Pengantar
Saya memiliki kesetiaan yang berlebihan pada
sejarah kata-kata. Yang saya tahu, setia memang harus berlebihan. Seperti yang
terjadi pada usia dua puluh tahun, membaca naskah Goethe: Faust, dalam bahasa Inggris. Perasaan bersalah yang amat
karena tidak bisa membacanya dari bahasa asal, yaitu bahasa Jerman. Dan,
sepuluh tahun kemudian saya dapat membacanya dalam bahasa aslinya, Jerman, di
Muenster. Kesetiaan mengandung konfirmasi yang terus-menerus menginduk pada
perihal muasal. Dan muasal paling muasal dari filsafat adalah bahasa. Saya
kembali menjadi fakir, menjadi miskin ketika kembali berhadapan dengan sebuah
buku baru karya Romo Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi, Mendidik
Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon Dari
Yunani Antik Hingga Indonesia (2014)
(kemudian disingkat MPDN). Mengapa? Karena saya tidak memiliki akses, kunci,
dan tiket yang sempurna menuju pengetahuan Plato seperti dalam bahasa
muasalnya, Yunani, sebagaimana halnya oleh kedua penulisnya. Saya sungguh
cemburu! Dalam mendekati diskursus, saya selalu, atau biasanya, mendekatinya
dalam rumah filsafat bahasa. Kali ini saya tak benar-benar berada di dalam
rumahnya. Setidaknya saya menengok dari balik jendela, dari luar, atas
perhatian saya pada perihal: filsuf perempuan (dalam terminologi Plato via Romo
Setyo sebagai Filsuf Ratu), bilangan istri, ibu, anak-anak, gender ketiga,
bilangan tubuh, dan bilangan alam. Perihal ini akan menjadi kelanjutan pembedahan
buku sesuai dengan kajian yang saya geluti selama ini.
Pengetahuan Ayah
Pertama kali saya mengenal nama Plato, perasaan
yang tumbuh, sampai dengan sekarang adalah seperti menyusu pada ayah. Seperti
halnya ketika menerima pertama kali buku ini, lalu membaca, lalu melakukan
pelacakan, lalu melakukan komunikasi dengan penulisnya—seperti memasuki dunia
pengetahuan ayah. Mengayah pada Setyo Wibowo. Saya membuka beberapa buku, teks,
laman, kuliah youtube, dan lain-lain untuk duduk dalam percakapan tentang tahu
yang diketahui ayah. Genealogi, menurut sejarah, generasi, dari logos-logos,
seperti membaca kembali Plato (The Republic), lalu Setyo Wibowo. Tafsir ayah, atas ayah
sebelumnya, atas ayah sebelumnya, dan seterusnya. Seperti urutan tasbih:
Sokrates, Protagoras, Plato, Nietzsche, Heidegger, Setyo Wibowo, Haryanto
Cahyadi, dst, dll. Seperti mustahil mengenal Nietzsche tanpa Heidegger, dan
seterusnya. Dan yang paling fakir dari seluruh pembaca adalah yang tak
mengetahui bahasa muasalnya, Yunani, sebut saja saya. Pengetahuan ayah saya
kenal dalam bahasa-bahasa turunan, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris,
bahasa Jerman—itu saja. Tidak cukup! Tetapi kemudian saya menyadari akan adanya
kesemestaaan kebaikan, keelokan, seperti yang sering disebut-sebut dalam buku
ini sebagai kaloskagathos,
yang dipastikan dimiliki semua manusia, begitu pun saya. Dari etos itu,
dari elan itu,
pengetahuan dapat saya cerap dalam daya maksimumnya, meski terbatas, meski
hidup fakir dalam kota kata-kata.
Idealitas kota kata-kata, Polis, adalah perwujudan keutuhan dari kebahagiaan versi
Plato. Dalam menerangkan dialektika ilmu bahagia, Plato menggunakan instrumen
bahasa. Dan yang paling menarik dari instrumen ini adalah nafsu besarnya atas
sistematisasi, strukturasi, klasifikasi, hierarki—kata benda, kata sifat, dan
lain-lain. Menarik menghitung dan mencari posisi ontologis dari kata perempuan,
istri, anak-anak dan bumi. Sebagai kata benda, frekuensi mereka berada dalam
kalimat tanya dalam The Republic cukup menarik untuk dicermati. Seperti menjadi saksi bahwa proses
sistematisasi pengetahuan dimulai dari ketika diri memisahkan dirinya dari para
liyan, lalu mendiskusikan liyan itu dalam sebuah instrumen yang disebut sebagai
cikal bakal demokrasi dalam negara dan masyarakat modern (gesellschaft, bukan gemeinschaft) yang ideal. Filsafat dan Ilmu Politik sekarang
berhutang pada Plato, sebagai Ayah yang menelurkan diksi-diksi utama dalam
kajiannya: negara, republik, demokrasi, warga negara, dan lain-lain. Hutang ini
tak hanya hutang genealogi, generasi dari etimologi tetapi juga hutang
pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa’ atas proses-proses terbentuknya. Seperti,
mengapa perempuan, istri, anak-anak, bumi, disebut-sebut sebagai tak lebih dari
properti yang diatur? Tak lebih sebagai sebuah sasana, wahana, sumber daya?
Sesuatu yang dimasukkan dalam struktur kata benda yang diatur, dimanajemen,
dibudidayakan, diberdayakan, dieksploitasi atau boleh saja diperdayai? Marx
dalam bukunya Economic and Philosophic Manuscripts (1844) menegaskan berkali-kali, bahwa untuk mendapat
gambaran paling utuh dari sebuah masyarakat, atau dari sebuah era, kita harus
melacak dimana, bagaimana, dengan cara apa perempuan dan anak-anak
diperlakukan.
Tetapi, tentu tidak adil bagi Plato jika saya
berangkat dari paragraf sebelum ini atas aksioma, postulat, metafora, bahwa
kemudian Plato tak adil pada perempuan dan alam—karena dia memang berada dalam
abad klasik yangmana perempuan separalel dengan properti, dan bahwasanya
cetusannya atas Filsuf Ratu merupakan perihal yang revolusioner di eranya
(Wibowo & Haryadi, 2014: 364-368). Seperti halnya Muhammad menyebut angka
empat atas praktik kepemilikan ratusan istri, atau Yesus bercakap dengan
Magdalena seorang pelacur, atau Muhammad melarang mengubur bayi perempuan, Muhammad
memberi hak waris pada anak-anak perempuan, dan lain-lain. Para Ayah itu,
mereka, amat revolusioner pada zamannya. Mereka adalah Zeitgeist. Mereka adalah feminis laki-laki yang tak hanya
memiliki perspektif adil gender, tetapi juga tatkala berkuasa, juga menerapkan
instrumen kebijakan yang berangkat dari kehendak politis untuk adil.
Pengetahuan Ayah ini akan menjadi pijakan pada pembangunan atas kota yang ideal
dalam caranya, yang menurut saya, amat radikal—jauh sebelum feminisme
memperjuangkan narasi keadilan secara radikal. Militansi, ugahari, kesungguhan,
keelokan dan keindahan, yang sering dijabarkan secara panjang lebar dalam buku
ini merupakan sebuah alat untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun Plato tak
demikian setuju atas demokrasi, seperti dalam penjelasan pertama tulisan Setyo
Wibowo, demokrasi memang menarasikan di dalam dirinya keinginan untuk selalu
dites, dicurigai, dievaluasi, dimonitor, diwaspadai setiap saat apabila tak
menarasikan adil. Demokrasi modern yang sekarang terbangun hampir di seluruh
negara di dunia, sebagai satu-satunya model yang dianggap mujarab sebagai alat
rakyat, mau tidak mau, dijadikan sebuah landasan untuk keberangkatan dialektika
kenegaraan selanjutnya, seperti naskah atas perempuan, gender ketiga,
anak-anak, alam, dan lain-lain. Kumpulan kata benda liyan ini, jauh sebelum
mereka mengalami derita diskriminasinya sampai dengan sekarang, pelacakannya
ada pada sikap dan representasi pengetahuan Ayah atas mereka.
Pada saat itu, Plato hidup dalam sebuah situasi
dimana perempuan dapat kita sebut sekarang berada dalam situasi domestikasi,
tak berada dalam peran-peran kenegaraan. Negara Yunani dalam idealitas Plato
adalah yang juga memberikan kesempatan pengembangan potensi terbaik para
perempuannya. Plato menghasratkannya dalam kata kunci ”filsuf ratu”—sebuah
dedikasi bahwa perempuan memiliki kapasitas yang sama seperti halnya laki-laki
dalam mengembangkan akalnya (meskipun kemudian, dilanjutkan dalam narasi, atas
kekuatan perempuan yang lebih lemah daripada laki-laki). Kemungkinan lemah
menyimpan banyak hipotesis: Apakah karena terbatas fisiknya? Terbatas waktu dan
kesempatan karena proses pelayanan rumah dan pengasuhan anak-anak? Terbatas dan
lemah karena siklus mensnya, kelahiran, nifas, menyusui, dan lain-lain soal
kesehatan reproduksi? Terbatas karena secara genetik perempuan lemah akal? Saya
kira, jika yang paling akhir yang menjadi diktum dia, Plato sungguh jahat. Sama
saja dengan saya yang tak mau mengamini bahwa perempuan adalah manifestasi dari
parsialitas kelelakian (Tulang rusuk? Pembuahan telur? Dll.). Tak ada satu pun
jawaban atas pertanyaan di atas kecuali ada pada genealogi dan bagaimana
kesadaran dan pengetahuan tubuh sosial (Sozialkoerper, meminjam Gugutzer) mengada sekarang. Keadaan tubuh
sosial inilah yang membimbing apakah pengetahuan Ayah telah tak adil? Telah
bias? Telah diskriminatif? Telah sengaja menganak-tirikan? Telah meliyankan?
Menafsir Pengetahuan Ayah
Tak
hanya ruang domestik dan ruang publik yang disistematisasi dan dihierarkikan
sebagai narasi kelas, gender tak ketinggalan. Kita tak bisa melacak atau
menyimpulkan bagaimana sikap para Ayah atas perempuan dan minoritas seksual
kecuali bahwa mereka sekarang dalam keadaan paling pinggir. Sebagai
epistemologi pinggiran, feminisme, selama ini, tak lebih tak kurang merupakan
tafsir kewaspadaan atas pengetahuan Ayah. Tafsirnya mewaspadai bagaimana urusan
angka kematian ibu (AKI) melahirkan sebagai urusan perempuan, misalnya. Betapa
tak adilnya. Para Ayah tentu tahu bahwa mereka lahir dari vagina-vagina ibu mereka.
Dan urusan AKI, seharusnya, adalah urusan seluruh polis kalau begitu. Plato mungkin tak sedang menyarankan
bahwa laki-laki, negarawan laki-laki, politisi laki-laki, untuk tak mengiyai
atau tak peduli atas perihal ini, tetapi Ayah dari para ayah itu bisa jadi
telah salah dipahami oleh anak-anak lelakinya! Jika Plato telah disalahpahami
oleh anak-anak lelakinya sekarang, lalu bagaimana memulai percakapan?
Saya kira ini adalah sebuah peristiwa yang
sungguh elok dan indah, karena buku yang ditulis dua laki-laki ini, diminta
dibedah oleh perempuan. Ini merupakan pakta penyerahan otoritas,
tanggung-jawab, dan naskah etik yang amat jarang dilakukan oleh para Ayah. Ayah
yang menyerahkan laman pengetahuannya untuk dibedah, dikritisi, didiskusikan
oleh anak-anak perempuannya, seperti saya, adalah Ayah yang telah mengenal
lebih dahulu apa pentingnya pengetahuan perempuan. Dari sini percakapan
dimulai. Dari sini paradigma pengetahuan perempuan diletakkan, dibangun, dan
kemudian dirawat dalam percakapan-percakapan komunalnya. Ini kemudian tak
mengandaikan soal supremasi, tetapi soal pengetahuan yang lama tak
terdokumentasi itu. Pengetahuan perempuan adalah pengetahuan yang keadaannya
ada, dan harus kita akui bahwa dokumentasi, pencatatannya, genealogi, jejak
dalam sejarah pengetahuan amat kurang. Keadaannya tak hanya ditentukan
oleh raison d’etre, atau
perihal eksistensinya, tetapi yang tak kalah penting adalah perihal
pembahasaanya, perihal narasinya. Saya berangkat dari sebuah sikap: sedang tak
memusuhi pengetahuan Ayah, sedang tak memusuhi Ayah—tetapi memusuhi
ketakadilan, ketakelokan, ketakindahan, ketakugaharian, ketaksungguhan dalam
diktum-diktum Ayah. Dan ini juga dimusuhi oleh Ayah, sesungguhnya. Tetapi bahwa
Ayah telah memakai alat, yaitu bahasa, yang kemudian tak elok, adalah kebenaran
yang boleh diungkapkan. Hasrat atas kebenaran bahwa Ayah telah menggunakan
bahasa tak elok, dengan meliyankan perempuan, misalnya, merupakan hasrat yang
kemudian tak boleh memusuhi harmoni, kebahagian, atau kehidupan itu sendiri. Pengetahuan
feminisme juga tahu betul bahwa ia tak boleh menciderai kehidupan, meskipun
atas nama kebenaran sekalipun. Kita tentu tak bisa sangsi bahwa perempuanlah
yang pertama kali melahirkan kehidupan. Perempuanlah yang setia pada pelayanan
atas kehidupan. Perempuanlah, hanya perempuanlah, yang di dalam perutnya
menyimpan tabung-tabung kehidupan, rahim. Ini seperti bahwa seumur hidup perempuan, dalam
pengetahuan, dilucuti oleh pengetahuan Ayah sebagai kata benda belaka. Dan
sekarang perempuan melucuti para Ayah dalam kata benda yang sama. Saya melawan
ini. Replika, mimikri, peniruan, penjiplakan metode, instrumen memang tak bisa
saya hindari, karena demikian mendarah-dagingnya. Melawan praktik-praktik
penggunaan bahasa tak adil ini bukan tak mudah.
…
- Mengapa
kamu tidak bisa hidup mengikuti camar-camar lainnya, Jonathan? Tegur ayah
dan ibunya. Mereka mengingatkan bahwa diri mereka hanyalah camar belaka,
bukan Elang, maka tidak perlu belajar terbang yang aneh-aneh. Lagipula
musin dingin sudah dekat, sehingga ikan-ikan akan makin masuk ke dalam
laut, maka penting belajar terbang demi bisa makan, demi survivalnya
sendiri.
…
Tafsir
Setyo Wibowo atas Richard Bach, Jonathan Livingstone Seagull dalam MPDN
(2014: 7-23)
Saya melawan penggunaan metafora hewan,
binatang, alam dalam proses-proses penegasian sifat-sifat buruk manusia. Musang
berbulu domba? Lemah bak terbangnya Camar, tak seperti Elang? Peminjaman
dominasi, kompartmentalisasi, penisbian, kejijikan, keburukan perilaku manusia
atas binatang-binatang adalah tindakan tak elok, tak indah, dus menciderasi
elan kaloskagathos a la
Platonian. Instrumen bahasa perlu mencari cara lain, diksi lain, membahasakan
kelemahan, keburukan, kejahatan manusia dengan kosa kata yang tak meliyankan
liyan yang telah liyan. Binatang misalnya, anjing misalnya, babi misalnya,
camar misalnya. Atau tak terlalu menglorifikasi Elang misalnya, Garuda
misalnya, dan lain-lain. Bumi, Alam, Binatang, Air, Tanah, Udara, sebagai
sebuah entitas tak lagi memiliki eksistensinya dalam linguistik modern selain
sebagai sasana, sumber daya. Dus, yang dibendakan! Saya ingin mengembalikan
eksistensi mereka sebagai makhluk hidup. Pengusiran manusia-manusia atas
kampung-kampung binatang, pohon, vegetasi, dll (pembabatan, pembakaran,
monokulturasi hutan Sumatera, Kalimantan, Papua, misalnya); pengusiran
manusia-manusia atas kampung-kampung air (pencemaran akut sungai Ciliwung,
misalnya)—mengambil spirit jahatnya dari filsafat bahasa manusia yang
membendakan ke-ada-an mereka. Bahkan, dari cara manusia berkata-kata,
berbahasa, kejahatan paling pertama telah dilakukan, kalau begitu. Camar, apa
adanya, adalah burung dengan keindahan dan potensinya yang tak perlu
diperbandingan pada Elang, misalnya. Anjing! yang diperalat sebagai instrumen
makian manusia Jawa memiliki kelembutan sikap, kesetiaan rasa, yang bahkan
manusia kalah. Keadilan manusia, dapat dituntut, paling pertama, dari cara dia
berbahasa. Dan pengetahuan Ayah, sayangnya tak cakap, tak elok, dalam menarasikan
perihal binatang, perihal alam, perihal perempuan—kalau bukan eksistensi yang
direduksi menjadi kata benda belaka. Dan kemudian kecelakaan berikutnya
dimulai, yaitu, bias, stigma, diskriminasi, ketakadilan, pelecehan, kekerasan,
bahkan pembunuhan. Kemudian episentrum ketakadilan menginduk pada pengetahuan
Ayah yang tak mencukupi itu—karena tak melibatkan pengetahuan perempuan dan
mereka yang telah semena-mena dibendakan. Pengetahuan Ayah kemudian
terserak-serak, tak lengkap, dan tentu saja tak boleh universal. Pengetahuan
Ayah tak cukup untuk menjelaskan bocornya lapisan ozon. Tak mampu menjelaskan
tingginya fentisida (fenticide)—aborsi
bayi perempuan di Cina karena kebijakan satu anak sejak 1979 (lebih
menginginkan bayi laki-laki), dan lain-lain. Pengetahuan Ayah, ternyata
parsial, maka dari itu, ia tak boleh dominan, ia tak boleh menjadi satu-satunya
pegangan. Karena pengetahuan Ayah hanyalah mono-perspektif, tak
multi-perspektif, tak inter-perspektif, bahkan bisa jadi tak intra-perspektif
(pengetahuan minoritas seksual, gay misalnya).
Sebagai pembelajar, perempuan selalu belia,
terlalu muda, dan dia harus belajar dengan keras untuk mencerap pengetahuan
sebelumnya (milik Ayah), mengekspresikan pengetahuannya sendiri, dan menjadikan
perihal-perihal itu dalam pengetahuan atas ‘kebahagiaan’ dari Polis. Sebagai ibu, perempuan terlalu tua, terlalu tahu
apa-apa, dan sering kekurangan waktu. Dan sebagai pemelihara kehidupan, Ayah
terlalu muda dan kadang tak tahu apa-apa, sepertinya. Yang sering dilakukan
Ayah adalah memburu kebenaran, dengan melakukan sistematisasi, kategorisasi,
definisi, atas kehidupan dan perikehidupannya. Kadang, dan seringkali, Ayah
tergelincir ketika melakukan saintifikasi kehidupan—yaitu merusaknya. Kita
tentu bisa menjelaskan mengapa plastik memenuhi sungai Ciliwung? Atau
menjelaskan naiknya suhu bumi dua derajad lebih tinggi dari sebelumnya karena
hilangnya hutan yang dibuat menjadi pemukiman, industri monokultur, tambang,
dan lain-lain. Dus, sumber daya! Semua menginduk pada pengejaran Ayah atas
kebenaran ilmiah yang meliyankan kehidupan-kehidupan, kebahagiaan-kebahagiaan.
Nestapa Tubuh Ayah
Ada perihal yang menyedihkan dari pandangan Ayah
atas tubuhnya sendiri, atas hasrat-hasratnya, atas erosnya, atas intimitas,
atas ruang-ruang hormonal yang oleh Ayah dari para ayah, Plato, dianggap
sebagai penganggu logos yang suci, mulia. Tak ada pemandangan yang lebih
menyedihkan selain menyaksikan Ayah yang menolak hasratnya sendiri, hormonnya
sendiri, kelaminnya sendiri. Ayah yang sungguh nestapa! Satire.
- I mean what I may illustrate
negatively by the example of the body. Suppose you were to ask me whether
the body is self-sufficing or has wants, I should reply: Certainly the
body has wants; for the body may be ill and require to be cured, and has
therefore interests to which the art of medicine ministers; and this is
the origin and intention of medicine, as you will acknowledge. Am I not
right?
…
- Yet is not the power which
injustice exercises of such a nature that wherever she takes up her abode,
whether in a city, in an army, in a family, or in any other body, that
body is, to begin with, rendered incapable of united action by reason of
sedition and distraction; and does it not become its own enemy and at
variance with all that opposes it, and with the just? Is not this the
case?
Plato’s The Republic (trans
Benjamin Jowett, p. 31 & 42)
Dari idea, dialektika, yang dibangun Plato, yang kemudian
menjadi penjelas utama dalam buku ini, kemudian menjadi pengetahuan yang
melahirkan teorisasi tubuh sosial yang kita warisi sampai sekarang, yaitu
inferioritas tubuh atas otak, subordinasi kelamin oleh akal, dan lain-lain.
Tubuh sosial yang merajalela ini berbasis wacana dan prasangka yang kemudian
memisahkan secara rigid, secara getir, kenikmatan kehidupan. Dus, kebahagiaan.
Yang kelamin, yang keringat, yang tubuh adalah yang cacat dan sebaiknya tak
dibicarakan atau didiskusikan dalam traktat-traktat filsafat. Pengetahuan ini
amat dekat dengan perempuan. Ketika pertama kali dia melakukan hubungan
seksual, kemudian hamil, kemudian menyusui—kesemuanya berangkat dari
praktik-praktik kebertubuhan yang intim. Dan tentu saja, amat nestapa, untuk
kemudian diatur dalam dogma dan nomenklatur swarga. Saya tak bisa membedakan
keindahan seorang ibu, atau seorang pelacur yang melahirkan anak-anaknya.
Mereka, keduanya, memiliki perangkat dan peringkat keindahan yang spesifik
menawan dan tak terpemanai. Nomenklatur dosa akan membagi, melakukan
sistematisasi atasnya. Dus, tubuh sosial, tubuh privat, dan lain-lain yang
diliyankan itu, berangkat dari afirmasi supremasi ideen yang oleh para Ayah diburu setiap harinya dalam
perpustakaan-perpustakaan mereka.
Tubuh-sosial (der soziale Koerper) adalah tubuh yang dibayangkan, diimajinasikan,
didefinisikan oleh sebuah masyarakat-modern (Gesellschaft): sebuah corpus fictum atau corpus imaginatum, seperti yang dikenal dalam kitab dan hukum
kenegaraan para Ayah. Melalui analogi ini manusia mencari imajinasi sosial dari
tubuh yang tak menceraikan antara realitas daging dan realitas sosial. Tubuh
kolektif melayani setiap individu sebagai cermin—dan dalam lukisan corpus
fictum dari sebuah epos yaitu dimana
budaya melakukan perjalanannya, baik secara biologis dan secara struktural
dalam sistem hukum. Sehingga konsep tubuh sosial menyediakan jawaban-jawaban
berupa pengetahuan tentang tubuh. Di “barat”, gambaran tentang corpus
fictum ini sering dikaitkan dengan
persoalan ruang dan waktu.
- Der
soziale Körper beschreibt den Prozess der Anpassung an und der
Aneignung von gesellschaftlichengt sozialen
Normen (Sozialisation)
durch den Menschen, welche über und durch den menschlichen Körper geschieht.
Die Interaktion von menschlichen Körpern und der menschliche Körper an
sich spielen in verschiedenen soziologischen Theorien
eine Rolle. Der menschliche Körper ist ein durch und durch soziales
Phänomen: Was auch immer Menschen mit ihrem Körper tun, welche Einstellung
sie zu und welches Wissen sie von ihm haben, ist geprägt von der Kultur,
Gesellschaft und Epoche, in der diese Körperpraktiken—vorstellungen
und—bewertungen auftreten. (Gugutzer, 2007: 4)
Perihal ini kemudian membangun komunikasi
inter-intra komunitas (Gemeinschaft)
yang melahirkan jejak-jejak definisi tubuh. Dalam jalur komunikasi ini
fungsi-fungsi tubuh merupakan sub-bagian dan digerakkan oleh otak. Tesis ini
yang kemudian membangun kedokteran modern, dimana tubuh adalah sekedar saja.
Dia bukan pusat wacana. Karena pusat dalam kedokteran modern adalah otak.
Definisi tubuh-kolektif ini tidak lepas dari resapan pandangan dunia “filsafat
barat” atas naskah Ayah (baca: Plato) yang menaruh tubuh dalam inferioritasnya.
Hal ini kemudian merembes dalam cabang-cabang keilmuan lain. Kedokteran tak
bisa melepaskan diri dari pengaruh ini. Bahkan otak merupakan manifestasi
supremasi logos spermaticos.
Yang dijabarkan dengan metafora tubuh perempuan sebagai ladang, tempat dimana
sperma merupakan benih yang digunakan dalam bercocok-tanam. Mitos ini tak lagi
mitos, karena sebegitu ilmiahnya dalam ilmu kedokteran.
Tubuh kolektif, dus, dilahirkan oleh memori
kolektif tentang pandangan dunia atas tubuh yang dibangun, dikonstruksi,
diyakini, diafirmasi, direproduksi, disirkulasi dalam struktur masyarakat
tradisional/komunitas (Gemeinschaft).
Ini kemudian memberikan definisi secara spesifik pada tubuh dalam fungsi-fungsi
teknisnya, bagaimana tugas reproduksi bagi perempuan serupa hukum Kantian yang
tidak bisa ditolak, dikritisi, atau didiskusikan. Korelasi antara tubuh sosial
dan gender adalah bahwa setiap masyarakat modern dalam setiap epos selalu dan
akan melahirkan definisi baru yang tidak lepas dari pengetahuan atas tubuh
biologis yang statis itu. Sebagai contoh, setelah ratusan tahun dalam
pertumbuhan ilmu pengetahuan kedokteran, keributan diskursus dan lain-lain,
bahwa hymen merupakan
penanda dari keperawanan perempuan. Kebohongan ini berulang-kali dinarasikan
sebagai sesuatu yang ilmiah padahal dia berangkat dari mitos keperawanan yang
sangat maskulin.
Kodifikasi kultural atas tubuh memiliki
kekuasaannya yang tanpa batas dalam sistem pandangan dunia dan kepercayaan
kebanyakan di dunia. Bagaimana kodifikasi tubuh ini secara kultural diafirmasi
sebagai sesuatu yang statis, universal, dan diafirmasi dengan kuat sebagai
bagian dari ritual. Konstruksi ini dapat dikenali dalam ritual-ritual
peribadatan yang memisahkan antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Juga
bagaimana kodifikasi tubuh ini kemudian mempengaruhi persepsi manusia-manusia
modern terhadap tubuhnya sendiri. Dalam perjalanannya, tubuh-sosial yang
dipersepsi oleh memori kolektif ini saling berkomunikasi dan mempengaruhi satu
sama lain. Tesis-tesis tubuh ini melakukan perjalanannya, perjumpaannya, dan
melakukan percakapan-percakapan. Dari percakapan itu, wacana-wacana dilahirkan.
Dan sampai kepada setiap individu: apa, bagaimana, mengapa tubuhku?
Alegori tubuh perempuan dalam
dunia Ayah dicirikan dari bagaimana dia direpresentasikan dalam karya sastra,
visual, dan seni musik—sebagai bagian penting yang mewakili ide dan konsep
tentangnya. Alegori menyampaikan dan mentransmisikan pesan-pesan rahasia kepada
para pemirsanya sebagai sesuatu yang misterius sekaligus mahal. Simbol ini
merupakan retorika yang bersifat demonstratif dan mudah untuk disampaikan tanpa
berkata-kata. Tubuh-kolektif dapat ditilik bagaimana Ayah mendefinisikan tubuh
perempuan. Tetapi sebelumnya, Ayah telah berada dalam peti matinya sendiri,
tatkala dia membunuh kelaminnya sendiri, tubuhnya sendiri, dan tak
menjadikannya sebagai kekasih, seperti halnya kegilaannya pada akalnya. Tubuh
secara alamiah dan ilmiah bukan lagi produk ilmu Biologi, tetapi dia merupakan
fenomena sosial yang dikonstruksi oleh masyarakatnya, setelah sebelumnya dibius
oleh para Ayah. Pergerakan tubuh dan bagaimana tubuh berinteraksi dengan tubuh
lain merupakan pengetahuan sosial (Alkemeyer, 1943: 349). Debat atas
tubuh-sosial dapat dirangkum secara sederhana sebagai berikut: bagaimana
fondasi klasik tubuh dibangun oleh para sosiolog seperti Norbert Elias, Michel
Foucault, Pierre Bourdieu, Erving Goffman, dan Harold Garfinkel. Kemudian
disusul oleh teori gender seperti Judith Butler, Nancy Fraser dan kemudian oleh
antropolog seperti Helmuth Plessner, Peter L. Berger, Thomas Luckmann, yang
mendiskusikan tubuh mulai dari bentuk-bentuk manipulasi dari normatif sampai
dengan ruang-ruang performatif. Model sosial dari pergerakan tubuh sebagai
bagian dari sejarah tubuh sebagai yang teknis (Marcel, Mauss, Leontjew),
sebagai yang norma dan peraturan (Simmel), sebagai peradaban (Elias), sebagai
disiplin (Foucault) telah lengkap dituliskan. Definisi tersebut membantu
memahami tubuh sebagai fenomena sosial kaitannya dengan pengetahuan Ayah.
Sosiolog Perancis Marcell Mauss telah membangun sebuah interaksi
“sosial-motorik” sekaitan dengan tubuh, dimana tubuh merupakan materialisasi
budaya, seperti halnya teknik, alat-alat, mesin, dan alat bantu.
Mauss melanjutkan bagaimana sesungguhnya
perilaku tubuh bersumber dari aktivitas motorik jiwa (1989). Sedang Pierre
Bourdieu menuliskan bahwa tubuh merupakan “habitus” dimana suara, proses
biologis, secara implisit mengabarkan nilai dan kosmologi dari si pemiliknya
(1987: 128). Dus, tubuh merupakan kosmologi utuh, merupakan etik, merupakan
metafisik, merupakan politik yang saling bersentuhan satu dengan yang lainnya.
Dengan ini juga daging merupakan bentuk lain dari sebuah pekerjaan berpikir.
Tubuh dalam pandangan Bourdieu merupakan habitus yang menyusun peran-peran
dasar sosial dari seseorang. Dilengkapi dengan peralatan ideologis dari
teori feminis dan teori habitus dari Bourdieu, dapat diketahui secara eksplisit
bagaimana reproduksi ketidakadilan sosial merupakan realisasi dari sosialisasi tubuh-sosial
tersebut. Strukturisasi tubuh dimanifestasikan dengan jelas dalam sosialisasi
tubuh-sosial, bagaimana tubuh individu (Individumkoerper) tidak mendapatkan tempatnya. Ketidakadilan ini
berawal dari pemaksaan definisi tubuh-sosial atas tubuh individum. Tubuh-sosial
ini disosialisasikan terutama oleh nilai, norma, kebijakan, hukum yang tersebar
mulai dari ritual agama sampai dengan hukum kenegaraan warisan agung Ayah.
Darinya juga disosialisasikan oleh aktor-aktor penting yang mewakili tubuh sosial,
dalam hal ini, misalnya oleh iklan, oleh pemimpin agama, politisi, negarawan,
pemimpin negara, dan lain-lain. Dan aktor-aktor sosial ini memainkan peran
penting dalam reproduksi kekuasaan, baik yang adil maupun yang tak adil.
Aktor-aktor sosial ini harus memiliki posisi yang penting dalam masyarakat
sehingga pengaruhnya memiliki peran penting (Bittlingmayer, 2008: 56). Makna
sosial dibangun dari bagaimana struktur sosial itu bertanggung jawab terhadap
kelahiran kelas dan gender.
Bahagiakah Ayah?
Plato mengafirmasi
kebahagiaan tatkala manusia telah melepaskan diri dari belenggu tubuh dan
mencapai dunia ide, dunia dialektika. Makna tubuh kemudian, adalah makna yang
rasional. Makna tubuh kemudian, bukanlah “pengalaman” atas kelahiran baru (geborgenheit). Geborgenheit tak
melulu merujuk pada keamanan, tetapi juga kepenuhan, perlindungan, ketaklukaan,
keintiman, kedekatan, ketenangan, kedamaian. Apakah kemudian kebahagiaan adalah
segala sesuatu yang terjelaskan? Ataukah kebahagiaan adalah segala sesuatu yang
terasakan? Dalam sehari-hari pencarian akan makna tubuh dapat ditemukan dalam
identifikasi bagaimana perempuan berbeda, bagaimana laki-laki berbeda,
bagaimana gender ketiga berbeda. Dan mereka didefinisikan tidak hanya dari
fisik, hormon, atau kromosomnya, tetapi dari representasi (Darstellungen) dan interpretasi atas interaksi di antara mereka
(Gildemeister, 2008). Interaksi, intimitas, ruang energi merupakan penanda
paling kini dari definisi tubuh. Jika sebelumnya definisi merupakan kata benda,
tetapi kini dia beralih menjadi kata kerja. Bagaimana proses berinteraksi antar
jenis gender membangun definisi-definisi tersebut. Interaksi itu kemudian
melahirkan ekspresi tubuh, bentuk tubuh, massa dan ukuran tubuh, dan lain-lain.
Dan darinya juga dilahirkan prasangka, ketakutan, ketakpahaman, stigma,
stereotipe, dan lain-lain atas dasar kejijikan, keanehan dan rasa malu. Dus,
praktik kebertubuhan para Ayah telah dipinggirkan olehnya sendiri karena hasrat
dan kehendaknya akan kebenaran, akan keagungan, akan kemuliaan. Bahagiakah Ayah
kemudian?
Tubuh-sosial merupakan manifestasi dari memori
kolektif sebuah masyarakat yang kemudian membentuk habitusnya. Kemudian, mereka
yang tidak berada dalam horizon definisi tubuh-sosial tersebut adalah apa yang
disebut sebagai liyan. Liyan tak melulu mereka yang dipinggirkan, tetapi liyan
adalah juga yang nampak jelas berada dalam ruang mayoritas, tetapi dia
mengafirmasi definisi tubuh-sosial secara terpaksa. Liyan paling pertama adalah
tubuh Ayah, kelamin Ayah. Cinta Ayah kemudian mengalami kegetirannya karena
telah membunuh tubuhnya sendiri, hasratnya sendiri. Prasangka atas tubuh ini
kemudian beroperasi pada tubuh-tubuh para liyan secara lebih opresif, yang
kemudian direduksi sebagai sasana, wahana, sumber daya (perempuan, anak, alam,
dan lain-lain). Pengalaman terburuk perempuan dalam sejarah peradaban adalah
prasangka masyarakat atas seluruh keindahannya sebagai bagian dari iblis dan
setan. Padahal keindahan tubuh perempuan adalah terberi. Perempuan tak
mendesain wajahnya, payudaranya, pahanya, tubuhnya dalam sebuah rupa yang
hendak menggoda para Ayah. Tubuh perempuan juga bukan kawanan kata benda
penggoda, yang boleh semena-mena dieksploitasi dalam naskah-naskah agung para
Ayah. Mereka, anatomi tubuh itu, keindahan itu, disana, ada, asasi, dan
terberi.
Dewi Candraningrum
(Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan)
dewicandraningrum@jurnalperempuan.com
Daftar Pustaka:
Alkemeyer, Thomas. 2008. Bewegung
als Kulturtechnik. In Gerold Becker,
Anne Frommann, Hermann Giesecke et al.(Hrsg.): Neue Sammlung. Jahrgang 1943, Heft 3, hal. 349.
Bittlingmayer, Uwe H. 2008. Ungleich
sozialisierte Körper: Soziale Determinanten der Körperlichkeit 10–11-jähriger
Kinder. In: Zeitschrift
für Sozialisationsforschung und Erziehungssoziologie. Jahrgang 28, 2008, Heft 2, hal. 56.
Bourdieu, Pierre. 1987. Sozialer
Sinn. Kritik der theoretischen Vernunft- Suhrkamp,
Frankfurt am Main. Hal. 128, französisch erschienen 1980.
Gildemeister, Regine. 2008. Soziale
Konstruktion von Geschlecht “Doing Gender”: Ein Ãœberblick über gesellschaftliche Entwicklungen und theoretische
Positionen. Wiesbaden:
Gugutzer, Robert. Körperkult und
Schönheitswahn-Wider den Zeitgeist. In
Bundeszentrale für politische Bildung (Hrsg.): Aus
Politik und Zeitgeschichte. 18/2007. hal.4.
Mauss, Marcel. 1989. Die
Techniken des Körpers. Fischer,
Frankfurt am Main. (Hrsg): Soziologie und Anthropologie 2. zuerst erschienen in Journal de
Psychologie Normale et Pathologique. Band
32, Heft 3–4, 1935.
Plato. The Republic An Electronic Classics Series Publication.
Translated by Benjamin Jowett. English Department of The Pennsylvania
State University. Accessed 20 Oct 2014.
Wibowo, A Setyo & Haryanto Cahyadi.
2014. Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat
Pendidikan Politik Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Lamalera.