*** Inspirasi Jalan Setapak Akar Rumput
Pengantar
Kalaupun ada entah kata,
perbuatan, perasaan ataupun pemikiran yang tak pernah berhenti dipikirkan
manusia dari masa ke masa, tak lain dan tak bukan tentulah CINTA. Cinta menjadi
begitu serius dan mendalam ketika manusia mencoba untuk mengurai setiap
bagiannya. Namun demikian, Cinta menjadi begitu lucu dan menggembirakan ketika
manusia mencoba untuk bersentuhan dan menari bersamanya. Entahlah. Cinta
memasuki segala jenis manusia dan semua problematikanya.
Dalam
tebak-tebakan konyol tentang siapakah yang lebih dulu diciptakan:
atau orang tua atau bayi, terkandung suatu fenomen kecil bahwa entah bayi
ataupun orang tua, keduanya diawali dengan Cinta. Karena Cinta maka bayi lahir.
Karena Cinta maka suami-isteri dipersatukan. “Orang tua” adalah buah dari
persatuan suami-isteri dan “bayi/anak” adalah buah dari Cinta orang tua. Maka
siapakah yang lebih dulu ada, atau orang tua atau bayi? Tanyakan pada Sang
Cinta yang menjadikan mereka ada.
Dari segala macam
pengalaman persentuhannya dengan Cinta, manusia kemudian mencoba untuk mencari
apa itu Cinta, dari mana ia berasal dan ke mana ia pergi. Para musisi
menjelaskan arti Cinta lewat syair-syair lagu dan musik mereka. Para penggubah
puisi menjelaskan arti Cinta lewat jalinan kata-kata indah. Para pemahat
menorehkan Cinta lewat hasil karya seni pahatnya. Para pendaki gunung merasa
menemukan Cinta ketika mereka berjalan setapak demi setapak mendaki
gunung-gunung. Para sufi menemukan cinta dalam keheningan dan meditasi mereka
tentang kehidupan. Lantas dimanakah dan apakah Cinta di tengah segala macam
keberagamannya ini?
Cinta Plato
Bagi Plato, Cinta
adalah sebuah kekuatan, sebuah penggerak bagi jiwa untuk selalu mengarah pada
Sang Idea. Di dunia, jiwa manusia adalah pengembara yang berjalan untuk kembali
kepada Sang Idea. Jiwa manusia adalah itu yang selalu terhubung pada Dunia
Idea. Jiwa manusia tak pernah berhenti mencari Sang Idea agar ia dapat kembali
ada kesatuan asalinya. Mengapa? Karena dari sanalah jiwa manusia yang abadi itu
berasal.
Kekuatan yang
menggerakkan jiwa manusia sehingga tak pernah berhenti mencari Sang Idea adalah
Cinta. Cinta tak bisa mematikan. Cinta menghidupkan. Cinta menggairahkan
jiwa-jiwa yang lelah mengembara di dunia. Dalam gairah itu, jiwa manusia
berkelana mengenali pasangan jiwanya.[1] Mengapa?
Karena konsep platonian memperkenalkan jiwa manusia sebagai satu kesatuan
asali. Itulah sebabnya ketika satu pasang manusia sedang jatuh cinta, mereka
terarah untuk menyatukan seluruh hidup mereka. Sudah pada kodratnya, menurut
Plato, manusia digerakkan oleh Cinta untuk bersatu.
Plato melihat bahwa
manusia-manusia terbaik adalah mereka yang memiliki Cinta di dalam dirinya.
Sebagaimana ia membagi fungsi jiwa manusia ke dalam 3 bagian: epithumea (nafsu makan, minum,
seks), thumos (afeksi,
rasa, semangat, agresi) dan logistikon (berpikir), Plato
mengelompokkan manusia terbaik sebagai manusia yang mencintai kebijaksanaan (philosopos).[2] Plato
meyakini bahwa Cinta yang menggerakkan manusia terbaik ini untuk mencari apa
yang terbaik bagi dirinya, yaitu kebijaksanaan. Cinta memang menggerakkan
manusia untuk menemukan hal terbaik bagi hidupnya.
Ontologi Cinta Paul Tillich
Paul Tillich melihat
Cinta pertama-tama sebagai sebuah “kekuasaan yang menggerakkan kehidupan”.[3] Cinta
menjadi semacam motor utama yang menggerakkan roda kehidupan. Kehidupan sendiri
merupakan sebuah aktualitas. Kehidupan tidak berada dalam ranah “maya”
melainkan “nyata”. Oleh Paul Tillich, frasa-frasa di atas menunjukkan bagaimana
hakekat ontologis dari Cinta. Ada (kehidupan) tidak akan menjadi aktual tanpa
Cinta yang mendorong suatu ada pada ada yang lainnya. “Ada” menjadi semacam
“Tidak Pernah Ada” tanpa Cinta.
Dalam pengalaman pribadi manusia tentang Cinta, kehidupan dapat terwujud secara hakiki. Mengapa demikian? Karena Cinta adalah penggerak utamanya. Maka roda kehidupan tanpa Cinta adalah mustahil. Relasi, yang menjadi dasar komunitas manusia, ada karena Cinta yang menggerakkan beberapa pihak untuk berkumpul. Manusia dapat menjadikan dirinya Ada dan bergerak karena ada Cinta yang mendorongnya.
Paul Tillich kemudian
melihat bahwa segala yang Ada ini pada mulanya satu di dalam Cinta.[4] Cinta adalah pengikat yang
menjadikan segala yang Ada ini satu dan utuh. Dengan demikian, hakekat dari
Cinta adalah mempersatukan apa yang pada mulanya sudah satu dan utuh. Cinta
tidak mempersatukan apa yang sejak semulanya terpisah. Artinya, Cinta bukanlah
dia yang memungut segala “benda” yang secara esensial terpisah lalu kemudian
menjadikannya satu laiknya sesuatu yang sejak awal adalah satu. Apa yang secara
esensial terpisah tak bisa dijadikan satu. Cinta hanya menyatukan apa yang
sejak awal berasal dari satu kesatuan asali.
Paul Tillich ingin
menunjukkan bahwa Cinta berproses seperti medan magnet yang menarik hanya unsur
besi yang sejak semula berasal dari kesatuan asalinya sebagai besi. Cinta itu
menarik kembali apa yang berasal dari padanya. Cinta itu memeluk apa yang sejak
semula berasal dari pelukannya. Ia tidak memeluk apa yang bukan dari dirinya.
Ontologi Cinta Paul
Tillich ini menunjukkan bahwa Cinta pada hakekatnya adalah satu, hanya sifatnya
yang beragam. Keberagaman sifat Cinta ini tidak menjadikan Cinta dalam jenis
yang berbeda. Cinta adalah satu, dari titik inilah orang pertama-tama harus
mulai memahami Cinta. Entah kemudian orang mengenal Eros, Agape, Epithymia dan
lain sebagainya, itu hanyalah sifat-sifat Cinta dilihat dari bagaimana orang
memandangnya.[5]
Ada satu bagian dari
pemikiran Paul Tillich dalam melihat fenomen “Cinta Diri” yang kerap muncul
dalam pembicaraan manusia dari masa ke masa. Benarkah konsep Cinta Diri?
Mengapa frasa ini kemudian menjadi kajian pemikiran Paul Tillich juga dalam
memahami ontologi Cinta? Pada bagian awal sudah dijelaskan bagaimana Cinta
merupakan dia yang mempersatukan apa yang sejak awal berasal dari kesatuan
asali. Karena mempersatukan, berarti ada unsur keterpisahan. Lantas ketika
manusia mengalami “Cinta Diri”, apakah ia mengalami keterpisahan dengan
dirinya? Paul kemudian memahami bahwa Cinta Diri merupakan sebatas metafora
yang tidak memiliki ruang dalam realitas.[6] Sebagai
metafora, Cinta Diri bisa diterjemahkan dalam beragam konteks.
Misteri Cinta Gabriel Marcel
Bagi Gabriel Marcel, Cinta merupakan suatu tindakan yang berasal dari manusia merdeka yang dengan kemerdekaanya kemudian memutuskan untuk mencintai orang lain atau sesamanya. Cinta itu aktif: entah saya ingin men-Cinta-i orang lain atau tidak, itu hak saya. Berikut merupakan ungkapan Gabriel Marcel yang diterjemahkan oleh Mathias Hariyadi dalam bukunya Membina Hubungan Antar Pribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel[7]:
Cinta itu datang
bagaikan sebuah himbauan. Ia datang seperti panggilan dari Aku ke Aku yang
lain… Justru karena saya bertemu pribadi orang itu, maka
ketertarikan saya untuk mencintainya muncul bukan karena orang itu memiliki
banyak hal yang menarik saya, melainkan saya mencintainya justru karena Ia adalah Ia.
Dengan demikian,
Gabriel Marcel menyadari bahwa Cinta tak berasal dari pengalaman luar manusia.
Cinta berasal dari diri manusia di mana Cinta sendiri memanggil manusia yang
lain untuk selalu mengadakan hubungan Aku–Engkau antar manusia.
Gabriel Marcel
mengatakan bahwa memahami Cinta adalah sebuah kemustahilan. Tak mungkin manusia
dapat memahami Cinta. Cinta bukanlah objek yang dapat dengan mudah dikaji.
Cinta adalah misteri! [8] Karena
misteri, Cinta hanya dapat dipahami oleh pihak-pihak yang sedang berada dalam
pelukan Cinta. Cinta adalah pengalaman yang sangat personal, yang dialami oleh
mereka yang saling men-Cinta-i.
Karena bagi Marcel
Cinta adalah sebuah misteri, maka hanya dengan menceburkan diri ke dalamnya
manusia dapat mengerti dan merasakan arti Cinta. Artinya, hanya dalam
keterlibatan atas “Aku men-Cinta-i Engkau” manusia dapat sekaligus menjadi
subjek dan objek dari proses men-Cinta-i.[9] Ia
berpartisipasi di dalamnya.
Pertemuan antara Aku
dan Engkau dalam ikatan Cinta itulah yang membuat “Kita” menjadi nyata. Cinta
inilah yang menghadirkan persekutuan antar manusia. Cinta semacam ini bersifat
transenden[10] karena mengatasi
manusia antar pribadi. Ketika men-Cinta, manusia mentransendensi dirinya dengan
cara keluar dari sifat individualnya dan bergabung dalam individualitas sesama
yang ia Cinta-i. Ia berpartisipasi aktif dalam individualitas sesamanya.
Maka hanya dengan
Cinta, manusia pada akhirnya dapat mengalami kepenuhan dalam eksistensinya
sebagai manusia. Ia menjadi manusia penuh dalam Cinta. Ia utuh. Ia satu. Ia
adalah Cinta itu sendiri, akhirnya.
Apakah Cinta merupakan sebuah seni?
Apakah Cinta adalah
sebuah seni? Dengan mengatakan seni, berarti Cinta mengandung unsur keindahan.[11] Adakah
keindahan dalam Cinta? Erich Fromm mencoba mendalami arti Cinta dengan pertanyaan
sederhana semacam ini. Jika bukan sebuah seni, apakah Cinta merupakan sebuah
kesenangan belaka? Bagi Fromm, masalah dewasa ini adalah jamaknya manusia yang
menekankan sisi being loved (dicintai) daripada loving (mencintai).
Manusia merasa berarti ketika dia dicintai oleh sesamanya dan kemudian
merasakan sebuah beban ketika dia harus mencintai orang lain. Semacam inikah
Cinta yang disebut seni itu?
Banyak orang berpikir
bahwa to love (mencintai) adalah sebuah persoalan sederhana, apalagi
pada abad ini. Persoalan Cinta selalu dikaitkan dengan pernikahan. Apa
maksudnya? Pada manusia jaman ini, Cinta menjadi hal yang direduksi hanya pada
pra-syarat untuk menikah. Pernikahan adalah sebuah kontrak sosial dimana Cinta
menjadi syaratnya. Dengan demikian, Cinta menjadi begitu kecil, hanya berputar
pada lingkaran pernikahan.
Sesederhana itukah
Cinta? Erich Fromm melihat Cinta sebagai jawaban atas permasalahan eksistensial
manusia.[12] Ketika manusia
diciptakan, ia langsung dapat menyadari bahwa dirinya itu sendiri dan terasing
dari yang lainnya. Apa yang terjadi pada Adam dan Hawa pada kisah penciptaan
menggambarkan bagaimana situasi dosa menjadikan manusia memiliki jarak pada diri
dan sesamanya. Adam menjadi malu pada Hawa, begitu juga sebaliknya, karena
mereka tahu kalau mereka telanjang. Fromm melihat bahwa kesadaran akan
keterpisahan mereka sebagai manusia, tanpa adanya penyatuan oleh Cinta, yang
menjadikan Adam dan Hawa malu. Hal ini juga yang muncul ketika manusia
mengalami rasa bersalah dan terasing. [13]
Dengan demikian, hanya
Cinta yang kemudian dapat mempersatukan manusia pada kodrat asalinya yang satu
dan tak “malu” pada sesamanya. Hanya Cinta yang dapat menjadikan manusia
sebagaimana keadaannya saat pertama kali diciptakan di mana tak ada kebencian dan
kejahatan. Tanpa Cinta, humanitas tak akan pernah ada barang seharipun, kata
Erich Fromm.\
Berikut ada kutipan
menarik dari tulisan Erich Fromm dalam bukunya, The Art of Loving:
Love is an activity, not a passive
effect; it is a ‘standing in’, not a ‘falling for’. In the most general way,
the active character of love can be described by stating that love is
primarily giving, not receiving (Erich: 1957).
Memang benar. Cinta
memang bukan tentang “jatuh cinta” melainkan berdiri menerima Cinta. Manusia
tidak menerima dalam keadaan jatuh (falling for), melainkan berdiri
menyambutnya (standing in). Ketika merasakan Cinta, manusia berdiri di
dalamnya, menikmati setiap sisi dan sentuhan Cinta. Ketika merasakan Cinta,
manusia mengalami kepenuhan kodratinya sebagai manusia. Ketika dua manusia
mengalami Cinta, yang ada dalam diri mereka hanyalah kesatuan, bukan
keterpisahan.
Dalam hal ini pula
Erich Fromm memperoleh kebenarannya, yaitu ketika ia mengatakan bahwa hanya
Cinta yang dapat membawa manusia pada keadaan awalinya yang satu dan tanpa
malu. Dalam Cinta, manusia dapat melihat sesamanya bukan sebagai yang asing
melainkan dirinya yang lain. Demikianlah Cinta kemudian merasuki segenap
manusia.
Cinta dalam Sajak “Aku
Ingin” Sapardi Djoko Damono[14]
Aku Ingin…
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. (Sapardi:
1989)
Sapardi Djoko Damono
melihat Cinta sebagai momen hening. Spasi yang sederhana. Cinta bukanlah
hal yang digembar-gemborkan lalu kemudian menawarkan kemeriahan di sana-sini.
Cinta adalah kesederhanaan.
Cinta memang tak
menunjukkan wujud nyatanya di hadapan manusia. Cinta tak bisa disentuh. Cinta
hanya bisa dirasakan oleh hati yang berasal dari Cinta. Cinta hanya bisa
ditemukan dalam pribadi yang berasal dari dan dipersatukan oleh Cinta. Karena
itulah Sapardi kemudian menyadari bahwa dalam kesederhanaan manusia dapat
menemukan Cinta.
Hanya orang-orang yang
sederhana yang dapat men-Cinta sesamanya. Sederhana. Apa itu sederhana?
Sederhana bukanlah masalah ketiadaan kemewahan, sederhana bukanlah tidak
memiliki apa-apa. Kesederhanaan merupakan disposisi batin. Kesederhanaan adalah
persoalan cara seseorang berpikir, merasa. Orang yang sederhana hanya
memikirkan satu hal penting. Ketika ia berpikir baik, hanya baik yang ia
pikirkan. Manusia sederhana tak pernah berpikir picik terhadap sesamanya. Tidak
ada tempat bagi kejahatan dalam kesederhanaan.
Maka dalam
kesederhanaan pula manusia dapat men-Cinta. Sesederhana percakapan tak sampai
antara kayu dan api yang menjadikannya abu. Ada momen hening dalam percakapan
semacam ini. Dan Cinta memang tak perlu kata untuk menafsirkan dirinya. Tak ada
kata yang mampu menjelaskan bagaimana Cinta secara utuh.
Lantas bagaimana Cinta
dapat dimengerti jika halnya demikian? Hening. Hanya dalam keheningan Cinta menjadi
terasa. Cinta bukanlah milik mereka yang pongah, tidak pula pada pribadi yang
meniadakan sesamanya. Cinta menjadi milik manusia-manusia yang mampu hening
dengan hidupnya sehingga ia kemudian dapat menyatukan dirinya dengan semesta.
“Sungguh, aku ingin
mencintaimu secara sederhana. Dalam hening. Dalam kesatuan asali kita.”
Cinta itu Indah
Armada Riyanto melihat
Cinta dan Keindahan sebagai dua hal yang identik.[15] Cinta
identik dengan keindahan itu sendiri. Keindahan Cinta melebihi keindahan barang
duniawi manapun: emas, intan bahkan mungkin batu akik. Ketika manusia sudah
memeluk Cinta, ia sudah memeluk keindahan itu sendiri. Ia tak akan melepaskan
pelukannya karena manusia tak mungkin bisa melepaskan Cinta.
Cinta yang indah
semacam ini, menurut Armada, tidak mungkin berasal dari ciptaan. Mengapa?
Karena manusia sendiri juga mencari Cinta, tak mungkin ia yang menciptakannya.
Cinta semacam ini tentulah berasal dari Sang Pencipta itu sendiri.[16] Cinta
itu hadir saat tiupan “nafas” pertama dari Sang Pencipta dalam kisah
penciptaan. Dalam nafas kehidupan itu, Cinta hadir. Nafas kehidupan itu sendiri
merupakan perwujudan Cinta yang teramat besar dari Sang Pencipta bagi manusia.
Karena itu, tanpa Cinta manusia pada dasarnya tidak ada. Cinta Sang Pencipta
yang menjadikan manusia ada.
Bagi Armada, Cinta itu
membebaskan.[17] Cinta tak menjadikan
manusia terkungkung. Cinta tak memenjarakan manusia. Dalam Cinta, manusia mampu
membaharui dirinya untuk kemudian bergerak dalam kebebasan sejatinya sebagai
manusia. Cinta membuat St. Maximilianus Maria Kolbe secara bebas menyerahkan
nyawanya sebagai ganti nyawa seorang ayah yang akan dihukum mati oleh Nazi.
Cinta yang membebaskan yang membuat Kristus menyerahkan nyawanya sebagai
tebusan bagi umat manusia.
Dimanakah Cinta
mewujudkan dirinya? Cinta mewujudkan dirinya dalam kehidupan.[18]
Cinta tak memiliki wujud dalam konsep, dalam pemikiran abstrak. Cinta terwujud
dalam ayah yang bekerja siang-malam untuk keluarganya. Cinta hadir dalam
seorang pemuda yang memberikan sepasang sepatunya kepada gelandangan di jalanan
Inggris. Cinta tersenyum dalam peristiwa para frater CM yang merawat alm. Fr.
Renatus Jojita yang menderita kanker sampai akhir hayatnya. Demikianlah Cinta.
Ia tak terlihat, namun terwujud dalam perbuatan manusia. Dan pada perbuatan
penuh Cinta manusia inilah Sang Pencipta Cinta itu pula tampak.
Bagi Armada, Cinta
mengatasi segala ketidak-mungkinan.[19] Cinta
mampu menyeberangi kematian manusia. Cinta itu abadi. Cinta tak melepaskan
siapapun. Ia memeluk seseorang dan melpaskan yang lain. Cinta menyatukan
segalanya tanpa pilih-pilih. Cinta mengubah kematian menjadi kehidupan. Cinta
merobek kegelapan dan memberikan terang. Cinta itu indah.
Lebih lanjut, Armada
melihat Cinta adalah nilai tertinggi yang harus disadari setiap manusia.[20] Kesadaran
akan Cinta ini harus terwujud dalam tindakan men-Cinta. Men-Cinta siapa?
Sesama. Dengan Cinta, manusia melayani dang mengasihi sesamanya terutama yang
menderita.
Penutup
Setelah perjalanan
panjang manusia dari abad ke abad dalam memahami Cinta, kesimpulan yang dapat
diambil tetaplah sama: Cinta itu misteri. Cinta itu menjadi semacam kekuatan
yang merengkuh setiap manusia dan kemudian mendorongnya untuk melakukan segala
hal dalam rasa Cinta. Cinta tetap misteri tetapi daya tariknya tak pernah habis
untuk digali sepanjang waktu. Cinta memang abadi, dari asalnya dan dalam
kehidupan manusia.
Seorang Bapak dari
pedalaman Kalimantan Barat pernah mengatakan bahwa Cinta menjadikan seseorang
itu kreatif. Cinta membuat pikiran orang terbuka. Karena Cinta kepada
anak-anaknya, Bapak tersebut berpikir keras untuk menemukan cara dalam mencari
rejeki secara baik dan benar. Cinta yang tulus pada keluarganya itu yang
menjadikan ia kuat menempuh perjalanan ratusan kilometer di darat, lewat jalan
yang berlumpur dan berlubang, demi mencari sesuap nasi di kota, demi anak
didiknya.
Cinta memang
menakjubkan. Apakah yang lebih kuat dari Cinta? “Karena Cinta kuat seperti
maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api,
seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat memadamkan Cinta,
sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta
benda rumahnya untuk Cinta, namun ia pasti dihina” (Kid 8:6b-7). Kekuatannya
sungguh tak terkira. Mengapa? Mungkin karena kekuatannya sendiri berasal dari
Sang Cinta sendiri. Pencipta menciptakan Cinta sebagai kekuatan yang mampu
menyelimuti dunia tanpa kecuali. Bahkan penjahat yang paling kejam sekalipun
tetap memiliki Cinta dan belas kasih.
Akhirnya, Cinta memang
menjadi sebuah cerita indah tiada akhir. Cinta tak berujung. Ia menggerakkan
manusia dalam lorong-lorong kehidupannya. Cinta men-Cinta-i Cinta sehingga pada
hati di mana Cinta berkuasa, di situlah Cinta akan bertemu dan berpelukan.
Terima kasih Cinta!
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi
Djoko. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2013.
Fromm, Erich. The
Art of Loving. London: Unwin Books. 1957.
Hariyadi,
Mathias. Membina Hubungan Antarpribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi,
Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel. Yogyakarta: Kanisius.1994.
Riyanto, Armada. Katolisitas
Dialogal. Yogyakarta: Kanisius. 2014.
_______. Menjadi-Mencintai:
Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius. 2013.
Tillich,
Paul. Cinta Kekuasaan & Keadilan:Makna Dasar dan Implikasi Etis (terj.
Muhammad Hardani). Surabaya: Pustaka Eureka. 2004.
Wibowo, Setyo A. Arete:
Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius. 2010.
[1]
Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai:
Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 157.
[2]
A. Setyo Wibowo, Arete: Hidup Sukses
Menurut Platon, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 40-50 dan 81.
[3] Paul Tillich, Cinta Kekuasaan & Keadilan:Makna Dasar
dan Implikasi Etis (terj. Muhammad Hardani), Surabaya: Pustaka Eureka,
2004, hlm. 28-40.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7]
Mathias Hariyadi, Membina Hubungan
Antarpribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta Menurut
Gabriel Marcel, Yogyakarta: Kanisius, 1994. hlm. 73-80.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11]
Erich Fromm, The Art of Loving,
London: Unwin Books, 1957, hlm. 9.
[12] Ibid., hlm. 13.
[13] Ibid., hlm. 14
[14] Sapardi Djoko Damono, Hujan
Bulan Juni, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. 105.
[15] Armada, Op. Cit., hlm. 157-168.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid
[20] Armada Riyanto, Katolisitas Dialogal, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 106-107.