Masa Advent: Momentum Menyambut Pemimpin Surgawi (Kristus) Vs Pemipin Duniawi (Kepala Daerah) di Rai Malaka

Masa Advent: Momentum Menyambut Pemimpin Surgawi (Kristus) Vs Pemipin Duniawi (Kepala Daerah) di Rai Malaka

Revolusi Mental:  Masa Adven dan Masa Pilkada Malaka 2020



Kini, umat Kristiani memasuki masa Adven. Adven berasal dari kata bahasa Latin, Adventus, yang berarti kedatangan (Maryanto:2004). Konon, istilah Adven dipakai pertama kali dalam kerajaan Romawi untuk menyambut kedatangan Kaisar yang dianggap sebagai dewa karena menang dalam perang.

Setelah agama Kristen dijadikan sebagai agama resmi Roma, makna Adven pun diperbaharui. Adven bukan lagi momentum menyambut Kaisar, melainkan sebagai masa persiapan untuk menyambut kedatangan Kristus sebagai Tuhan sekaligus Raja yang menang dalam pertarungan melawan kuasa kegelapan. Makna seperti inilah yang dipertahankan hingga kini.

Dalam masa Adven, umat Kristiani diajak untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Yesus. Persiapan itu dilakukan dengan “mereparasi” diri dan “membenarkan” hati. Hal ini pantas dilakukan, sebab Yesus datang sebagai tokoh solider dan liberatif. Ia melepaskan “keterikatan” manusia dengan dosa, menghentikan lingkaran setan dan membebaskan manusia dari jebakan kuasa kegelapan.

Karena itu, masa Adven harus diisi dengan hal-hal konstruktif. Sebagaimana saat kita menantikan orang yang amat berharga, membutuhkan persiapan matang, demikian jugalah penantian kita akan kedatangan Kristus, mesti diimbangi dengan matangisasi hati. Hati adalah instansi paling utama yang mesti disiapkan dalam masa Adven agar layak untuk menerima kedatangan Yesus. 

Untuk beberapa daerah di NTT,  Adven kali ini terasa spesial. Dikatakan demikian, karena awal Adven hampir persis berada dalam pekan Pilkada termasuk di wilayah kabupaten Malaka tercinta ini. Di satu sisi, umat Kristiani sedang menantikan kedatangan “pemimpin” surgawi. Ia adalah Anak Domba Allah, pembebas manusia dari dosa, tokoh solider yang tak ingin bertahta di “singgasana”-Nya, tetapi turun ke dunia untuk merasakan langsung penderitaan manusia.

Kedatangan-Nya merupakan sebuah “blusukan” Ilahi yang ingin memperlihatkan sikap tegas berpihak hanya kepada kepentingan manusia. Sementara di sisi lain, umat Kristiani juga sedang menantikan “kedatangan” pemimpin duniawi. Tentu saja ada harapan bahwa pemimpin duniawi (kepala daerah) yang dinantikan itu mampu tampil sebagai figur solutif di tengah “kegalauan” sosial akhir-akhir ini.

Pemimpin “duniawi” itu mesti mampu tampil liberatif-alternatif dan menjadikan rakyat berdaulat dalam semua aspek kehidupan. Ia harus menjadi tokoh altruis (alter = yang lain), yaitu tokoh yang berani mengarahkan diri keluar, perhatian terhadap keprihatinan sosial, berbela rasa dengan kaum marginal lalu menyiapkan terobosan-terobosan transformatif demi menyelamatkan rakyat dari sandera sosial.

Pemimpin seperti itu harus memposisikan manusia (rakyat) sebagai subyek pembangunan, tidak boleh memarginalisasi rakyat. Dia tidak boleh mengedepankan konsep pembangunan hegemonik, lantas menjadikan rakyat hanya sebagai tameng pembangunan tanpa disertai dengan sebuah pertanggungjawaban pembangunan yang benar-benar menghargai eksistensi rakyat.

Tetapi, agar bisa mendapatkan pemimpin seperti ini, semuanya tetap bergantung pada rakyat. Rakyat harus sadar bahwa Pilkada bukan hanya medan afirmasi politik elektoral, tetapi momentum dimana mereka diberi ruang dan otoritas untuk menentukan tokoh yang layak dipercayakan sebagai “pembebas”. Sekaranglah saatnya bagi rakyat menunjukkan taring, memperlihatkan kapasitas dan wewenang penuh untuk menentukan apa yang akan mereka alami lima tahun mendatang.

Rakyat harus benar-benar menunjukkan bahwa “kedatangan” pemimpin yang akan dipilih secara demokratis itu adalah pemimpin yang benar-benar layak dan pantas dinantikan.

Karenanya, momentum menantikan kedatangan Yesus ini, mesti menjadikan Adven rakyat (umat) sebagai waktu yang tampan untuk mencari, menelusuri jejak rekam dan memilih pemimpin yang tepat.

Adven harus menjadi “ruang” untuk mempertimbangkan secara rasional calon pemimpin yang akan dipilih. Rakyat tidak boleh menjadi pemilih irasional agar pemimpin yang saat ini sedang dinantikan kedatangannya itu benar-benar menjadi pemimpin seperti Kristus, berpihak pada kepentingan orang-orang yang disingkirkan.

Keputusan suara hati rakyat harus benar-benar vox populi, vox dei. Jangan sampai karena diberi semacam “angpao” oleh oknum tertentu, rakyat lantas menyingkirkan rasionalitas berpikir.

 

Revolusi Mental

Bagi rakyat, awal masa Adven yang hampir bersamaan dengan pekan Pilkada, harus direfleksikan sebagai momentum revolusi mental. Tanpa ini, Pilkada hanya menjadi seremoni elite politik dan rutinitas demokrasi tanpa arti. Bahkan bisa jadi rakyat akan menjadi “korban” dari skenario politik pragmatis yang memang seringkali terjadi dalam setiap perhelatan demokrasi seperti Pilkada.

Adven mesti membantu rakyat mengafirmasi partisipasi politik secara benar demi tercapanya iklim sosial yang kondusif. Sekaranglah saatnya bagi rakyat untuk memuliakan politik, karena politik pada hakikatnya memang mulia.

Caranya adalah dengan menggunakan hak politik untuk hal-hal mulia dan melalui cara-cara yang mulia, bermartabat dan beretika. Disamping itu, calon pemimpin juga harus menjadikan Adven sebagai saat tepat untuk merestorasi hati atau momentum revolusi mental.

Kata Jokowi (dalam Dale&Somerpes [Eds.]:2014), kita memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan.

Revolusi mental memang tidak memerlukan pengorbanan fisik, tetapi membutuhkan komitmen moral, spiritual dan dedikasi. Ini semua terjadi jika pemimpinnya bermental revolusioner.

Hal seperti ini selalu menjadi tantangan dan kadangkala absen dari demokrasi kita selama ini. Karena perhelatan demokrasi seperti Pilkada selalu berkaitan dengan jabatan manusiawi, maka segala pertimbangan dan kualitas hati dan iman dikesampingkan.

Padahal, menurut saya, seseorang bisa menjadi pemimpin alternatif dan solutif, jika dia memiliki integritas diri dan kemurnian hati. Dengan demikian, dia akan mampu tampil sebagai pemimpin yang mengalami dan menghidupkan revolusi mental dalam kiprahnya nanti.

Merujuk pada penjelasan ini, calon pemimpin diharapkan memiliki motivasi untuk mewujudkan Kerajaan Allah, yang oleh Fuellenbach (1998) dirumuskan sebagai segala konteks yang terjadi hit et nunc.

Artinya dia terlibat dalam usaha dan praksis liberatif ke-kini-an dengan cara sungguh-sungguh menjalankan perannya. Agar bisa mencapai hal seperti ini maka dia harus mampu mengkombinasikan keutamaan epistemis, moral, sosial dan iman.

Sinkronisasi berbagai keutamaan ini, pada hemat saya akan menjadikan seorang pemimpin mampu menjalankan perannya sebagai kepala daerah yang tidak hanya menunjukan kemampuan sebagai orang yang memiliki kesanggupan epistemis.

Jika terpilih, dia akan menyadari bahwa dia adalah tokoh yang telah dinanti-nantikan kedatangannya yang tidak hanya menjalankan peran administratif, tetapi juga mesti menampilkan integritas diri.

Dia juga menyadari bahwa dia tidak hanya menjadi pemimpin duniawi, tetapi juga menyadari bahwa dia mengambil bagian dalam tugas yang dipercayakan Tuhan kepada manusia. Tanpa itu semua, maka seorang pemimpin akan pincang.

Saya berharap agar calon pemimpin memaknai Pilkada kali ini dalam kesatuannya dengan masa Adven. Dengan demikian, calon pemimpin tidak akan mereduksi Pilkada sebagai momentum meraih kekuasaaan semata, melainkan dijadikan sebagai saat menjernihkan motivasi agar mampu merestorasi peradaban sosial yang kian degradatif.

Dengan begitu, pemimpin yang saat ini sedang dinantikan kedatangannya itu bukan hanya figur yang akan memenangi Pilkada, tetapi juga mampu “memenangkan” kepentingan rakyat.

Kalau tidak, “kedatangan”-nya tidak layak dinantikan. Lebih dari itu, sia-sialah penantian rakyat.

 

Pilkada: Menanti Kedatangan "Pemenang" Sejati

Masa adven dapat menjadi momentum menantikan kedatangan "pemenang" sejati sekaligus mewujudkan Pilkada bermartabat. Semuanya bergantung pada rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan sah dalam Pilkada. Akan menjadi ilusi belaka jika pilihan politik rakyat terkontaminasi oleh bualan "bunglon politik". Di sinilah supremasi nurani dan otoritas opsi politik rakyat menjadi acuan. Hal seperti ini menjadi acuan dalam memilih calon pemimpin yang siap menjabarkan spiritualitas kepemimpinan Kristus. Sebagaimana Kristus yang kedatangan-Nya dinantikan itu adalah pembebas yang secara radikal memperlihatkan opsi keberpihakan Allah, demikian pulalah calon pemimpin yang dinantikan dalam Pilkada. Dia haruslah figur yang memiliki "intuisi sosial", berpijak dan berpihak pada kepentingan rakyat. Untuk itu, rakyat ditantang agar mampu "membedah" jejak rekam calon pemimpin.

Selain itu, calon pemimpin juga mesti menjadi figur yang "kedatangannya" memang benar-benar pantas dinantikan. Sebagaimana Kristus yang dinantikan pada masa adven ini adalah figur integritas, calon pemimpin juga mesti memiliki kepantasan politik, sosial, etis, moral dan religius. Hanya dengan itu, dia bisa menjabarkan harapan KWI yaitu menciptakan Pilkada yang bermartabat. Jangan sampai tindak-tanduknya kontra-liberatif dan melahirkan kondisi distortif. Winston Churchill berkata, "the price of greatness is responsibility" (harga sebuah kebesaran adalah tanggung jawab). Calon pemimpin mesti memiliki "kebesaran" dalam seluruh dimensi kehidupannya dengan mempertanggungjawabkan posisinya (kekuasaan) kepada rakyat. Dia menjadi pememang sejati bukan karena mendekap kekuasaan, tetapi karena ingin "memenangkan" kepentingan rakyat. Menyitir Michel Foucault (2008), calon pemimpin mesti menyadari bahwa kekuasaan bukanlah milik eksklusif para pemimpin, tetapi milik setiap orang. Karenanya kekuasaan tidak boleh diprivatisasi, apalagi didekonstruksi untuk mengartikulasikan ambisi politis pramgmatik. Dia mesti selalu sadar bahwa eksistensinya berhakikat altruis populis. Karenanya, dia harus mampu melakukan inventarisasi atas berbagai persoalan rakyat lalu diakomodir dalam agenda politik serta aksi (praksis) liberatif. Itulah pemenang sejati.




 



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama