsiran politik dibangun dan berkembang. Apa relevansinya
dengan kampanye massa dan keterdidikan politik? Tafsir sepihak tim kampanye,
stigma dan labeling.
Bahwa si A adalah
bagian dari B dan seterusnya hanya karena melihat percakapan antar sesama
masyarakat dan jejak percakan digital. Habermas, menegaskan bahwa ruang public
merupakan jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan sudut pandang.
(Habermas 1996;360). Menghakimi percakapan, relasi secara sempit menjauhkan
insan politik dari akurasi informasi yang berkembang. Inilah salah satu dari
sekian banyak problem kampanye politik yang tidak mendidik.
Merencanakan
Pesan Kampanye Politik
Bagaimana merencanakan
pesan kampanye politik yang baik ? Merencanakan pesan kampanye diawali dari
membuat perencanaan dokumen tertulis untuk menjawab berapa pertanyaan: who-siapa (target pasar)? What-apa bentuk pesan politik yang
disampaikan? Where-dimana pesan disampaikan? When-kapan pesan disampaikan? How-bagaimana
menyampaikan pesan politik. Merencanakan pesan kampanye politik bagaimana
menyusun keseimbangan, keselarasan komunikasi, untuk tujuan politik. Sven
Windhal, Benno .Signitzer dan T.Olson (1992) menegaskan bahwa kampanye
komunikasi adalah sebuah usaha, rencana dari seseorang komunikator (sender)
untuk mempengaruhi khalayak (audience) melalui satu atau seperangkat pesan dengan
tujuan tertentu.
Lakukan berapa hal
sebelum merencanakan pesan politik, Kenali medan politik dan pasar politik yang
menjadi sasaran. Tentukan tujuan, mengklasifikasikan masyarakat, pengguna
media. menurut umur, pendidikan, pekerjaan, relasi dan seterusnya. Pelajari
ruang komentar, pesan apa yang paling banyak dikomentari, like pengguna.
Rancang pesan sesuai dengan selera pemilih, Pesan media harus dikemas dalam
bentuk narasi singkat teks, video, atau postingan pesan bentuk lainnya. Lihat
dengan siapa pengguna intens berkirim pesan, selalu jujur dan jangan berbohong,
hindari pesan bertele-tele. Perlakukan khalayak dengan sebaik-baiknya. Lakukan
pendekatan lain, untuk memperkuat strategi yang udah ada. Yakinkan pengguna
media, pastikan calon pemilih mengekspresikan perasaan politik yang diunggah di
kontens media digital, dorong calon pemilih bertindak menyebarkan pesan
politik.
Jangan
Tertipu Janji Manis
Tidak semua politisi pandai
obral janji. Ada yang gagap dan kaku dalam berjanji. Seperti itu pula, ada
politisi yang doyan berjanji, tapi mengingkari. Ada politisi yang santun
berucap, bermain citra baik, padahal esensinya, penipu. Berhati-hatilah
masyarakat sebagai konstituen, jangan tertipu. Sangat sedikit, politisi yang
mampu memanifestasikan janjinya, itu pun tidak mencapai 100% janji ditunaikan.
Apalagi ini musim politik, hajatan Pilkada Serentak 2020
mulai bergema. Di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara sendiri,
fenomena politisi ingkar janji banyak belajar dari pilkada sebelumnya. Bagi
masyarakat, apa caranya mengahapi politisi seperti itu? Kiranya penting
membangun benteng kesadaran kritis. Jadilah pemilih yang rasional, mandiri dan
tidak lekas lupa dengan perilaku oknum politisi bandit. Penyamaran mereka
terbilang canggih, di pentas politik atas panggung dan saat bicara di podium,
berbeda dengan setelahnya. Berbincang dan menjanjikan sesuatu untuk masyarakat
saat silaturahmi atau tatap muka, sesudahnya ia ingkari. Pura-pura pikun.
Bahaya, demokrasi memproduksi
para bandit seperti ini. Masyarakat direduksi posisinya, hanya menjadi objek
yang diperalat politisi. Itu sebabnya, saling mengingatkan jangan sampai
masyarakat secara kolektif terjebak lagi dalam tipu daya politisi berhati
kanibal. Gali dan aktifkan kembali memory kolektif tentang janji-janji politisi
yang sampai saat ini belum ditunaikan.
Semua ''topeng
politik'' itu dibongkar. Sebetulnya inilah ''aib politik'', tapi
sekedar menjadi semacam alarm saja, jangan menjadi saklar lalu menggelapkan selamanya
masa depan politisi munafik seperti itu.
Cukup menjadi alarm,
membunyikan kegagalan politisi yang menebar janji, tapi tidak menunaikannya.
Masyarakat harus beri ganjaran sosial, dengan tidak memilih lagi politisi
pembohong, ingkar janji.
Masyarakat jangan cepat
lupa dengan pembodohan sistematis yang dilakukan politisi. Masih banyak
politisi lain yang punya hati mulia, tidak terindikasi korupsi pula. Kita tidak
krisis kepemimpinan sebetulnya, hanya saja politik transaksional menguasai
demokrasi kita, sehingga secara otomatis meninggalkan kaum politisi
berintegratas dan idealis. Mereka tenggelam, tidak terpublikasi.
Jangan disepelehkan,
karena kita menyesal nantinya. Bila memilih lagi politisi pembohong, gadaikan
janji demi suara yang diraih, lalu masyarakat ditinggalkan, jangan lagi
tertipu.
Sadarlah, bermutasi
kita menjadi pemilih kritis, rasional, mengukur rekam jejak politisi dengan
jernih dan jujur. Mereka para bandit, penipu masyarakat jangan dipilih lagi.
Kita review kebelakang, apa yang mereka lakukan untuk masyarakat umumnya.
Segera melangkah,
jangan tertipu dan memilih lagi pemimpin pendusta. Apa jadinya kehidupan
masyarakat kelak, bila kepemimpinan masih diberikan kepadanya?. Yang terjadi
hanya ada penyesalan, cacian dan umpatan dari masyarakat.
Karena kepemimpina itu
soal karakter. Pemimpin yang terbiasa berbohong, akan terusnya menjadi
pembohong. Kecuali Tuhan memberi hidayah atau takdir lain, hanya Tuhan yang
dapat menegur pemimpin pembohong seperti itu.
Bermuka manis, memberi
janji, memamerkan kesantunan, berpura-pura merakyat, padahal hanya menipu.
Menggunakan topeng saat berada dalam posisi membutuhkan suara masyarakat disaat
Pemilu atau Pilkada.
Demi menghindari
kecelakaan dalam memilih lagi, maka masyarakat perlu membiasakan diri, berani
melawan pemimpin pembohong. Caranya, tidak memilih mereka.
Jangan berani
menyerahkan kepercayaan kepada pemimpin penghianat. Sebab, masyarakat akan
dibuat sengsara. Yang dilakukan hanya mengurus keluarga dan antek-anteknya
untuk memperkaya diri. Pemimpin model begitu biasanya, setelah menang melakukan
bagi-bagi jatah kekuasaan dengan mengambil keuntungan dalam proyek.
Tukar tambah gagasan
dan kemajuan hanya formalitas mereka tunjukkan. Selebihnya, orientasinya
mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Bahkan, kadang politisi munafik
memang begitu berani memanfaatkan mimbar rumah ibadah untuk mencari suara.
Begitu disayangkan, harusnya rumah ibadah dan kegiatan keagamaan menjadi ladang
tabungan amal untuk kehidupan akhirat, bukan dipolitisir.
Hasilnya, masyarakat
yang mengenang masa depan sebagai sebuah realitas kejayaan, hanya menjadi
mimpi, tak terwujud di tangan politisi ingkar janji. Tentu politisi yang dituju
secara spesifik adalah mereka politisi yang mulai strat kampanye, memasang
baliho dan turun blusukan di semua daerah yang ada di Kabupaten Malaka.
Mereka yang pernah
memimpin dileval Kabupaten/Kota memang memiliki tantangan yang tidak ringan.
Karena kerja-kerja konkrit mereka yang nanti menjadi andalan, garansi dan
indikator bahwa mereka punya karya kepada masyarakat. Bukan sekedar klaim atau
pencitraan. Jika kinerjanya mantap, maka yang diraih tentu dukungan meluas.
Sebaliknya, jika kinerjanya jelek, maka masyarakat akan mengadilinya dengan
tidak memilih politisi tersebut.
Rumus itu rasional
dalam alam demokrasi kita. Dan mestinya sepeti itu, jangan berikan kesempatan
kepada para pendusta memimpin masyarakat. Pendusta tetaplah akan menjadi
pendusta, janji yang disampaikan ke masyarakat jangan langsung dipercaya
masyarakat.
Harus difilter,
masyarakat punya waktu untuk memilih dan memilah pemimpin yang pantas dan layak
dipilih. Stop, jangan tertipu dengan janji palsu para pemburu kekuasaan.
Biasanya juga, pemimpin
pembohong ini kecenderungannya rakus. Mereka kebanyakan menjadi pasien penegak
hukum. Ya, tentu karena disinyalir atau diduga melakukan korupsi. Lupakan
mereka pemimpin yang senang menyebar dan menjanjikan janji palsu, mereka
pembohong ulung. Politisi pembohong memang fasih bicaranya, santun dan kadang
kala berpura-pura bersih, padahal mereka sedang menutupi kejahatannya.
Karena kepemimpina itu
soal karakter. Pemimpin yang terbiasa berbohong, akan terusnya menjadi
pembohong. Kecuali Tuhan memberi hidayah atau takdir lain, hanya Tuhan yang
dapat menegur pemimpin pembohong seperti itu.
Bermuka manis, memberi
janji, memamerkan kesantunan, berpura-pura merakyat, padahal hanya menipu.
Menggunakan topeng saat berada dalam posisi membutuhkan suara masyarakat disaat
Pemilu atau Pilkada.
Demi menghindari
kecelakaan dalam memilih lagi, maka masyarakat perlu membiasakan diri, berani
melawan pemimpin pembohong. Caranya, tidak memilih mereka.
Jangan berani
menyerahkan kepercayaan kepada pemimpin penghianat. Sebab, masyarakat akan
dibuat sengsara. Yang dilakukan hanya mengurus keluarga dan antek-anteknya
untuk memperkaya diri. Pemimpin model begitu biasanya, setelah menang melakukan
bagi-bagi jatah kekuasaan dengan mengambil keuntungan dalam proyek.
Tukar tambah gagasan
dan kemajuan hanya formalitas mereka tunjukkan. Selebihnya, orientasinya
mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Bahkan, kadang politisi munafik
memang begitu berani memanfaatkan mimbar rumah ibadah untuk mencari suara.
Begitu disayangkan, harusnya rumah ibadah dan kegiatan keagamaan menjadi ladang
tabungan amal untuk kehidupan akhirat, bukan dipolitisir.
Mereka yang pernah
memimpin dileval Kabupaten/Kota memang memiliki tantangan yang tidak ringan.
Karena kerja-kerja konkrit mereka yang nanti menjadi andalan, garansi dan
indikator bahwa mereka punya karya kepada masyarakat. Bukan sekedar klaim atau
pencitraan. Jika kinerjanya mantap, maka yang diraih tentu dukungan meluas.
Sebaliknya, jika kinerjanya jelek, maka masyarakat akan mengadilinya dengan
tidak memilih politisi tersebut.
Rumus itu rasional
dalam alam demokrasi kita. Dan mestinya sepeti
itu, jangan berikan kesempatan kepada para pendusta memimpin masyarakat.
Pendusta tetaplah akan menjadi pendusta, janji yang disampaikan ke masyarakat
jangan langsung dipercaya masyarakat.
Harus difilter, masyarakat
punya waktu untuk memilih dan memilah pemimpin yang pantas dan layak dipilih.
Stop, jangan tertipu dengan janji palsu para pemburu kekuasaan.
Biasanya juga, pemimpin
pembohong ini kecenderungannya rakus. Mereka kebanyakan menjadi pasien penegak
hukum. Ya, tentu karena disinyalir atau diduga melakukan korupsi. Lupakan
mereka pemimpin yang senang menyebar dan menjanjikan janji palsu, mereka pembohong
ulung. Politisi pembohong memang fasih bicaranya, santun dan kadang kala
berpura-pura bersih, padahal mereka sedang menutupi kejahatannya.
Membangun
dengan hati bukan janji manis berdasarkan mimpi
Membangun suatu daerah
tidaklah segampang sebagaimana dibayangkan banyak orang. Apalagi daerah otonomi
baru yang masih memerlukan pembenahan total. Membangunnya tidak hanya fokus
pada infrastruktur saja, melainkan perlu membangun keseimbangan dengan bidang
lain, seperti ipoleksosbudhankam (ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan) serta lingkungan hidup dan mental-spritual.
Tujuannya, agar out put dari pembagunan tersebut bisa diterima,
dinikmati sekaligus dapat memberdayakan masyarakat lokal.
Menurut Prof. Gunawan
Sumodingrat, Ph.D. dan Ari Wundari, S.S., MA. dalam buku Membangun Indonesia
Dari Desa (Media Pressindo, 2016: 96 – 97) mengatakan, bahwa “Pemberdayaan
masyarakat pada dasarnya pemihakan, penyiapan dan perlindungan untuk menjadi
rakyat berdaya”. Mereka kemudian menjelaskan beberapa maksud dari rakyat
berdaya, yaitu:
Pertama,
rakyat yang mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, mereka yang bisa
menghasilkan dan menikmati produk yang dihasilkan, mereka harus bisa menikmati
apa yang mereka hasilkan.
Kedua,
rakyat yang berdaya saing, rakyat yang bisa menentukan dirinya sendiri, rakyat
yang mempunyai kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, menikmati dan
melestarikan apa yang telah dihasilkan.
Ketiga,
rakyat yang mampu menentukan sendiri apa yang akan dihasilkan, bagaimana
melaksanakan agar yang direncanakan berhasil dan menjadi produk, rakyat yang
dapat melestarikan produknya serta mewariskan ke generasi berikutnya….
Pendapat kedua pakar di
atas hanya bisa terlaksana, apabila pembangunan digerakkan dengan hati atau
membangun dengan hati, yakni dengan integritas mumpuni. Membangun dengan
hati berarti membangun secara tulus ikhlas, kerja keras, melibatkan masyarakat
pada setiap tahap perencanaan, rasa tanggung jawab yang tinggi, ada rasa
memiliki. Bukan hanya itu, perlu memperhatikan dimensi solidaritas yang menjadi
bagian integral dalam masyarakat. Dan lebih penting lagi, tidak berpikir berapa
yang didapat tiap tahun/bulan (gaji-honor). Apabila masih berpikir tentang
gaji/honor, apa bedanya dengan kuli zaman Belanda?
Selanjutnya derita
masyarakat dirasakan tanpa banyak kata, janji dan slogan. Membangun dengan hati
jauh dari pujian, popularitas, penghargaan, pesta pora, tebar pesona,
pencitraan, dll. Bahkan, sebaliknya, sering dihina, difitnah, diejek, di-bully,
disingkirkan, dll. Membangun dengan hati tidak analog dengan bantuan, subsidi
apalagi gratis, yang sering dikumandangkan oleh beberapa calon kepala daerah
dan calon legislatif yang senang dan suka berjanji kepada rakyat (efek bias
politik masa lampau). Mereka tidak sadar bahwa janji gratis itu seperti
bodreks, parasetamol, dan antalgin yang hanya menglilangkan rasa sakit,
sementara sumber penyakitnya tidak disembuhkan.
Bukan
Kemunduran
Salah satu kekurangan
manusia adalah cepat lupa atau sengaja lupa. Obatnya, tidak perlu ke dokter,
melainkan cukup melatih diri jujur, mengingat-ingat pengalaman indah, manis
maupun pahit, dan sumpah/janji saat dilantik, untuk dijadikan bahan evaluasi
demi perbaikan, terutama menyangkut tekad, janji dan slogan yang pernah
ditawarkan kepada masyarakat. Cara berpikir seperti ini bukanlah kemunduran
akan tetapi suatu bentuk tanggung jawab hukum maupun moral kepada sesama
anak bangsa.
Sepatutnya tim sukses
dan juru kampanye mempunyai tanggung jawab moral mendampingi dan mengingatkan
para pejabat, agar konsisten pada apa yang sudah diucapkan serta dijanjikan
kepada masyarakat. Pendampingan ini penting, selain sebagai dukungan moral,
juga agar tidak memberi kesan buruk kepada para tim sukses atau juru kampanye
di mata masyarakat.
Catatan
Akhir
Kaitan dengan hal
tersebut di atas Harolrd Mendelsohn dalam Dan Nimmo1989:171 menawarkan tiga
pedoman untuk mencapai kampanye informasi yang berhasil. Pertama kampanye
informasi harus direncanakan dengan asumsi bahwa kebanyakan dari orang yang
diupayakan dicapai oleh mereka hanya sedikit atau sama sekali tidak menaruh
perhatian pada komunikasi. Kedua dalam konteks ketidakrancuhan umum, juru
kampanye perlu menciptakan tujuan yang sederhana dan berjarak menegah,
disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari khalayak dan tidak mencoba meyakinkan
pemilih akan sesuatu yang jauh dari imajinasi pemilih. Ketiga setelah
menetapkan tujuan jarak menegah, juru kampanye harus merinci jenis yang cocok
sebagai sasaran komunikasi, yaitu juru kampanye harus mengambarkan mereka yang
paling cenderung menanggapi sesuai dengan kelas social dan atribut demografi,
motivasi personal, gaya hidup, kepercayaan nilai pengharapan dan kebiasaan
media mereka.
Dalam hal ini konsultan
politik harus menyampaikan hal-hal penting pada juru kampanye, konten pesan,
konteks pesan, dan bagaimana berikap mengahadapi pemilih. Dengan kata lain
bagaimana mengarahkan juru kampanye, public relations mengemas pesan politik,
menanggapi pesan sesuai dengan klas social dan atribut demokrafis, motivasi
personal, gaya hidup, kepercayaan, nilai, pengaharapan dan kebiasaan pemilih.
Untuk mengetahui motivasi pemilih, kemauan pemilih membutuhkan research
marketing. Sebagai kesimpulan bahwa pimilihan pelakda serentak (pikada) pada 23
september mendatang kita jadikan momentum pembelajaran politik, menjaga sikap
dan pelaku poltik. Pahami bahwa pilkada hanyalah peristiwa musiman, yang patut
kita jaga bersama. Pilkada bukanlah pengingkaran terhadap semangat toleransi.
Pilkada medium uji kelayakan, kepatutaan, sumber daya bagi peserta pemilu dan
masyarakat. Parapihak-pihak sebaiknya menahan diri untuk menjaga focus, lokus,
etika kampanye. (***)