Pos penjagaan tengah memeriksa kelengkapan surat sebuah truk militer, 1945. |
Dalam gulita malam, mereka mengangkut peralatan
pemancar radio dengan truk lalu berlanjut dengan berkuda dari bukit ke bukit.
Tujuannya, menyiarkan berita ke seantero jagad, sekaligus membakar semangat
para pejuang Republik.
Namun, akibat sering berpindah, salah satu bagian
penting dari pemancar radio itu mengalami kerusakan. Rencana untuk mengambil suku
cadang pemancar ke Radio Pemberontakan di Malang, kota terdekat, dibatalkan
lantaran pemancarnya juga mengalami kerusakan.
Pilihan terakhir, mereka harus mengambil suku cadang
pemancar itu di sebuah rumah kosong dekat pemancar lama di Surabaya—yang saat
itu dikuasai tentara Inggris. Bagaimana mungkin?
Para pejuang menemukan cara untuk menyusup ke
pertahanan musuh di Surabaya: Menyamar sebagai awak Palang Merah Internasional
lengkap dengan mobil ambulans!
”Aku merinding mendengar rencana itu,” ungkap K’tut
Tantri yang turut bergerilya bersama pejuang Republik. Nama
sejati perempuan itu Muriel Stuart Walker, warga negara Amerika Serikat
kelahiran Inggris. Dia berada di Indonesia selama
lima belas tahun, 1932-1947. Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak
oleh Raja Bali yang memberinya nama khas Bali tersebut.
Lihat Juga:
Wonder Woman Sejati yang hidup 2000 tahun lalu
Pendidikan Guru Indonesia, Sejarah dan Perkembangan
Sering Terlupakan 9 Peristiwa ini membantu terbentuknya dunia modern loh
Tantri
mengingatkan kepada para pejuang bahwa menggunakan identitas Palang Merah
Internasional sangat berbahaya lantaran di Jawa Timur belum ada perwakilan
organisasi tersebut. Namun seorang pemimpin gerilya menjawab dengan enteng, ”Prajurit
Inggris tidak begitu cerdas. Pokoknya mereka melihat kata internasional, pasti
langsung percaya.”
Tantri yang awalnya ragu pun menyetujui siasat para
gerilyawan, asalkan operasi tersebut bukan operasi militer—tanpa senjata. Dalam
skenario, perempuan itu berperan sebagai perawat zaman Perang Dunia II,
berbusana serba putih dengan lengan berjahit ban Palang Merah internasional.
Tak hanya itu, dia dilengkapi surat-surat dan paspor dengan foto aslinya, namun
bernama samaran ”Molly McTavish”.
Mobil ambulans berlabel rekaan ”International
Committee of the Red Cross” telah diperoleh dari sebuah rumah sakit swasta di
Mojokerto. Pengemudinya seorang pemimpin gerilyawan yang berpakaian dinas.
Sementara, di dalam ambulans terdapat dua gerilyawan: Seorang menyamar sebagai
dokter berbusana serba putih dan lainnya berakting sebagai korban. Sang korban
terbaring dengan balutan perban penuh rembesan darah—dari ayam yang
disembelih.
K’tut Tantri terkesima menyaksikan keberanian dan
ketelitian para gerilyawan Republik dalam menyusun strategi, meskipun mereka
adalah orang-orang yang kurang berpendidikan. ”Aku menilainya sebagai rencana
gila-gilaan.”
Lihat juga:
7 Pahlawan di Balik Kemerdekaan Indonesia yang sering dilupakan
Wisata Sejarah Jong Dobo, Mitos Kapal Terkutuk di Maumere-Kabupaten Sikka NTT
Mengenal Sosok Sanusi Pane, Sosok Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia
Pemandangan kota usai pemboman besar-besaran oleh Inggris. Seorang serdadu India berjaga di jalanan yang dikuasai pihak militer Inggris di Kota Surabaya. |
Mendekati barikade Kota Surabaya, sirine ambulans diraungkan. Namun, satu serdadu Inggris dan dua serdadu Gurkha menahan perjalanan mereka. Sang serdadu terkejut menyaksikan ada perempuan kulit putih di dalamnya.
Dia pun berkenalan dengan ”Molly McTravish” dan
mengajak berkencan. Namun,”Molly McTravish” menolaknya dengan alasan harus
segera menyelamatkan korban di dalam ambulans. Lantaran iba dengan korban,
serdadu itu melunaskan permintaan mereka untuk melaju ke dalam kota.
Mobil ambulans sampai ke alamat tujuan. Di Surabaya,
mereka segera memasukkan suku cadang pemancar, sekarung makanan kaleng, dan
sekotak besar rokok. Akhirnya, mereka kembali ke Mojokerto dengan selamat.
Kisah sejarah tersebut ditulis oleh K’tut Tantri
dalam otobiografinya, Revolt in Paradise, yang terbit pertama kali
di New York pada 1960. Buku ini juga pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka
Utama dengan judul Revolusi di Nusa Damai pada 1982 dan 2006.
Dalam buku itu dia berkisah tentang perjalanannya dari New York hingga ke
Hindia Belanda, bermukim di Bali, jatuh cinta dengan ningrat setempat, hidup
dalam tawanan Jepang, dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Tantri wafat di Australia pada 1997 dalam usia 99
tahun. Dia pernah menjalani hidup menderita sebagai tawanan perang Jepang.
Bahkan, pernah dinyatakan tewas dalam kamp. Sayang, keterlibatan Tantri dalam
gerilya dan perjuangan revolusi Republik Indonesia tampaknya
kini nyaris dilupakan oleh bangsa Indonesia.
”Operasi Perawat
berhasil kami selesaikan dengan hasil memuaskan,” ungkap Tantri. ”Pemancar
radio diperbaiki. Voice of Free Indonesia bisa
berkumandang kembali di udara.”
Referensi Sejarah: