Maka kemudian, tak sedikit masyarakat utamanya kaum
muda yang berbondong-bondong merangsek pada profesi yang sebelumnya tak pernah
menjadi pilihannya, yakni pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Kavling ini sekarang lagi booming diperebutkan, bahkan sampai inden kepada
kepala-kepala institusi yang menaunginya.
Termasuk bejubelnya anak-anak pejabat yang
dititipkan pada kawan, kenalan dan atau bos yang bekerja pada lembaga
pemerintah. Memang, sejak beberapa tahun lalu pemerintah menghentikan penerimaan
pegawai honorer di lembaga pemerintah, dan membuka kesempatan bagi daerah yang
punya kemampuan untuk menerima pegawai berhonor ini.
Diakui atau tidak, rentang 20 tahun ke belakang
pegawai honor hampir tak dilirik masyarakat, karena gajinya kecil dan dianggap
tak memberi garansi masa depan. Selain itu, banyak pula mereka yang berebut
menjadi pegawai honorer ini hanya sebatas status atau asal bekerja atau asal
setiap hari bisa keluar rumah dan tak menjadi bahan pergunjingan tetangga,
sehingga meskipun berposisi kerja pada level terbawah sekalipun bergaji rendah
tetap dijalani dengan riang. Di sini sulit membedakan antara profesi yang hanya
dengan keterpaksaan atau pekerjaan yang berbasis keterpanggilan.
Waktu terus bergulir, sering kali kita jumpai
kawan-kawan honorer ini bekerja belum sepenuhnya relevan dengan pengalaman
maupun latar belakang keilmuan yang digenggam. Kadang lulusan sarjana pertanian
mengurusi surat-menyurat atau tamatan sarjana hukum bekerja hanya tak lebih
sebagai tukang ketik atau tukang baca di kantornya. Jadi, masih ketaksesuaian
ijazah dan praktik kerja. Tapi mau bagaimana lagi, mereka ini butuh pekerjaan
dan tidak ingin menciderai kebahagiaan keluarganya.
Jika kemudian proses waktu berjalan, maka semakin
banyak pegawai honorer ini yang berubah nasibnya, setelah dirinya dinyatakan
lolos dan diterimakan SK PPPK dana tau SK CPNS. Ada yang kemudian statusnya
beralih menjadi PPPK bahkan tak sedikit yang menyandang status sebagai PNS, meskipun
keduanya menjadi bagian ASN di negeri ini. Mereka ini bukannya kapok atau
enggan berganti haluan keluar dari pegawai honorer dengan iming-iming sebagai
PPPK, meski gerbong mereka yang lulus tes PPPK harus bersabar menunggu SK PPPK
nya hingga tak kurang 2 tahun.
Banyak jalan menuju Roma, dan manusia wajib berusaha
jika ingin mengubah nasibnya. Diakui atau tidak, masih ribuan jumlah pegawai
honorer kita yang masih bermimpi menjadi PPPK maupun PNS. Bahkan kala
pemerintah mengumumkan ada rekrutmen pada kedua klasifikasi pegawai tersebut,
tak heran jumlahnya terus membengkak. Apalagi, di tengah musim pandemi COVID-19
yang masih jauh dari kata selesai. Pusaran itu membuat semuanya bergejolak,
termasuk dalam memperoleh, mencari atau menciptakan pekerjaan. Semuanya sedang
diuji untuk lebih disiplin, tekun dan bersemangat dan tetap berpengharapan
dengan segala double effort. Semuanya sederhana dalam menyikapi agar tidak
ditindas kemurungan COVID-19 dengan cara bekerja dan beroleh pendapatan.
Status PPPK kini menjadi seksi di tengah pengapnya
pandemi. Betapa tidak. Jika dulu atau kemarin, hanya sebagian kelompok saja
yang punya keinginan dan berteriak menuntut diterima langsung menjadi PPPK,
seperti kaukus guru honorer, baik yang sedang berjuang di pedalaman, pelosok,
pesisir, pegunungan, lembah bahkan di tengah bara konflik.
Mengabdi
Kini pada aras lain, semacam pegawai kantor
pemerintah (non guru), seperti Satpol PP pun bergemuruh menuntut pemerintah
bisa terlibat tes PPPK atau menghadiahi mereka dengan status PPPK (langsung).
Bahkan belakangan, Menteri Desa PDTT, Halim Iskandar juga bakal memperjuangkan
para pendamping desa menjadi PPPK. Hari ini Guru, Satpol, pendamping desa
pengin menjadi PPPK, besok siapa lagi?
PPPK sementara ini di atas angin, karena gaji dan tunjangan
maupun fasilitas lain setara dengan PNS, cuma beda kala menjejaki masa
paripurna tugas atau pensiun. Mereka yang berstatus PPPK tanpa beroleh uang
pensiun setiap bulan seperti halnya para PNS bahkan isunya pensiunan PNS akan
mendapatkan angka gaji pensiun lebih tinggi ketimbang yang diterima sekarang.
Inilah bagian angin surga bagi masyarakat, khususnya kaum milenial yang berburu
PPPK atau PNS atau kalau mereka mau jujur, mereka yang menindas cita-citanya
sendiri, misalnya menjadi eksekutif muda yang tak kesampaian, atau menjadi
TNI/Polri atau ASN yang teraborsi di jalan, atau hanyalah sekadar tempat
transit sesaat sebelum memutuskan masa depannya secara definitif, dll.
Menjadi Bagong, berpofesi buruh, bekerja sebagai
pegawai honorer, berprofesi sebagai PPPK maupun dipercaya menjadi PNS, semua
tidak gampang. Semua bisa ditelaah zaman ketika segala tuntutan mengarah pada
profesional. Profesional tentu saja butuh daya kreasi dan inovasi yang akan
memberi daya hidup bagi survive-nya seseorang dalam merawat masa depannya.
Itulah kemudian, menjadi tugas kita bagaimana
meralat capaian-capaian selama ini berganti dengan perolehan prestasi yang jauh
lebih baik. Itu semua kita yakini akan memberi daya hidup yang jauh lebih
bercahaya ketimbang hanya menggerutu, diam, dan menyalahkan orang lain. Apalagi
hanya bisa iri atas keberhasilan orang lain, karena iri tanda tak mampu. Ada
baiknya terus belajar, berjuang dan mewakafkan diri pada cita-cita luhur kita.
Mengabdi PPPK atau PPPK mengabdi. Silakan berburu.
Inspirasi Jalan Setapak
Kamis, 17 Mei 2021