Rapat Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam rangka kongres ke V bulan Mei 1951 |
Bagaimana sebuah partai nasionalis terbesar pada masanya terpecah menjadi dua kelompok. Tidak luput dari campur tangan penguasa
Prahara yang dialami
oleh Partai Demokrat pernah sejatinya melanda Partai Nasional Indonesia (PNI).
Partai berlambang banteng ini sempat menjadi simbol ideologi nasionalis setelah
memenangkan pemilihan umum 1955. Namun pada awal 1960, PNI mulai goyah karena
adanya konflik di tubuh partai.
Pada 4 Agustus 1965,
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PNI memecat beberapa anggota dewan pimpinan.
Diantaranya ialah Osa Maliki, Sabilal Rasjad, Mh. Isnaeini, Karim Moh. Durjat,
Hardi, Hadisubeno Sosrowedjojo, Umar Said, Sugeng Tirtosiswojo, dan Sutrisno.
Mereka dipecat lantaran menentang “Deklarasi Marhaenis” yang menyisipkan unsur
Marxisme dalam garis perjuangan PNI. Tudingan “Marhenis Gadungan” pun
dilekatkan pada kelompok ini.
“Keputusan pemecatan
tersebut tidak ditaati (ditolak) oleh yang bersangkutan dan mereka menyatakan
tidak ada manfaatnya rapat pleno DPP tanggal 4 Agustus itu,” kata Soenario,
tokoh pendiri PNI dalam Banteng Segitiga.
Lihat Juga:
Potret Kejayaan Becak di Tahun 1953 (Sejarah Perkembangan Becak di Indonesia)
Operasi Pesawat, Misi Gerilyawan Surabaya Yang Terlupakan
Mengakulah Sebagai Anak Kampung Bukan Kampungan
Ketika Presiden Diancam
Sudah goyah, PNI makin
goncang karena peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. PNI yang
dipimpin Ali Sastroamidjojo dan Sekjen Surachmat menyatakan berdiri di belakang
Presiden Sukarno dan politik Nasakom. Sementara itu, kader PNI yang dipecat
pada 6 Oktober 1965 mendeklarasikan pembentukan DPP PNI baru dibawah
kepemimpinan Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja sebagai sekjen.
Dengan demikian, PNI
terbagi dua faksi. PNI Ali-Surachman yang berstatus legal kemudian diplesetkan
kelompok penandingnya menjadi PNI ASU. Di pihak lain, kubu tandingan yang lebih
dikenal sebagai PNI Osa-Usep berstatus “riil murni”. Pertentangan keduanya
sempat menyebabkan bentrokan di tingkat akar rumput.
Paulus Widyanto
mencatat, pendukung Ali-Surachman menyerang markas besar kelompok Osa-Usep di
Jalan Sawah Lunto. Mereka melempari rumah tersebut dengan batu sehingga genting
dan kaca jendela pecah. Perang pamflet antara kedua kelompok ini juga
berkembang gencar.
“Karena GMNI Osa-Usep
ikut serta dalam aktivitas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) maka
eksistensinya diterima oleh barisan dan unsur-unsur lain dalam Orde Baru,” kata
Paulus dalam “Osa Maliki dan Tragedi PNI” dimuat Prisma Edisi Khusus
20 Tahun, 1971-1991. Akibatnya, PNI Ali-Sartono jatuh sedangkan DPP PNI
Osa-Usep naik pamornya.
Pada April 1966, PNI
menyelenggarakan Kongres Pemersatuan di Bandung. Waperdam urusan Keamanan dan
Pertahanan merangkap Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto turut hadir.
Soeharto memberikan wejangan agar PNI menghindari segala bentuk penyelewengan.
Perhelatan itu akhirnya memenangkan kubu Osa-Usep dalam kepengurusan PNI yang
didukung oleh militer dan KAMI Bandung.
Menurut Manai Sophiaan
dalam Kehormatan Bagi yang Berhak, Kongres Pemersatuan tersebut dipenuhi
intrik dan ancaman dengan melibatkan unsur luar partai. Hal ini sekaligus
mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan Bapak
Marhaenisme. Namun, seperti diungkap Paulus Widiyanto, tugas Osa Maliki
memimpin PNI cukup berat. Selain kesulitan dari kalangan internal yang tidak puas
dengan hasil Kongres Bandung, tantangan juga datang dari pihak penguasa militer
yang menginginkan PNI tampil secara tegar dalam barisan Orde Baru.
Pada 11 Desember 1967,
DPP PNI yang diwakili Hardi, Mh. Isnaeni, dan Gde Jaksa menghadap Soeharto.
Mereka meminta Soeharto agar membantu PNI mempercepat proses konsolidasi dan
kristalisasi partai. Soeharto memberikan jawaban mengambang. Dia mengatakan
bahwa sikapnya terhadap PNI tergantung pada sikap Angkatan Darat.
Selang tiga hari
kemudian, pimpinan PNI menyambangi pejabat Panglima Angkatan Darat Letjen
Maraden Panggabean. Mereka menanyakan sikap Angkatan Darat terhadap PNI. Jika
PNI memang tidak diperlukan, maka partai ini segera dibubarkan. Panggabean
menyatakan bahwa Angkatan Darat bersedia membantu PNI melakukan konsolidasi dan
kristalisasi.
Puncak kompromi ini
mewujud dalam Pernyataan Kebulatan Tekad PNI pada 21 Desember 1967. Pernyataan
itu, menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya, 1963—1969,
menegaskan bahwa PNI tidak menghendaki lagi kepemimpinan politik Sukarno. Gelar
Bapak Marhaenisme yang melekat pada Sukarno ditiadakan. PNI tidak lagi terikat
dengan ajaran dan pemikiran politik Sukarno, khususnya terkait Nasakom.
Sejak itu pula, kata
Manai Sophiaan, PNI mencatat bagaimana massanya berbondong-bondong meninggalkan
partainya. Dalam pemilihan umum 1971, partai yang bertanda gambar banteng dalam
segitiga ini hanya kebagian 8 persen suara. Dari partai pemenang, PNI kemudian
tenggelam dalam kebijakan fusi partai selama Orde Baru.
Referensi Catatan
Sejarah:
https://historia.id/politik/articles/ketika-pni-terbelah-Pdb9k/page/1