ilustrasi |
Setahun terakhir merupakan salah satu masa yang berat bagi para pekerja.
Pembatasan mobilitas dan aktivitas akibat pandemi Covid-19 menyebabkan banyak
bisnis yang tutup dan sebagian pekerja kehilangan sumber mata pencaharian
utamanya. Walaupun akhir-akhir ini tren work from home (WFH) menjadi
populer dan banyak diterapkan di berbagai sektor perekonomian, hal itu tidak
dapat dinikmati semua pihak. Dapat bekerja dari rumah dan menerima gaji penuh
merupakan sebuah privilege yang hanya dirasakan beberapa kelompok
masyarakat.
Nasib
Buruh
Menurut catatan Badan
Pusat Statistik (BPS), Covid-19 memberikan dampak terhadap 14,28% penduduk usia
kerja, atau 29,12 juta orang dari total populasi 203,97 juta. Angka ini terdiri
dari 2,56 juta orang yang menganggur, 0,76 juta orang bukan angkatan kerja
(BAK), 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja, dan 24,03 juta orang yang
mengalami pengurangan jam kerja; semuanya dikarenakan pandemi. Tidak
mengherankan jika kemudian tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mengalami
peningkatan dari 5,23% (Agustus 2019) menjadi 7,07% (Agustus 2020).
Selain meningkatnya
jumlah pengangguran, struktur lapangan pekerjaan juga mengalami perubahan. Di
antara berbagai sektor yang mengalami stagnansi atau bahkan terkontraksi,
jumlah pekerja di sektor pertanian dan perdagangan mengalami pertumbuhan
positif. Proporsi pekerja di pertanian mengalami peningkatan 2,23%. Hal ini
wajar mengingat pertanian umumnya bersifat informal dan tidak memerlukan
kualifikasi pekerja yang terlalu tinggi sehingga akomodatif terhadap penyerapan
tenaga kerja.
Perubahan struktur
pekerjaan juga terlihat berdasarkan status pekerjaan. Perubahan paling
signifikan terjadi pada proporsi buruh/karyawan/pegawai yang turun 4,28%.
Disinyalir mereka beralih ke pekerjaan informal (berusaha sendiri, berusaha
dibantu buruh tidak tetap, pekerja tidak dibayar, dan pekerja bebas) yang
secara total mengalami peningkatan proporsi pekerja sebesar 4,6%.
Di tengah perubahan
struktur ketenagakerjaan, bagaimana dengan kesejahteraan para buruh? Bagai
peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, itulah nasib sebagian buruh di tengah
pandemi Covid-19. Berbagai lapangan usaha yang terpukul pandemi terpaksa
memotong upah pekerja. Survei Angkatan Kerja Nasional per Agustus 2020 oleh BPS
merilis bahwa rata-rata upah buruh turun 5,20 persen menjadi Rp2,76 juta per
bulan. Pada Agustus 2019 rata-rata upah buruh Rp2,91 juta per bulan.
Besar kecilnya
perubahan upah buruh ini bervariasi di tiap daerah, namun dapat dipastikan
bahwa hampir setiap provinsi mengalami penurunan upah. Provinsi dengan
penurunan upah buruh tertinggi adalah Bali sebesar 17,91%, disusul Kepulauan Bangka
Belitung sebesar 16,98% dan Nusa Tenggara Barat sebesar 8,95%. Sementara itu,
provinsi besar seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, upah buruhnya
turun masing-masing sebesar 7,48%, 4,77%, dan 3,87%.
Fenomena perubahan upah
buruh juga bervariasi berdasarkan lapangan usaha. Anjuran untuk tetap berada di
rumah demi menghindari penyebaran virus telah mengubah pola konsumsi
masyarakat, khususnya untuk perhotelan dan restoran. Tingkat okupansi hotel
menurun, demikian pula dengan restoran. Kondisi yang tidak ideal bagi
operasional usaha perhotelan dan restoran tersebut kemudian berujung pada
sejumlah langkah efisiensi, seperti merumahkan pegawai, pemotongan upah, atau
bahkan PHK. Sehingga tidak mengherankan ketika upah buruh di sektor penyediaan akomodasi
dan makan minum sangat terdampak pandemi, yakni mengalami penurunan 17,28%.
Pada 2021 menyusul
pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi 2,07% dan pemberlakuan UU Cipta Kerja,
Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan tidak ada kenaikan upah minimum berdasarkan
pertimbangan dampak ekonomi pandemi Covid-19. Pemerintah berusaha menciptakan
iklim investasi yang menarik bagi para investor, yang mana kemudian diharapkan
membawa efek domino penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di masa
pandemi. Namun, branding tenaga kerja murah tidak seharusnya dijadikan daya
tarik. Selain berpotensi mengabaikan kesejahteraan pekerja, pasar tenaga kerja
yang melimpah tanpa dibarengi keterampilan yang mumpuni hanya akan menghasilkan
produktivitas rendah dan tidak menarik bagi investor.
Peran Pemerintah
Dalam kegiatan
perekonomian yang melibatkan pengusaha dan pekerjanya, kerap kali terjadi
konflik karena perbedaan pendapat dan kepentingan kedua belah pihak. Dari sisi
pekerja dipastikan mereka mengharapkan dan mendesak upah untuk dinaikkan. Di
sisi lain pengusaha berharap upah tidak naik atau tetap. Masing-masing pihak
mempunyai argumentasi yang kuat untuk mendukung usulannya.
Terlebih lagi setelah
terbit Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang pelaksanaan
Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19 yang
memungkinkan sebagian perusahaan melakukan penyesuaian upah pekerja.
Penyesuaian upah harus dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha
dengan pekerja, akan tetapi proses negosiasi dan diskusi tidaklah mudah. Oleh
karena itu, sengketa antara buruh dan pengusaha, atau yang biasa disebut
perselisihan hubungan industrial, sangat membutuhkan penengah yang mampu
mengawasi penyelesaian masalah. Di sinilah pemerintah berperan sebagai mediator
untuk mengakomodasi dua kepentingan yang bertolak belakang dan menjamin
timbulnya keadilan serta kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan dan pemerintah daerah setempat, harus
mengawasi secara ketat dan mendengarkan aspirasi para pekerja karena posisi
pekerja dipandang cukup lemah dalam penetapan upah.
Bagaimanapun
kesejahteraan buruh berkontribusi dalam mendorong pemulihan ekonomi Indonesia
di tengah pandemi. Hampir setengah dari penduduk berusia 15 tahun ke atas
merupakan pekerja, baik sebagai pekerja formal maupun informal. Daya beli yang
memadai akan menciptakan pasar permintaan dan penawaran sehingga konsumsi
meningkat dan perekonomian tetap berjalan. Selamat Hari Buruh 1 Mei 2021
Salam dari Penimba Inspirasi Jalan Setapak Rai Numbei