Panas terik menyengat siang itu. Pria tua mengayuh
sepedanya tergesa-gesa. Klontang-klonteng barang rongsokan yang diikat di
belakang sepedanya mengirama sepanjang gang sempit berbatu yang dilaluinya.
Irama khas siang hari yang belasan tahun didengar warga Dusun Dempo, sebagai
pertanda dhuhur telah tiba… Yap, Pria pemulung itu memang rutin mengejar dhuhur
berlarian dengan waktu untuk sampai ke rumah, berganti pakaian, berwudhu dan
segera menyambung shaff sholat di mushola dekat rumahnya.
Dia adalah Sudiyo. Pria 65 tahun itu tinggal di
Dukuh Dempo. Mbah Sudiyo sapaannya, bekerja sebagai pemulung yang ramah dan
mudah menolong tetangganya kendati hidupnya serba pas-pasan. Pas untuk makan,
pas untuk biaya tambahan pendidikan cucu-cucunya juga pas untuk bersedekah di
hari itu.
“Pak, semen-semen, pasir-pasir menumpuk di belakang
rumah itu untuk apa tho Pak?” Tanya istri mbah Sudiyo sambil membuatkan
secangkir kopi untuk suaminya. 45 tahun bertarung hidup bersama, sang istri
hapal betul kebiasaan Mbah Sudiyo.
“Nanti kan tau tho Bu…” Jawaban singkat mbah Sudiyo mampu
mendiamkan istrinya untuk tidak menyambung pertanyaan lain.
Investigasi: Belenggu Prostitusi di Kamar Apartemen Green Pramuka City
Derita Pramuria, (Sajak Akar Rumput), Puisi Musikalisasi Fenomena Prostitusi di kota Metropolitan
***
Bruuuukkk… Bruuuukkk… Di bawah terik sinar matahari,
tampak seorang pria tua sedang menurunkan dua karung semen dari becaknya, di
jalan Dusun Dempo. Becak yang berisi barang-barang rongsokan miliknya itu
sengaja diparkir menutup separuh badan jalan agar tidak ada yang mengganggu
aktivitasnya.
Mengenakan celana pendek dan baju lengan pendek,
sepertinya mbah Sudiyo telah terbiasa dengan panasnya sinar matahari. Hanya
sebuah caping yang melindungi kepalanya.
Seorang diri, ia mengaduk semen dan pasir dengan
campuran air yang dia ambil dari sawah. Adonan semen itu kemudian dia tuangkan
ke dalam lubang-lubang jalan sedalam 10 cm.
Inilah jawaban mengapa berbulan-bulan mbah Sudiyo
mengumpulkan semen dan pasir di belakang rumahnya. Meski penghasilannya tidak
seberapa, mbah Sudiyo selalu menyisihkan sebagian uang untuk membeli semen.
Semen tersebut ternyata ia gunakan untuk menambal jalan yang berlubang. “Kalau
semen, saya beli sendiri. Nanti pasirnya minta sisa-sisa di rumah orang yang
sedang membangun. Kadang dikasih, kadang tidak dikasih,” kata mbah Sudiyo
ketika ditanya salah satu warga setempat.
Penghasilan bersih mbah Sudiyo sebenarnya hanya
sekitar kurang lebih Rp 100 ribu untuk satu minggu. Dalam lima sampai enam
hari. Dia berkeliling mengumpulkan barang-barang rongsokan. Setelah terkumpul,
rongsokan itu ia jual. Kalau beruntung bisa dapat Rp 150 ribu penghasilan bersihnya.
Niatnya memperbaiki jalan rusak berawal dari
pengalamannya yang pernah jatuh terperosok akibat jalan berlubang. Mbah Sudiyo
berebut jalan dengan kendaraan lain. Karena mbah Sudiyo hanya mengendarai
sepeda ontel akhirnya ia mengalah, tapi ternyata jalan yang dilaluinya
berlubang. Lubangnya lumayan besar… Ban sepedanya pecah sampai membentuk angka
8. Untunglah barang rongsoknya sudah diikat kencang, jadi tidak jatuh. Luka
akibat terjatuh menghantam lubang jalan, lumayan parah, beberapa hari mbah Sudiyo
tidak memulung karena kaki dan lututnya bengkak. Lebih tragis lagi, setelah
mbah Sudiyo terjatuh, tetangganya pun menjadi korban. Terjatuh di tempat yang
sama, bahkan hingga kakinya patah.
Peristiwa itu terjadi pada 2015. Semenjak itu,
Sudiyo berjanji kepada dirinya untuk menambal sendiri jalan berlubang itu.
Karena menunggu janji pemerintah untuk memperbaiki jalan tidak pernah kunjung
tiba, entah alasan apa lagi mbah Sudiyo lelah untuk menanyakannya. Mau bertemu
walikota saja prosedurnya rumit, padahal hanya menanyakan bantuan sak semen.
Mbah Sudiyo dengan ketulusannya, tanpa sama sekali
dibayar oleh pihak mana pun rela untuk menambal jalan berlubang. “Saya niatkan
untuk ibadah Bu, jangan ditanya lagi, jangan dihalangi…” Kata Sudiyo pada
istrinya, agar istrinya tidak bertanya lagi tentang niat baiknya. Walaupun
wajar bila istrinya bertanya, karena orang seperti mbah Sudiyo hanya satu
banding seribu di zaman seperti sekarang, zaman yang serba berpamrih.
Di bawah terik matahari mbah Sudiyo masih
bertemankan pasir dan semen. Memoles jalan menutupi lubang-lubang jalan…
Tiba-tiba…
“Pak, saya Ingin membantu… Apa ini proyek dari Dinas
Pekerjaan Umum? Dibayar berapa kita Pak?” Tanya salah satu warga yang lewat.
Tapi begitu tahu itu bukan proyek pemerintah, warga itu pun pergi. Mbah Sudiyo
hanya menghela nafas. Sudah biasa… Ia pun kembali pada aktifitas sosialnya.
Lihat Juga:
Filosofi Berkebun: Semakin Kita Meneguknya, Semakin Kita Haus
Rombongan Mobil Presiden Jokowi Terjang Banjir Sebetis Orang Dewasa di Kalimantan Selatan
Antara "memilih dan dipilih" atas nama cinta
***
“Saya ini memang miskin. Tapi batin saya tidak
miskin, Bu,” kata mbah Sudiyo sore itu duduk depan rumah bersama istrinya. Hari
ini tentunya sangat melelahkan, karena pagi sampai siang mbah Sudiyo memulung
dan siang hingga sore is menambal jalan berlubang.
“Iya Pak saya gak nanya kok, saya hanya Ingin
menyampaikan berita gembira,” kata istrinya berbinar.
“Kabar gembira apa tho Bu?” Mbah Sudiyo penasaran
dibuatnya.
“Beberapa minggu lalu, Bapak kan menulis surat ke
lembaga zakat tho… Nah alhamdulillah ini hasilnya dititipkan ke Ibu,” istri
mbah Sudiyo ikut bahagia memberikan amplop titipan lembaga zakat di kotanya.
Mbah Sudiyo menerima dan membuka amplop itu
tergesa-gesa tak sabar… “MasyaAllah Bu… Alhamdulillah Bu… Ini rezeki yang tidak
di sangka-sangka… Jarang ada lembaga zakat yang cepat jawab Bu… Ya Allah…” Mbah
Sudiyo memegang tangan istrinya yang keriput… Istri satu-satunya yang setia
menemani sepanjang hidupnya.
Air matanya menetes, cita-cita menambal jalan-jalan
berlubang di kampungnya sekaligus memperbaiki mushola dekat rumah akan segera
terwujud… Bayangannya menari-nari, seolah-olah ia melihat dirinya sendiri
sedang mengaduk semen, menambal jalanan berlubang dengan wajah tersenyum cerah…
Sungguh kebahagiaan yang tidak terbayangkan olehnya… Seorang pemulung yang
sederhana tapi memiliki ketulusan, harapan dan cita-cita yang besar,
mengajarkan kita bagaimana berkorban untuk kepentingan orang lain di atas
kepentingan pribadi dan keluarganya.
Angin berhempus pelan-pelan, senja menyentuh bumi
tempat jutaan manusia berpijak. Azan magrib segera terdengar, bergegas suami
istri itu mengambil air wudhu dan berjalan ke mushola dekat rumah, mushola yang
sebentar lagi tidak akan kebocoran kalau kehujanan, tak remang-remang lagi saat
sholat maqrib dan isya datang.
Gurat merah semakin meninggalkan langit, malam telah
berganti. Hati mbah Sudiyo bergelora… Tak sabar menunggu datangnya pagi hari…
Oleh : Muthi’ Masfu’ah ‘Ma’ruf’ *)
*) Penulis adalah Koordinator Literasi Kaltim dan
Devisi Pengembangan Wilayah Literasi Pusat Jakarta, Mantan Ketua FLP Kaltim dan
baru menulis 20 buku. Pembina Ekskul Menulis Dan Menggambar di SDIT Asy Syaamil
Dan SDIT Cahaya Fikri Bontang.
Artikel ini diambil dari:
http://www.ayolebihbaik.com/setulus-hati-mbah-sadiyo/