Jika dibandingkan zat
lain yang ada dimuka bumi ini, air adalah benda yang tidak pernah habis karena
mengalami siklus yang spesifik dari cair bisa menjadi padat atau gas dan bisa
mencair kembali. Sehingga air adalah benda yang seolah –olah ‘abadi’ di muka
bumi ini. Benda lain yang memiliki sifat liquid (cair) misalnya minyak bumi.
Benda itu tidak mengalami siklus dan tidak bisa diperbaharui. Sekali benda itu
digunakan, maka akan menyisakan carbon dan tidak memungkinkan kembali menjadi
minyak lagi. Sedangkan untuk memperoleh air, kita tidak perlu melakukan
eksplorasi. Kita cukup pergi ke sungai atau telaga akan melihat air yang
melimpah. Di musim penghujan bahkan air tercurah dari langit begitu saja.
Air adalah benda yang
paling memberi manfaat kepada kehidupan dan hanya ada di planet bumi. Dari
sekian ratus juta planet yang ada di galaxy Bima Sakti, sampai saat ini air
baru diketahui hanya berada di planet bumi. Oleh karena itu air merupakan
simbul dari kehidupan. Artinya, kehidupan segala mahluk hidup dimuka bumi ini
tergantung pada air. Namun cara memanfaatkan air bagi kehidupannya, antara
manusia dan mahluk lainnya berbeda. Jika ikan gabus bisa hidup di dalam
kubangan air yang kotor, ternyata manusia tidak. Manusia harus memprosesnya
untuk memanfaatkannya karena manusia mengetahui, bahwa air bisa melarutkan
segalam macam zat yang tidak mungkin dikonsumsi manusia.
Lantas apa yang menarik
dari air jika dibahas setelah mengetahui eksistensi air menurut sains dan
kesehatan bagi manusia? Tampaknya, pertanyaan ini akan membawa pikiran kita
tentang air yang semula memahami sesuai sifat kimiawinya menuju pemahaman
tentang air dalam kaitannya dengan makna simboliknya. Makna simbolik itu adalah
makna yang hanya bisa ditangkap oleh akal budi yang tidak membutuhkan riset di
laboratorium. Makna simbolik akan dapat dihayati saat merenungkan keberadaannya
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengapa air diciptakan Tuhan sedemikian
melimpah sebagaimana udara (oksigen) yang juga melimpah ruah oleh Tuhan?
Mengapa Tuhan tidak menciptakan makanan (padi) sebagai mana air yang tinggal
mengambil di danau atau sungai ? Itulah kira-kira salah satu cara manusia
berkontemplasi untuk memperoleh makna terhadap apa yang dilihat atau
dirasakannya.
Kita tentu akan
kesulitan menjawabnya, mengapa Tuhan tidak menciptakan makanan yang melimpah
dan tinggal mengambil di sungai atau tercurah dari langit begitu saja seperti
air? Sulitnya mencari jawaban yang pasti sebagaimana sains itulah yang akan
menuntun kesadaran manusia, bahwa penciptaaan alam semesta dan seisinya ini
tidak ngawur (acak). Bahkan Fisikawan abad 20 yang paling tersohor Albert
Einstein pernah berucap, bahwa Tuhan tidak bermain dadu dengan penciptaannya.
Dengan kata lain, Tuhan merencanakan segala sesuatu atas segala ciptaannya
hingga sedetail-detailnya. Sedangkan kaum atheis (agnostic) mengatakan, bahwa
penciptaan ini kebetulan belaka.
Saya membayangkan,
seandainya Tuhan juga menciptakan makanan sebagaimana air yang tinggal
mengambil di danau kapan saja, tentu kreatifitas manusia tidak akan terpicu dan
peradaban akan stagnan karena kecerdasan manusia tidak berkembang. Dan
ternyata, Tuhan mentakdirkan manusia harus menghargai air dan mengelolanya
untuk bercocok tanam demi memperoleh makanan. Bahkan di abad 21 ini, manusia
tidak hanya dituntut lebih cerdas dalam mengelola air karena populasi terus
meningkat. Sebab air juga bisa menimbulkan malapetaka yang besar jika tidak
dikelola dengan baik seperti pernah terjadi dalam kisah Nabi Nuh, atau
menenggelamkan Fir’aun dalam kisah Nabi Musa.