Etika dan Moralitas dalam Hubungan Kerja (Secarik Kertas Reflektif Lingkungan Kantor yang Ideal)

Etika dan Moralitas dalam Hubungan Kerja (Secarik Kertas Reflektif Lingkungan Kantor yang Ideal)



“Moralitas Di Tempat Kerja Berarti Mampu Berperilaku Dan Bermoral Sesuai Standar Etika Yang Dimiliki Perusahaan, Serta Selalu Bertindak Melalui Integritas Pribadi Yang Tinggi Buat Menjaga Kejujuran Yang Bermoral Di Tempat Kerja.”~ Djajendra


Etika dan moralitas haruslah menjadi sebuah perilaku, pilihan hidup, kepribadian, dan karakter yang dapat diperlihatkan dalam rutinitas hubungan kerja sehari-hari di kantor. Implementasi moralitas dan etika di tempat kerja akan memperkuat integritas pribadi, untuk memahami apa yang baik dan apa yang tidak baik dalam satu persepsi.


Moralitas di tempat kerja berarti mengacu pada standar moral dalam wujud perilaku, yang biasanya tidak tertulis, tapi merupakan hasil akhir dari pikiran positif terhadap etos kerja di perusahaan. Sedangkan etika mengacu pada pedoman formal yang dijadikan sebagai standar untuk berperilaku di tempat kerja. Baik etika maupun moralitas membutuhkan integritas pribadi yang sangat tinggi untuk dapat menjalankan etika dan moralitas dengan sempurna.


Etika dan moralitas selalu menjadi landasan yang kuat dalam membangun hubungan kerja yang harmonis, dan juga menjadi kekuatan untuk membangun keyakinan dalam menyelesaikan konflik di tempat kerja.


Etika dan moralitas selalu bekerja dengan akal yang paling sehat dan paling jujur, sehingga setiap persoalan dapat diselesaikan melalui hati nurani yang paling bersih.


Pedoman etika di perusahaan dibuat untuk menggambarkan bagaimana orang harus berperilaku dan menjaga standar moral yang diinginkan oleh perusahaan. Setiap karyawan dan pimpinan harus memahami dengan keyakinan total terhadap nilai-nilai, norma-norma, dan prinsip-prinsip moral yang ada di dalam pedoman etika perusahaan. Jadi, pedoman atau panduan etika kerja dan etika bisnis di perusahaan harus menjadi dasar terbaik untuk memperlihatkan moralitas kerja yang berkualitas, dan juga menjadi alat yang ampuh untuk memperlihatkan perilaku moral yang tepat di tempat kerja.


Fitur penting dari moralitas dan etika adalah dia harus berfungsi sebagai panduan bagi tindakan karyawan, pimpinan, dan setiap stakeholder di tempat kerja dalam koridor adil, terbuka, dan penuh tanggung jawab.


Tanpa moralitas dan etika, maka setiap perilaku kerja sangat berpotensi untuk menjadi tidak jujur dalam kepentingan masing-masing pihak. Bila setiap pihak di tempat kerja berlomba-lomba untuk memikirkan kepentingannya masing-masing, dan mengabaikan kepentingan dari visi dan misi perusahaan, maka dalam waktu singkat perusahaan akan menjadi tidak efektif, dan secara perlahan-lahan kinerja perusahaan akan meredup.

 

Moral ditinjau dari motivasi dalam pekerjaan


Seseorang bekerja karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana kebutuhan dasar manusia itu banyak ragamnya. Menurut Maslow dalam Mar”at kebutuhan dasar manusia ini ada beberapa tingkatan :

1)     Kebutuhan fisik (physical needs) yang meliputi kebutuhan sehari-hari untuk makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, berrumahtangga dan sejenisnya.

2)     Kebutuhan keamanan (safety needs) yang meliputi kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari ancaman-ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya.

3)     Kebutuhan Sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk disukai dan menyukai, dicintai dan mencintai, bergaul, bermasyarakat dan sejenisnya.

4)     Kebutuhan pengakuan (the needs of esteems) adalah kebutuhan untuk memperoleh kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan.

5)     Kebutuhan mengaktualisasikan diri .(the needs for self actualization) adalah kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman dan kemasyhuran sebagai orang yang memiliki kemampuan dan keberhasilan dalam mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa.


Selain itu dalam melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan yang bersifat sadar, seseorang selalu didorong oleh maksud atau motif tertentu, baik yang obyektif maupun subyektif. Motif atau dorongan dalam melakukan sesuatu pekerjaan itu sangat besar pengaruhnya terhadap moral kerja dan hasil kerja. Seseorang bersedia melakukan sesuatu pekerjaan bilamana motif yang mendorongnya cukup kuat yang pada dasarnya tidak mendapat saingan atau tantangan dari motif lain yang berlawanan. Demikian pula sebaliknya orang lain yang tidak didorong oleh motif yang kuat akan meninggalkan atau sekurang-kurangnya tidak bergairah dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Semua faktor yang telah disebutkan di atas pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk motif yang mendorong seseorang melakukan pekerjaannya secara bersunguh-sungguh.


Dalam hubungan itu dapat dibedakan dua jenis motif yakni :

1.      Motif intrinsik, yakni dorongan yang terdapat dalam pekerjaan yang dilakukan. Misalnya : bekerja karena pekerjaan itu sesuai dengan bakat dan minat, dapat diselesaikan dengan baik karena memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menyelesaikannya dan lain-lain.

2.      Motif ekstrinsik, yakni dorongan yang berasal dari luar pekerjaan yang sedang dilakukan. Misalnya : bekerja karena upah atau gaji yang tinggi mempertahankan kedudukan yang baik, merasa mulia karena pengabdian dan sebagainya.

 

Hubungan Moral Kerja dan Produktivitas

Harrison menjelaskan bahwa semenjak moral dilibatkan kedalam sikap-sikap karyawan, adalah penting untuk meninjau akibat dari moral tinggi (dipersepsi dengan kepuasan tinggi) dan moral rendah (persepsi kepuasan rendah).Drafke & Kossendalam Harrissonmengatakan bahwa hubungan langsung antara moral kerja dan produktivitas adalah moral yang tinggi akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Demikian pula jika moral rendah akan mengurangi produktivitas. Sedangkan Gellerman (dalam Harrison) meringkaskan berbagai penelitian yang dipublikasikan mengenai efek moral kerja terhadap produktivitas sebagai berikut:Dari seluruh survey yang dilaporkan, 54% menunjukkan bahwa moral yang tinggi berkaitan dengan produktivitas yang tinggi; sementara 35% lainnya menunjukkan bahwa moral tidak berhubungan dengan produktivitas; dan 11% lainnya menyebutkan moral tinggi berhubungan dengan produktivitas yang rendah. Hubungan itu tidak mutlak, tetapi terdapat cukup banyak data yang mendukung bahwa memberi perhatian pada karyawan berpengaruh terhadap meningkatnya keluaran karyawan. Korelasi yang rendah itu berarti bahwa selain sikap kerja tentu banyak faktor lainnya yang juga mempengaruhi produktivitas.


Selanjutnya Harrison mengatakan bahwa kemungkinan gejala hubungan antara produktivitas dengan tingkat moral harus dipertimbangkan dari tiga persepsi yang mempengaruhi tingkat moral seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu:


a)     Persepsi karyawan terhadap keadaan organisasi yang tidak dapat dikendalikannya, seperti pengawasan, kerja sama dengan rekan sekerja, dan kebijakan organisasi terhadap pekerja. Bila faktor tersebut dipandang menyenangkan bagi karyawan, moral kerja akan cenderung tinggi


b)     Persepsi karyawan terhadap tingkat kepuasan yang diperoleh dari imbalan yang diterima


c)     Persepsi karyawan terhadap kemungkinan untuk mendapatkan imbalan dan masa depan serta kesempatan untuk maju.


Penutup

Bedasarkan kajian teori diatas menjelaskan bahwa apabila persepsi mengarah pada keadaan moral tinggi, efek positif lain akan dihasilkan, dan semua aktivitas dilakukan secara sukarela. Dengan moral tinggi, pegawai cenderung menunjukkan kemauan untuk dibawa kerjasama, lebih puas dengan kondisi yang ada, mau mematuhi peraturan, berhati-hati dalam menggunakan peralatan milik perusahaan, menunjukkan loyalitas dan hormat terhadap perusahaan, dapat bekerjasama dengan harmonis, dan bekerja tanpa keluhan. Moral tinggi juga cenderung mengurangi absen, mangkir dan pergantian pegawai. Dan tentu saja sebaliknya jika moral rendah, maka berbagai efek kebalikan dari hal di atas akan terjadi.


Pemeliharaan moral kerja yang tinggi harus dianggap sebagai tanggung jawab manajemen yang permanen, karena sekali moral kerja merosot, maka dibutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya kembali. Moral kerja yang jelek dapat menimbulkan pemogokan, pemerkerjaan karyawan yang berlebihan, kepurapuraan, dan berbagai reaksi lainnya. Selanjutnya moral kerja yang rendah dapat mempunyai akibat jangka panjang dan jauh lebih merusak organisasi dari pada hilangnya produktivitas temporal. Bakat manajerial dan profesional kiranya akan jauh lebih berkembang bila moral kerja dipertahankan pada suatu tingkat yang tinggi, dan gambaran yang diberikan perusahaan terhadap karyawan baru yang prospektif dapat sangat menunjang kondisi moral kerja intern secara luas. Oleh karena itu perlu untuk terus menerus menganalisa kekuatan yang mempengaruhi moral kerja dan mengambil langkah-langkah yang tepat guna memeliharanya sebelum muncul tindakan negatip yang lebih serius.

 

Frederick Mau
Setapak Rai Numbei


D"Numb Park
Rabu, 28 Juli 2021
Inspirasi Semak Berduri di Pinggiran Jalan Setapak


Daftar Refrensi:

Harrison Rosemary.1993. Human Resource Management. Issues and Strategies. Wokingham, England. Adison-Wesley. Pub. Co


H. Syarief. 1997. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jakarta: Internesa


H.A.R. Tilaar. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya.


M. Armstrong. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia


Mar’at. 1982. Sikap Manusia Perubahan dan Pengukurannya. Indonesia: Galia

 




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama