Anggota KKB yang menyerahkan diri ke TNI, 2019. Kelompoknya kini dilabeli sebagai teroris. (Foto: ANTARA FOTO/Gusti Tanati) |
Sebelumnya, Kepala
Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua Brigadir Jenderal I
Gusti Putu Danny Nugraha Karya tewas dalam penyerangan yang
dilakukan oleh KKB Lekagak Telenggen, di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak,
Papua, Minggu (25/4).
Insiden ini memancing
amarah TNI dan Badan Intelijen Negara. Lembaga terakhir pun bergegas menyebut
KKB sebagai kelompok separatis teroris (KST).
Presiden Jokowi pun meminta Polri dan TNI menangkap pelaku. Dia menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi kelompok kriminal di Indonesia, tak terkecuali Papua.
Ketua MPR Bambang Soesatyo bahkan menyarankan agar pemerintah mengesampingkan terlebih dahulu HAM dalam menumpas KKB.
Pemerintah, melalui
Menko Polhukam Mahfud MD, pada Kamis (29/4), pun secara resmi
menyatakan bahwa "organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan
kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris".
Ia mendasarkannya
kepada UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menilai label teroris bagi KKB tersebut sudah memenuhi syarat yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahwa, banyak warga sipil yang jadi korban.
Definisi terorisme itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Terorisme adalah
perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan
suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang
bersifat massal,"
"Dan/atau
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis,
lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif
ideologi, politik, atau gangguan keamanan."
"Itu yang menjadi sasarannya itu yang non-kombatan, yang sipil dan orang yang enggak bersalah. Nah itu ciri-cirinya [teroris]. Karena sipil itulah yang lemah," kata Chudry kepada CNNIndonesia.com, Kamis (29/4) malam.
Infografis Warga sipil korban KKB di Papua. (Foto: CNN Indonesia/Fajrian) |
Ia menyebut gerakan OPM dan KKB sama halnya dengan gerakan Pembebasan Macan Tamil Eelam, yang hendak mendirikan Negara Tamil di Utara dan Timur Sri Lanka. Sama halnya dengan organisasi separatis lain di beberapa negara latin Amerika, Spanyol, maupun Irlandia.
Organisasi-organisasi
itu, kata dia, layak dilabeli organisasi teroris kendati bertujuan hendak
mendirikan negara baru.
"Kata kuncinya itu
dia dengan menggunakan kekuatan militer, menyerang warga sipil untuk
menimbulkan rasa ketakutan dengan tujuan mendelegitimasi pemerintah,"
jelas Chudry.
Terkait dengan
perbedaan perlakuan terhadap kelompok separatis di Aceh, dia menyebut ada
kegagalan Pemerintah dalam menggunakan pendekatan lunak untuk menuntaskan
konflik di Papua. Ini berbeda dengan kondisi konflik di Aceh yang bisa berakhir
dengan perdamaian.
"Kok pemerintah
ada perbedaan treatment antara Aceh dengan ini? Sebenarnya,
karena itu trauma waktu Orde Baru. Tadi saya katakan, dicoba solusinya dengan
pendekatan kesejahteraan. Bentuknya adalah UU Otsus," katanya.
Senada, pengamat
militer dan intelijen dari UI Stanislaus Riyanta menyebut kategorisasi teroris
itu layak diberikan pada KKB lantaran hendak memisahkan diri dari Indonesia
dengan cara-cara teroris.
Selama April,
sedikitnya empat orang tewas ditembak oleh KKB, dan tiga di antaranya merupakan
warga sipil, yakni guru, siswa hingga tukang ojek. KKB menurut polisi juga
membakar sebuah rumah anggota dewan dan tiga sekolah, awal April. Hal itu
dilengkapi dengan penembakan terhadap Kepala BIN Daerah Papua.
Raih Kepercayaan Warga Papua, Lawan Propaganda
Demonstrasi mahasiswa Papua, beberapa waktu lalu. Pakar menyebut tak semua anggota KKB terdorong oleh motif ideologi pro-kemerdekaan. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki) |
Pemerintah,
ujar Stanislaus Riyanta, sudah tak sepatutnya berkompromi dan
bernegosiasi atas aksi-aksi itu.
"Saya setuju
dengan BIN bahwa ini separatis teroris. Karena tujuan mereka adalah memisahkan
dengan Indonesia ... dan menggunakan cara-cara teror. Nah ini yang harus
dikritisi, cara-cara mereka," kata Riyan saat dihubungi CNNIndonesia.com,
Selasa (27/4).
Namun, lanjutnya,
pemerintah juga tetap perlu melakukan hal yang lebih penting lain, yakni hadir
di tengah masyarakat Papua dengan meningkatkan kualitas hidup warganya lewat
pendidikan, ekonomi, kesehatan. Menurutnya, itu penting untuk melawan provokasi
dan propaganda KKB.
"Sehingga kepercayaan kepada pemerintah baik, dan tidak ada ruang bagi kelompok sparatis untuk intervensi, provokasi dan lain-lain," kata dia.
Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Eddy Hartono menyebut dampak dari penyematan label teroris itu adalah Pemerintah dapat mempersempit ruang gerak dan pendanaan kelompok bersenjata di Papua.
Pasalnya, UU Nomor 5/2018
akan memberi hak bagi pemerintah mencegah aksi kekerasan KKB yang dibagi
menjadi tiga bentuk yakni, kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisasi, dan
deradikalisasi.
Lewat tiga kewenangan
itu, lanjutnya, pemerintah dapat memblokir akses pendanaan terhadap sebuah
kelompok teror.
"Karena mereka ini
bergerak, kalau tanpa pendanaan tidak akan bisa. Dengan diblokir serta merta
ini tanpa proses peradilan cepat gerakannya," kata Eddy, Kamis (29/4).
Akar Konflik
Sementara itu, Ketua
Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth
menilai penyebutan KKB sebagai kelompok teroris terlalu buru-buru. Menurutnya,
perubahan nama tidak otomatis akan menyelesaikan masalah konflik di Papua.
Ia mengaku ragu
aksi-aksi teror tersebut sepenuhnya dilakukan atas dasar ideologi. Adriana
mengaku mengenal sejumlah anggota baru KKB yang merupakan para pemuda militan,
yang tak sepenuhnya meyakini ideologi mereka sebagai kelompok pro-kemerdekaan.
"Akar persoalannya
berbeda. Jadi terlalu terburu-buru sih menurut saya menamai seperti itu
(teroris)," kata dia.
Dikutip dari situs lipi.go.id, Adriana menyebut pembangunan dan otonomi khusus (otsus) di Papua belum menyentuh faktor non-fisik. Sejumlah kebijakan, katanya, hanya menyentuh soal fisik dan infrastruktur.
Menurutnya, ada empat hal yang menjadi akar kekerasan di Papua. Yakni, pelanggaran HAM, kebijakan politik pertanahan terkait tanah ulayat yang masih mengedepankan investasi, pembenahan aparat keamanan, dan pembenahan intelijen.
Saat ini, kata
Elisabeth, pemerintah mestinya tetap mengedepankan cara-cara dialogis untuk
mengatasi situasi di Papua.
Menko Polhukam Mahfud
MD mengklaim pemerintah selama ini tetap melakukan pendekatan dialogis terhadap
tokoh-tokoh Papua.
"Kita berdialog terus dengan tokoh-tokohnya," ujar dia, Kamis (29/4).
Infografis Sentuhan Jokowi di Papua. (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
"Dan mereka minta agar Papua itu dibangun secara lebih komprehensif. Mereka tetap menolak tindakan separatis," lanjut Mahfud.
Ia pun mengklaim
pendekatan Pemerintah terhadap Papua tetap lewat aspek kesejahteraan.
Pemerintah hanya memberi label teroris dan melakukan penindakan hukum kepada
sebagian kecil yang melakukan aksi separatisme.
"Penyelesaian
masalah Papua dengan penyelesaian kesejahteraan, bukan dengan penyelesaian
bersenjata. Tidak ada gerakan atau tindakan bersenjata terhadap rakyat Papua,
tapi ada tindakan penegakkan hukum," dalihnya.
"Lebih dari 92
persen mereka pro-republik. Kemudian hanya ada beberapa gelintir orang yang
melakukan pemberontakan secara sembunyi-sembunyi sehingga mereka itu melakukan
gerakan separatisme yang kemudian tindakan-tindakannya merupakan gerakan
terorisme," jelas Mahfud. *** cnnindonesia.com
(thr/arh)