Pilkada Politik:
Cinta Bersemi, Antara Janji dan Realitas
(Calon Pemimpin
Vs Rakyat, emas yang diuji dalam tanur api)
Oleh:
Frederick Mzaq
Cinta
itu perang, kata Buya Hamka. Perang yang hebat dalam rohani manusia. Jika ia
menang, akan didapati orang yang tulus ikhlas, luas pikiran, sabar dan tenang
hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus asa, sesat, lemah hati,
kecil perasaan dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan pada diri sendiri.
Kalau berpolitik dengan rasa cinta, pasti yang
dikejar dalam politik adalah pengabdian. Jangan berpolitik dengan
amarah, nafsu, obsesi dan keserakahan berkuasa. Dengan cinta, lawan politik
dapat dihargai. Politik hanya menjadi alat yang digunakan, lalu cinta
melingkarinya dengan praktek-praktek saling menghargai.
Politik dan cinta harus seiring-sejalan. Jangan
buatkan dikotomi. Atau politik dan cinta dikontradiksikan. Akhirnya,
kepentinganlah yang menjadi dewa. Birahi untuk berkuasa yang merasuk dalam
pikiran politisi. Hasilnya, praktek politik yang dilakukan penuh dengan agenda
jahat, saling menjatuhkan.
Mereka naik kemudian menjatuhkan yang lain. Padahal,
etika politik tidak mengajarkan itu. Silahkan berlomba-lomba maju, lakukan
kebaikan. Tak harus naik, lalu menjatuhkan yang lain. Politik prinsipnya
mengajarkan humanisme. Melalui cara-cara etis, penuh praktek moralitas.
Cinta, Politik dan Kegilaan
Kalau Soe Hok
Gie menganggap politik adalah barang yang paling kotor. Namun, dia tahu
suatu saat manusia tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah mereka
dalam politik. Politik diposisikan sebagai hal yang berbahaya, jahat dan
mengerikan. Yang rusak dalam praktek politik, itu oknum.
Bukan politik yang destruktif. Gus Dur pernah berkata, yang lebih penting dari politik adalah
kemanusiaan. Niat baik kita memperbaiki politik dengan idealisme, itu berarti
harus turun dalam kancah politik. Jangan menjauh, atau mencaci. Dan penuh
sinisme terhadap politik.
Seperti cinta yang selalu saja misterius. Politik
pun begitu. Tere Liye memberi
isyarat, jangan terburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.
Jika politik dijalankan penuh cinta, maka terwujudlah keadilan, kesejahteraan,
yang hak dan batil akan terverifikasi. Lawan politik, menjadi kawan. Tidak
diaduk jadi konflik.
Pada akhirnya cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan
tulisan indah adalah omong kosong. Politik idealnya begitu, bukan sekedar
retorika. Melainkan, menjalankan kata-kata. Kata indah dan bijaksana dari
politisi, sejatinya terwujud dalam prakteknya.
Harus selaras. Jangan timpang antara kata dan
perbuatan. Cinta tak mengajarkan kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan.
Demi kemajuan bersama, politik juga mengajarkan spirit perjuangan. Tak harus
gentar menegakkan kemanusiaan.
Cinta membangkitkan semangat, bukan melemahkan
semangat. Gelora ini harus menggenapi perjuangan politisi, jangan mau kalah
sama konglomerat dan pengusaha bajingan yang hanya memperkaya diri. Lalu
melumpuhkan kebutuhan masyarakat. Politisi harus tegak lurus bersama
masyarakat.
Banyaknya kepentingan berseliweran dalam politik.
Walau begitu jangan membuat politisi gelap mata. Hilang rasionalitas dan
independensi politiknya dalam memperjuangkan nasib masyarakat. Problem majemuk
dalam praktek politik kita harus dijawab dengan keberanian berpihak pada
masyarakat.
Untuk konteks ini, membaca pikiran Prabowo Subianto bahwa setiap perbedaan
pendapat ataupun pertentangan politik hendaknya diselesaikan secara musyawarah
dan mufakat. Logika penyelesaian masalah ini sangatlah relevan. Tidak ada
masalah dalam politik yang tak dapat diselesaikan.
Kini para politisi malah tergeser pada cara kegilaan. Bukan lagi
dengan cinta dan politik profetik.
Melainkan kombinasi ideologi politik Barat yang mengutamakan menang dalam
pertarungan politik. Solusinya, mereka mengadopsi praktek politik kegilaan.
Yaitu menghalalkan segala cara agar menang.
Kegilaan itu berawal dengan kemarahan. Dan biasanya,
berujung dengan penyesalan. Idealnya politisi menjadi agen yang rasional
pikirannya. Politisi itu punya standar keadaban berpolitik. Mereka menjadi
acuan masyarakat umumnya. Kalau kehilangan pedoman etika dan moral, hilanglah
kewibawaan.
Karena kewibawaan itu terbangun atas
perilaku-perilaku mulia. Perbuatan terpuji. Bukan soal gaya hidup mewah
politisi. Rekayasa diri, menjadi jaim, dan tampil menjaga citranya. Bukan kewibawaan
itu namanya. Kewibawaan itu pancaran dari dalam. Cahaya sejati dari seorang
pemimpin, tanpa rekayasa.
Yang hilang dalam panggung politik kita termasuk
keteladanan. Kiranya para politisi kembali mengambilnya. Keteladanan yang mulai
tergerus karena politik uang. Cara berpolitik yang amoral. Masyarakat
membutuhkan politisi yang menjadi teladan, lahir dan batin.
Meski ada, tidak banyak politisi yang sukses memberi
keteladanan saat ini. Keteladanan itu menyatu dalam kewibawaan, tidak bisa
dibisa. Publik menjadikan seorang politisi sebagai teladannya karena ia dinilai
berhasil menunjukkan kewibawaan. Layak ditiru. Kebiwaan baik ucapan,
keberpihakan dan sikap.
Cinta, politik dan kegilaan sebetulnya satu paket.
Jika kita mencapture dari aspek gagasan, saling berkait. Pada konteks praktis,
memang sering melahirkan persoalan. Seyogyanya, cinta politik bersama kegilaan
menyatu untuk menopang pembangunan. Kegilaan yang merupakan kewarasan yang
berubah wujud ini, kalau dikelola akan berbuah manis.
Sulit rasanya kita melahirkan harmoni. Ketika cinta
politik lalu kegilaan berbentur, atau terbentur. Seperti sistem masyarakat
tanpa kelas yang dicita-citakan Karl Marx, sukar terwujud. Masyarakat
proletar dan borjuis akan melakukan dialektika hingga melahirkan masyarakat
tanpa kelas. Ujungnya, kelas tetap saja ada.
Bermula dari kata-kata, cinta politik dan kegilaan
terlahir. Perlu adanya keseimbangan, irama yang setara. Ketimpangan harus
dijauhkan. Cinta dalam politik harus diikat betul. Nafas politisi harus penuh
cinta, yang kemudian mengilhami masyarakat agar hidup rukun. Dengan begitu,
kegilaan yang negatif dan kotor, hilang dari aktivitas atau praktek para
politisi.
Politik dalam perspektif cinta
Cinta jangan engkau tinggalkan diriku, begitulah
manisnya dan indahnya kata-kata yang sering terlontar dari para politik
praktis. Bahkan ada yang lebih ektrim yaitu saya telah dibohongi, didustai,
lalu dibuang. Bila kita telusuri, secra sederhana kalimat-kalimat yang
digunakan oleh para politik praktis tidak meleset, artinya sama dengan
kata-kata romantis yang sering dipakai oleh anak-anak muda ketika mereka
berpacaran. Dari akar masalah diatas saya akan mendeskripsikan pola berpolitik
yang dikembangkan oleh para politik praktis yang hingga kini masih berlangsung.
Dalam hemat saya ada tiga pola yang berkembang jika dilihat dari sudut pandang
cinta.
Pertama, pola kesetiaan. Pola pertama mengharuskan
adanya kesetiaan dari para partner politik dan ini juga menjadi dasar utama
bagi banyak orang dalam menjalin hubungan percintaan. Kesetiaan itu bisa
diwujudkan lewat beragam simbol diantaranya kontrak politik yang tertuang dalam
lembaran kertas putih yang berisi tentang kesepakatan-kesepakan para pihak dan
lengkap dengan tanda tangan bermatrei enamribu. Pola ini bisa kita lihat dalam
model pemerintahan SBY yang merangkul beberapa partai politik sebagai partner
pemerintah. Namun ada juga yang mewujudkan kesetiaanya lewat trust atau saling
percaya dan masih banyak simbol-simbol lain yang digunakan.
Kedua, pola kejujuran. Sering kita mendengar bahwa
kejujuran adalah harga mati dalam menjalankan suatu hubungan. Misalnya, ketika
pejabat atau para politik praktis selalu jujur dalam mengemban tugas Negara,
maka, tidak sedikit pujian dan sanjungan yang akan mereka terima dari
masyarakat, dan fenomena ini adalah kebenaran yang mutlak (politik murni). Pola
kejujuran sebenarnya bermula dari cerita atau sejrah cinta antara dua insan
yang saling mencintai. Namun seiring dengan berjalannya waktu ternyata,
kejujuran menjadi trend dan jaminan bagi para politik praktis. Meskipun hal ini
adalah sesuatu yang wajar dan sah, namun, diharapkan tidak akan berujung pada
konflik seperti yang sering terjadi pada anak-anak muda yang berpacaran iKetika
kejujuran tidak bisa diwujudkan maka perceraian atau putus hubungan tanpa
adanya tali silaturrahmi diantara satu dengan yang lainnya adalah solusi
terbaik.
Ketiga, pola saling menerima apa adanya. Hal ini
juga sangat sering ditekankan ketika pasangan kekasih dalam menjalin sebuah
hubungan. Perlunya saling mengerti antara satu politik praktis dengan yang
lainnya diharapkan dapat menjamin keterbukaan dan keseimbangan hubungan
diantara mereka. Disamping itu, pandangan publik akan lebih positif, karna
tidak ada arogansi yang menceruat dimuka publik justru image saling membantu
dan mengerti akan porsinya masing-masing.
Sebuah pembicaraan yang unik ketika kita
bercengkrama menyoal cinta dan politik, bagi sebagian orang hal ini merupakan
sesuatu yang dipaksakan atau bahkan di ada-adakan saja, tapi tidak bagi saya
dan bagi teman-teman yang paham soal ini, cinta adalah bagian terpenting dari
hiruk-pikuk dunia perpolitikan.
Begitu banyak pemaknaan mengenai politik dan cinta,
berbagai versi bermunculan, dan hal ini wajar karena masuk dalam ranah
kebebasan berfikir. Namun dalam kesehariannya, yang sangat disayangkan adalah
ketika Politik dan Cinta selalu menjadi
korban Parsialisasi (pemotongan) makna, penyederhanaan itu boleh
asalkan tidak megurangi esensi dari makna mutlaknya. “kata nyai
ontosoroh dalam tetralogi karya pram,cinta memang indah tapi segala bentuk
bentuk kebìnasaan akan siap siaga membuntuti kita.
Jika demikian saya beranggapan politik juga seperti
itu karena cinta dan politik sama,harus sama-sama menyediakan ruang untuk
kecewa,terkecuali bagi mereka yang profesional,mereka yang bijak ataupun mereka
yang niatnya memang untuk kemaslahatan bersama.
Cinta pada dasarnya adalah Politik
Pada dasarnya setiap aktivitas politik bertujuan
untuk mensejahterakan segenap warga masyarakatnya sebagai "empu"
kedaulatan. Demikian pula cinta....keberadaan dan keseluruhan aktivitas cinta
sesungguhnya diharapkan mampu mensejahterakan “warga”. Cinta sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi. Jika salah satu “warga” merasa tidak
tersejahterakan.....maka hampir bisa dipastikan kesepakatan politik cinta pun
akan berusaha di akhiri atau bahkan berakhir...
Sama halnya seperti yang terjadi dalam politik, penyimpangan
atau bahkan kesenjangan antara derivasi makna dan realitas politik biasanya
terjadi disebabkan adanya prilaku politik seorang atau sekelompok yang tidak
terpuji karena tujuan pribadi sehingga melahirkan ketidakadilan yang berdampak
negatif terhadap makna politik yang sebenarnya. Hal tersebut ada kalanya
terjadi dalam politik cinta. Terkadang tanpa disadari salah seorang empunya
kedaulatan melakukan tindakan terpuji demi untuk mencapai tujuan pribadi
sehingga melanggar kesepakatan cinta yang telah di ikrarkan sebelumnya.
Dalam konteks politik, saya lebih memilih untuk
berkaca pada prilaku politik Gandhi yang begitu manusiawi dan egaliter dalam
setiap kebijakan politiknya. Prinsip ahimsa
dan non-violence dalam politiknya
tidak sekedar slogan, tetapi realitas yang integral dengan kepribadian Gandhi.
Walaupun akhirnya Gandhi kemudian tewas diujung peluru tajam karena kearifan
dalam menjalankan politik dengan kedalaman makna di dalamnya.
Ahimsa dalam bahasa sansekerta berarti anti kekerasan.
Metode Ahimsa mengandung
spiritualitas sebagai nyawa. Ahimsa
berarti bahwa manusia harus menghindari segala bentuk kekerasan dalam
kehidupannya. Bagi Gandhi, perbedaan dalam politik adalah untuk disatukan.
Itulah yang Gandhi lakukan diantaranya dengan berusaha pendekatkan para tokoh
dari agama Hindu dan Islam untuk meredakan ketegangan antara keduanya.
Akibatnya, seorang penganut Hindu fanatik, Nathuram Godse, yang mengkhawatirkan
nantinya akan ada dominasi Islam, melakukan penembakan terhadap Gandhi saat
sesudah pertemuan doa pada 30 Januari 1948. Setengah jam kemudian Gandhi
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Begitu pula dalam politik cinta, perbedaan diantara
kedua individu seharusnya dapat dijadikan energi untuk mendekatkan satu sama
lainnya. Tidak mudah karena pastinya memerlukan kearifan dan toleransi.
Seseorang yang memahami ahimsa maka
dia akan selalu memegang teguh kebenaran yang sesungguhnya (satyagraha). Satyagraha berarti kebenaran, dan kebenaran yang dapat
direalisasikan dalam pikiran, perkataan dan perbuatanlah yang dapat disebut
benar. Manusia dapat merealisasikan kebenaran hidup jika mampu mengendalikan 6
rintangan dalam etika India yakni, hawa
nafsu, rasa marah, keserakahan, kebirahian, kesombongan dan kepalsuan.
Ke-enam hal itu juga merupakan pengetahuan dasar bagi pecinta kebenaran. Begitu
pula dalam politik cinta, seseorang yang memegang kedaulatan cinta seharusnya
selalu memegang teguh kebenaran sejati dengan mampu mengendalikan diri atas 6
hal itu.
Ahimsa juga menyatakan bahwa kodrat manusia berbeda dengan
dengan binatang. Manusia yang merupakan kesatuan jiwa dan raga. Jika
nilai-nilai itu dipegang teguh, tentunya prostitusi tidak akan berkembang
begitu maraknya. Dalih bahwa prostitusi tidak akan membahayakan keutuhan cinta
karena dengan dalih hal itu tidak dilakukan dengan “hati” jelas bersebrangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, sebab pada hakekatnya kemanusiaan
berarti kemanunggalan hati dan raga itu sendiri yang menjadi pembeda manusia
dengan binatang.
Dalam politik Gandhi dikenal adanya Brachmacharya.
Secara harafiah brachmacharya berarti
tingkah laku yang menuntun manusia kepada Tuhan. Secara teknis berarti
pengekangan diri terutama penguasaan dan pengendalian diri dari hawa nafsu.
Politik cinta berdasarkan politik Gandhi, seharusnya mampu mengajarkan kita
untuk mengendalikan diri dari penguasaan hawa nafsu demi menjaga keutuhan
kedaulatan cinta itu sendiri.
Gandhi juga mengajarkan nilai-nilai Abhaya yang
diartikan sebagai bebas dari semua rasa takut seperti takut akan mati, rasa
lapar, penghinaan, penganiayaan, murka dan yang sejenisnya. Dalam hal ini
manusia dituntut untuk memiliki keberanian, berani berkorban, bersabar, berbuat
tanpa ketakutan pada semua realitas. Menurut Gandhi, manusia harus bebas dari
rasa takut karena hal itu tidak pernah menjadi dasar moral. Nah jika itu
dipraktekan dalam politik cinta….ehm…tentunya politik cinta itu akan semakin
memungkinkan untuk mensejahterakan para pemegang kedaulatannya….
Semoga tulisan singkat ini dapat menambah wacana keilmuan kita dan terwujudnya Negara yang lebih suka menaburkan asas cinta damai diantara sesama dan lebih mementingkan kepentingan bersama.
****Penimba inspirasi Jalan Setapak, Akar Rumput****