Setelah Pilkada Malaka, Mari Kita Rekonsiliasi Beberapa Pekerjaan Rumah Pasca Pilkada Malaka 2020 (Menenangkan Jiwa, Bebas Konflik)

Setelah Pilkada Malaka, Mari Kita Rekonsiliasi Beberapa Pekerjaan Rumah Pasca Pilkada Malaka 2020 (Menenangkan Jiwa, Bebas Konflik)

Setelah Pilkada Malaka, Mari Kita Rekonsiliasi

Beberapa Pekerjaan Rumah Pasca Pilkada Malaka 2020

(Menenangkan Jiwa, Bebas Konflik)


 

Berbuat salah itu manusiawi, tapi menyalahkan orang lain itu (watak) politik. Hubert Humprey Politikus Amerika Serikat (1911-1978)

Dulu, keragaman dipahami dengan lebih baik terutama karena pemerintah saat itu (terlepas dari caranya) menekankan arti keberagaman bagi bangsa Indonesia. Indonesia terdiri dari banyak suku, banyak bahasa daerah, banyak agama dan etnis yang dipersatukan dalam satu bangsa. Sehingga satu pihak menghargai pihak lainnya yang berbeda.

Jika kita ingat pada Pilkada Malaka 2020, politik memanas dan membawa efek pada kondisi masyarakat yang juga ikut terpolarisasi. Polarisasi itu sangat tajam dan melingkupi banyak hal yang sebelumnya tak pernah ada atau tak pernah disinggung, seperti orientasi politik.

Hanya saja karena kampanye Pilkada Malaka tidak saja dilakukan melalui kampanye konvensiona (di setiap desa dan kecamatan, dengan atap muka dll) tapi merambah ke media sosial maka kampanye yang dilakukan bertambah massif. Di ranah itu muncul lovers (pemuja) dan haters (pembenci). Kita ingat bahwa saat Pilkada Malaka 2020 muncul lovers dan haters SN-KT (Simon Nahak dan Kim Taolin) dan lovers serta haters SBS-WT (Stefanus Bria Seran dan Wandelinus Taolin) yang melakukan kontestasi Pilkada Malaka 2020.

Lalu fenomena lovers dan haters itu menjadi 'abadi', meski Pilkada Malaka sudah berlalu beberapa hari yang lalu. Perseteruan itu berlanjut dan merambah pada partai-partai pengusung. Elitnya juga tak henti-henti untuk mencaci lawan partai atau calon yang ditawarkan partai yang berseberangan dengan partainya. Itu semacam peluru untuk menyerang dan memperdaya lawan politik. Bagi penyerang, tak ada sikap atau perilaku lawannya yang benar karena semua salah atau tak tepat di matanya. Sebaliknya dia (dan pendukungnya) memuja pihaknya sendiri.

Inilah yang disebut oleh Humprey sebagai watak politik, yaitu menyalahkan orang lain (baca : lawan politik). Dan konyolnya, banyak masyarakat terpengaruh. Itu yang mementuk polarisasi ala pendukung politik.

Pilkada sudah berlalu beberapa saat yang lalu dan berlangsung dengan damai. Sudah saatnya pihak-pihak yang terjerembab dalam polarisasi pendukung dan para paslon yang mengikuti kontestasi untuk melakukan rekonsiliasi demi demokrasi bangsa kita. Kita harus menghargai dan menjunjung tinggi hasil Pilkada tersebut Hanya dengan menghargai kita bisa mewujudkan Indonesia yang damai.

Kontestasi pilkada Malaka 2020 baru saja usai dilaksanakan, Rabu 09 Desember 2020 kemarin. Beragam lembaga survei pun sudah mengumumkan hasil hitung cepat (quick count) siapa jawara pada pilkada Malaka 2020. Meskipun publik masih menunggu hasil real count atau hitung resmi KPU Malaka, ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu segera dilaksanakan usai pilkada.

Pertama, melakukan rekonsiliasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rekonsiliasi diartikan sebagai "perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan." Pasalnya, sebagai ajang memperebutkan orang nomor satu di daerah Malaka, pilkada harus diakui telah mendatangkan polarisasi dukungan antar-kandidat ataupun saling serang di media sosial. Perbedaan pilihan politik terbawa hingga dalam kehidupan bermasyarakat dimana ada “permusuhan politik”.

Kondisi tersebut perlu segera dipulihkan melalui jalan rekonsiliasi. Mengutip pendapat John Paul Lederach dalam Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies (1999), esensi dari rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang saling benci. Lebih dari itu, prasyarat rekonsiliasi di dalamnya harus ada unsur pengakuan, penerimaan dan pengampunan.

Dalam bahasa Sri Sultan Hamengkubuwono X, "Yang menang tidak boleh umuk, sementara yang kalah juga tidak boleh ngamuk". Artinya, yang menang tidak boleh jemawa sedangkan yang kalah harus menerimanya dengan lapang dada. Secara praktis, yang menang mau mendatangi dan merangkul yang kalah. Sebaliknya, yang kalah segera memberi ucapan selama kepada yang menang. Dengan saling merangkul dan memberikan ucapan selamat, hal itu membuat suasana jadi adem dan sejuk.

Kedua, pekerjaan rumah berikutnya adalah bagi 115.304 jiwa. Ada pengurangan sebanyak 129 pemilih dari yang sebelumnya tercatat di Daftar Pemilih Sementara (DPS) sebanyak 115.433 jiwa penduduk Kabupaten Malaka yang baru saja memberikan hak pilihnya. Setelah datang ke TPS dan mencoblos, kini saatnya semua warga bahu-membahu bersama pers dan elemen masyarakat sipil mengawasi para kepala daerah terpilih dan memastikan janji-janji kampanye mereka terpenuhi. (Lih. https://timexkupang.com/2020/10/21/dpt-pilkada-malaka-115-304-jiwa-ini-rincian-per-kecamatan/)

Pasalnya, setelah kepala daerah terpilih, mengutip Robert Endi Jaweng (2016), mereka akan memasuki semacam black box, yakni visi, misi, program, hingga janji kampanye berkonversi ke dalam aksi lapangan. Ini momen pembuktian: apakah segala janji akan dilunasi, atau sebaliknya janji hanyalah tinggal janji. Warga Malaka, khususnya 115.304 jiwa yang baru saja memberikan hak pilih, perlu mengawal dan memastikan janji politik para kepala daerah terpilih mampu dibumikan.

Ketiga, kepala daerah terpilih harus mampu melakukan sinkronisasi kinerja dengan pemerintahan pusat. Seperti pernah saya sampaikan dalam artikel sebelumnya berjudul "Tahun Politik dan Sinkronisasi Kinerja" (Harian KONTAN, 07 Maret 2018) bahwa sinkronisasi kinerja antara pemerintah pusat dan daerah perlu diupayakan untuk menyelaraskan target pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan.

Hal ini penting karena pemerintah daerah secara hierarki berada di bawah pemerintah pusat. Artinya, dalam negara kesatuan, tata laksana pemerintahan daerah harus selaras dengan pemerintah pusat. Memang otonomi daerah memberikan kewenangan lebih luas ke pemerintah daerah. Namun, kewenangan itu tetap harus dalam koridor pemerintah pusat. Ibarat orkestra, setiap alat musik harus seirama supaya tercipta sebuah harmoni.

Keempat, kepala daerah terpilih harus mampu manjadi pemimpin yang adaptif dengan perkembangan zaman. Jadilah kepala daerah zaman now. Sebab, di tengah kompleksitas persoalan yang dialami daerah, kehadiran pemimpin baru yang mampu memahami perkembangan dan kebutuhan zaman tak bisa ditawar lagi. Apalagi saat ini selain berada di era revolusi industri 4.0, seorang kepala daerah juga harus mempersiapkan diri menyambut periode bonus demografi yang akan didominasi anak muda dan angkatan kerja produktif.

Kelima, kepala daerah terpilih harus menjadi pemimpin yang inovatif. Salah satunya adalah mampu memanfaatkan keberadaan media sosial untuk meningkatkan kinerja. Ada sejumlah alasan mengapa media sosial perlu dimanfaatkan dengan baik oleh kepala daerah.

 Media sosial dapat mendatangkan partisipasi aktif masyarakat

Dengan partisipasi aktif itu, seorang kepala daerah misalnya dapat menyerap aspirasi sekaligus mengetahui secara langsung jantung persoalan warga tanpa melalui sekat protokoler. Selain praktis dan cepat, penyerapan aspirasi via media sosial dapat terhindar dari laporan "ABS" (asal bapak senang).

Media sosial dapat menjadi sarana sosialisasi untuk menyampaikan program dan kebijakan

Sebagai produk modernisasi alat komunikasi yang "berbasis" massa besar dan menyediakan chatting serta feedback, media sosial dapat menjadi sarana untuk sosialisasi sekaligus dialog. Di sini, seorang kepala daerah dapat secara langsung melihat bagaimana respon warga terhadap program dan kebijakan yang telah digelindingkannya.

Bila ada warga yang tidak suka ataupun tidak setuju dengan program tersebut, maka sang kepala daerah langsung dapat menjelaskannya. Sehingga, terjadi dialog antara pemimpin dengan rakyatnya. Pola semacam ini penting karena salah satu ciri model kepemimpinan abad 21 adalah seorang pemimpin dituntut mampu berkomunikasi secara interaktif-dialogis dengan rakyatnya, saling mengirim dan menyampaikan pesan, berbicara dan mendengarkan.

Media sosial dapat mempercepat sekaligus memperbaiki kinerja Pemerintah Daerah

Ada beberapa bukti kenapa media sosial dapat membantu kinerja pemerintah daerah. Sebagai contoh, saya pernah mendapat cerita dari teman asal Kecamatan Sasitamean, Desa Builaran, Dusun Benin-Harekain yang sedang membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selama hampir sebulan, KTP tersebut belum juga jadi.

Melalui media sosial Whatsapp, teman saya kemudian mengeluh seraya mengadu ke nomor whatsapp  milik salah seorang kepala daerah. Tak berselang lama, teman saya mendapat telepon dari kantor Dinas Kependudukan di Betun-Laran untuk segera mengambil KTP. Usut punya usut, ternyata sang kepala menanggapi keluhan atau aduan teman saya dengan langsung mengontak Kepala Dinas Kependudukan. Cerita tersebut hanyalah sedikit contoh dari dampak pemanfaatan media sosial sebagai instrumen pendukung kinerja pemerintah daerah.

Itulah sejumlah pekerjaan rumah yang perlu segera dilaksanakan dan disambut, baik oleh para kepala daerah terpilih ataupun masyarakat pada umumnya, setelah pilkada usai.•



 

Penulis Frederick MZaq (Penimba Inspirasi Jalan Setapak)

 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama