Sederhananya Belajar Memahami Filsafat Cinta (Men_cinta_i dan Di_cintai_i)

Sederhananya Belajar Memahami Filsafat Cinta (Men_cinta_i dan Di_cintai_i)


*** Inspirasi Jalan Setapak Akar Rumput


Pengantar

Kalaupun ada entah kata, perbuatan, perasaan ataupun pemikiran yang tak pernah berhenti dipikirkan manusia dari masa ke masa, tak lain dan tak bukan tentulah CINTA. Cinta menjadi begitu serius dan mendalam ketika manusia mencoba untuk mengurai setiap bagiannya. Namun demikian, Cinta menjadi begitu lucu dan menggembirakan ketika manusia mencoba untuk bersentuhan dan menari bersamanya. Entahlah. Cinta memasuki segala jenis manusia dan semua problematikanya.


Dalam tebak-tebakan konyol tentang siapakah yang lebih dulu diciptakan: atau orang tua atau bayi, terkandung suatu fenomen kecil bahwa entah bayi ataupun orang tua, keduanya diawali dengan Cinta. Karena Cinta maka bayi lahir. Karena Cinta maka suami-isteri dipersatukan. “Orang tua” adalah buah dari persatuan suami-isteri dan “bayi/anak” adalah buah dari Cinta orang tua. Maka siapakah yang lebih dulu ada, atau orang tua atau bayi? Tanyakan pada Sang Cinta yang menjadikan mereka ada.


Dari segala macam pengalaman persentuhannya dengan Cinta, manusia kemudian mencoba untuk mencari apa itu Cinta, dari mana ia berasal dan ke mana ia pergi. Para musisi menjelaskan arti Cinta lewat syair-syair lagu dan musik mereka. Para penggubah puisi menjelaskan arti Cinta lewat jalinan kata-kata indah. Para pemahat menorehkan Cinta lewat hasil karya seni pahatnya. Para pendaki gunung merasa menemukan Cinta ketika mereka berjalan setapak demi setapak mendaki gunung-gunung. Para sufi menemukan cinta dalam keheningan dan meditasi mereka tentang kehidupan. Lantas dimanakah dan apakah Cinta di tengah segala macam keberagamannya ini?

 

Cinta Plato

Bagi Plato, Cinta adalah sebuah kekuatan, sebuah penggerak bagi jiwa untuk selalu mengarah pada Sang Idea. Di dunia, jiwa manusia adalah pengembara yang berjalan untuk kembali kepada Sang Idea. Jiwa manusia adalah itu yang selalu terhubung pada Dunia Idea. Jiwa manusia tak pernah berhenti mencari Sang Idea agar ia dapat kembali ada kesatuan asalinya. Mengapa? Karena dari sanalah jiwa manusia yang abadi itu berasal.


Kekuatan yang menggerakkan jiwa manusia sehingga tak pernah berhenti mencari Sang Idea adalah Cinta. Cinta tak bisa mematikan. Cinta menghidupkan. Cinta menggairahkan jiwa-jiwa yang lelah mengembara di dunia. Dalam gairah itu, jiwa manusia berkelana mengenali pasangan jiwanya.[1] Mengapa? Karena konsep platonian memperkenalkan jiwa manusia sebagai satu kesatuan asali. Itulah sebabnya ketika satu pasang manusia sedang jatuh cinta, mereka terarah untuk menyatukan seluruh hidup mereka. Sudah pada kodratnya, menurut Plato, manusia digerakkan oleh Cinta untuk bersatu.


Plato melihat bahwa manusia-manusia terbaik adalah mereka yang memiliki Cinta di dalam dirinya. Sebagaimana ia membagi fungsi jiwa manusia ke dalam 3 bagian: epithumea (nafsu makan, minum, seks), thumos (afeksi, rasa, semangat, agresi) dan logistikon (berpikir), Plato mengelompokkan manusia terbaik sebagai manusia yang mencintai kebijaksanaan (philosopos).[2] Plato meyakini bahwa Cinta yang menggerakkan manusia terbaik ini untuk mencari apa yang terbaik bagi dirinya, yaitu kebijaksanaan. Cinta memang menggerakkan manusia untuk menemukan hal terbaik bagi hidupnya.

 

Ontologi Cinta Paul Tillich

Paul Tillich melihat Cinta pertama-tama sebagai sebuah “kekuasaan yang menggerakkan kehidupan”.[3] Cinta menjadi semacam motor utama yang menggerakkan roda kehidupan. Kehidupan sendiri merupakan sebuah aktualitas. Kehidupan tidak berada dalam ranah “maya” melainkan “nyata”. Oleh Paul Tillich, frasa-frasa di atas menunjukkan bagaimana hakekat ontologis dari Cinta. Ada (kehidupan) tidak akan menjadi aktual tanpa Cinta yang mendorong suatu ada pada ada yang lainnya. “Ada” menjadi semacam “Tidak Pernah Ada” tanpa Cinta.


Dalam pengalaman pribadi manusia tentang Cinta, kehidupan dapat terwujud secara hakiki. Mengapa demikian? Karena Cinta adalah penggerak utamanya. Maka roda kehidupan tanpa Cinta adalah mustahil. Relasi, yang menjadi dasar komunitas manusia, ada karena Cinta yang menggerakkan beberapa pihak untuk berkumpul. Manusia dapat menjadikan dirinya Ada dan bergerak karena ada Cinta yang mendorongnya.


Paul Tillich kemudian melihat bahwa segala yang Ada ini pada mulanya satu di dalam Cinta.[4] Cinta adalah pengikat yang menjadikan segala yang Ada ini satu dan utuh. Dengan demikian, hakekat dari Cinta adalah mempersatukan apa yang pada mulanya sudah satu dan utuh. Cinta tidak mempersatukan apa yang sejak semulanya terpisah. Artinya, Cinta bukanlah dia yang memungut segala “benda” yang secara esensial terpisah lalu kemudian menjadikannya satu laiknya sesuatu yang sejak awal adalah satu. Apa yang secara esensial terpisah tak bisa dijadikan satu. Cinta hanya menyatukan apa yang sejak awal berasal dari satu kesatuan asali.


Paul Tillich ingin menunjukkan bahwa Cinta berproses seperti medan magnet yang menarik hanya unsur besi yang sejak semula berasal dari kesatuan asalinya sebagai besi. Cinta itu menarik kembali apa yang berasal dari padanya. Cinta itu memeluk apa yang sejak semula berasal dari pelukannya. Ia tidak memeluk apa yang bukan dari dirinya.


Ontologi Cinta Paul Tillich ini menunjukkan bahwa Cinta pada hakekatnya adalah satu, hanya sifatnya yang beragam. Keberagaman sifat Cinta ini tidak menjadikan Cinta dalam jenis yang berbeda. Cinta adalah satu, dari titik inilah orang pertama-tama harus mulai memahami Cinta. Entah kemudian orang mengenal Eros, Agape, Epithymia dan lain sebagainya, itu hanyalah sifat-sifat Cinta dilihat dari bagaimana orang memandangnya.[5]


Ada satu bagian dari pemikiran Paul Tillich dalam melihat fenomen “Cinta Diri” yang kerap muncul dalam pembicaraan manusia dari masa ke masa. Benarkah konsep Cinta Diri? Mengapa frasa ini kemudian menjadi kajian pemikiran Paul Tillich juga dalam memahami ontologi Cinta? Pada bagian awal sudah dijelaskan bagaimana Cinta merupakan dia yang mempersatukan apa yang sejak awal berasal dari kesatuan asali. Karena mempersatukan, berarti ada unsur keterpisahan. Lantas ketika manusia mengalami “Cinta Diri”, apakah ia mengalami keterpisahan dengan dirinya? Paul kemudian memahami bahwa Cinta Diri merupakan sebatas metafora yang tidak memiliki ruang dalam realitas.[6] Sebagai metafora, Cinta Diri bisa diterjemahkan dalam beragam konteks.

 

Misteri Cinta Gabriel Marcel

Bagi Gabriel Marcel, Cinta merupakan suatu tindakan yang berasal dari manusia merdeka yang dengan kemerdekaanya kemudian memutuskan untuk mencintai orang lain atau sesamanya. Cinta itu aktif: entah saya ingin men-Cinta-i orang lain atau tidak, itu hak saya. Berikut merupakan ungkapan Gabriel Marcel yang diterjemahkan oleh Mathias Hariyadi dalam bukunya Membina Hubungan Antar Pribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel[7]:

Cinta itu datang bagaikan sebuah himbauan. Ia datang seperti panggilan dari Aku ke Aku yang lain… Justru  karena saya bertemu pribadi orang itu, maka ketertarikan saya untuk mencintainya muncul bukan karena orang itu memiliki banyak hal yang menarik saya, melainkan saya mencintainya justru karena Ia adalah Ia.


Dengan demikian, Gabriel Marcel menyadari bahwa Cinta tak berasal dari pengalaman luar manusia. Cinta berasal dari diri manusia di mana Cinta sendiri memanggil manusia yang lain untuk selalu mengadakan hubungan Aku–Engkau antar manusia.


Gabriel Marcel mengatakan bahwa memahami Cinta adalah sebuah kemustahilan. Tak mungkin manusia dapat memahami Cinta. Cinta bukanlah objek yang dapat dengan mudah dikaji. Cinta adalah misteri! [8] Karena misteri, Cinta hanya dapat dipahami oleh pihak-pihak yang sedang berada dalam pelukan Cinta. Cinta adalah pengalaman yang sangat personal, yang dialami oleh mereka yang saling men-Cinta-i.


Karena bagi Marcel Cinta adalah sebuah misteri, maka hanya dengan menceburkan diri ke dalamnya manusia dapat mengerti dan merasakan arti Cinta. Artinya, hanya dalam keterlibatan atas “Aku men-Cinta-i Engkau” manusia dapat sekaligus menjadi subjek dan objek dari proses men-Cinta-i.[9] Ia berpartisipasi di dalamnya.


Pertemuan antara Aku dan Engkau dalam ikatan Cinta itulah yang membuat “Kita” menjadi nyata. Cinta inilah yang menghadirkan persekutuan antar manusia. Cinta semacam ini bersifat transenden[10] karena mengatasi manusia antar pribadi. Ketika men-Cinta, manusia mentransendensi dirinya dengan cara keluar dari sifat individualnya dan bergabung dalam individualitas sesama yang ia Cinta-i. Ia berpartisipasi aktif dalam individualitas sesamanya.


Maka hanya dengan Cinta, manusia pada akhirnya dapat mengalami kepenuhan dalam eksistensinya sebagai manusia. Ia menjadi manusia penuh dalam Cinta. Ia utuh. Ia satu. Ia adalah Cinta itu sendiri, akhirnya.

 

Apakah Cinta merupakan sebuah seni?

Apakah Cinta adalah sebuah seni? Dengan mengatakan seni, berarti Cinta mengandung unsur keindahan.[11] Adakah keindahan dalam Cinta? Erich Fromm mencoba mendalami arti Cinta dengan pertanyaan sederhana semacam ini. Jika bukan sebuah seni, apakah Cinta merupakan sebuah kesenangan belaka? Bagi Fromm, masalah dewasa ini adalah jamaknya manusia yang menekankan sisi being loved (dicintai) daripada loving (mencintai). Manusia merasa berarti ketika dia dicintai oleh sesamanya dan kemudian merasakan sebuah beban ketika dia harus mencintai orang lain. Semacam inikah Cinta yang disebut seni itu?

Banyak orang berpikir bahwa to love (mencintai) adalah sebuah persoalan sederhana, apalagi pada abad ini. Persoalan Cinta selalu dikaitkan dengan pernikahan. Apa maksudnya? Pada manusia jaman ini, Cinta menjadi hal yang direduksi hanya pada pra-syarat untuk menikah. Pernikahan adalah sebuah kontrak sosial dimana Cinta menjadi syaratnya. Dengan demikian, Cinta menjadi begitu kecil, hanya berputar pada lingkaran pernikahan.


Sesederhana itukah Cinta? Erich Fromm melihat Cinta sebagai jawaban atas permasalahan eksistensial manusia.[12] Ketika manusia diciptakan, ia langsung dapat menyadari bahwa dirinya itu sendiri dan terasing dari yang lainnya. Apa yang terjadi pada Adam dan Hawa pada kisah penciptaan menggambarkan bagaimana situasi dosa menjadikan manusia memiliki jarak pada diri dan sesamanya. Adam menjadi malu pada Hawa, begitu juga sebaliknya, karena mereka tahu kalau mereka telanjang. Fromm melihat bahwa kesadaran akan keterpisahan mereka sebagai manusia, tanpa adanya penyatuan oleh Cinta, yang menjadikan Adam dan Hawa malu. Hal ini juga yang muncul ketika manusia mengalami rasa bersalah dan terasing. [13]


Dengan demikian, hanya Cinta yang kemudian dapat mempersatukan manusia pada kodrat asalinya yang satu dan tak “malu” pada sesamanya. Hanya Cinta yang dapat menjadikan manusia sebagaimana keadaannya saat pertama kali diciptakan di mana tak ada kebencian dan kejahatan. Tanpa Cinta, humanitas tak akan pernah ada barang seharipun, kata Erich Fromm.\


Berikut ada kutipan menarik dari tulisan Erich Fromm dalam bukunya, The Art of Loving:

Love is an activity, not a passive effect; it is a ‘standing in’, not a ‘falling for’. In the most general way, the active character of love can be described by stating that love is primarily giving, not receiving (Erich: 1957).


Memang benar. Cinta memang bukan tentang “jatuh cinta” melainkan berdiri menerima Cinta. Manusia tidak menerima dalam keadaan jatuh (falling for), melainkan berdiri menyambutnya (standing in). Ketika merasakan Cinta, manusia berdiri di dalamnya, menikmati setiap sisi dan sentuhan Cinta. Ketika merasakan Cinta, manusia mengalami kepenuhan kodratinya sebagai manusia. Ketika dua manusia mengalami Cinta, yang ada dalam diri mereka hanyalah kesatuan, bukan keterpisahan.


Dalam hal ini pula Erich Fromm memperoleh kebenarannya, yaitu ketika ia mengatakan bahwa hanya Cinta yang dapat membawa manusia pada keadaan awalinya yang satu dan tanpa malu. Dalam Cinta, manusia dapat melihat sesamanya bukan sebagai yang asing melainkan dirinya yang lain. Demikianlah Cinta kemudian merasuki segenap manusia.

 

Cinta dalam Sajak “Aku Ingin” Sapardi Djoko Damono[14]

Aku Ingin…

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu.

 Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. (Sapardi: 1989)

 

Sapardi Djoko Damono melihat Cinta sebagai momen hening. Spasi yang sederhana.  Cinta bukanlah hal yang digembar-gemborkan lalu kemudian menawarkan kemeriahan di sana-sini. Cinta adalah kesederhanaan.


Cinta memang tak menunjukkan wujud nyatanya di hadapan manusia. Cinta tak bisa disentuh. Cinta hanya bisa dirasakan oleh hati yang berasal dari Cinta. Cinta hanya bisa ditemukan dalam pribadi yang berasal dari dan dipersatukan oleh Cinta. Karena itulah Sapardi kemudian menyadari bahwa dalam kesederhanaan manusia dapat menemukan Cinta.


Hanya orang-orang yang sederhana yang dapat men-Cinta sesamanya. Sederhana. Apa itu sederhana? Sederhana bukanlah masalah ketiadaan kemewahan, sederhana bukanlah tidak memiliki apa-apa. Kesederhanaan merupakan disposisi batin. Kesederhanaan adalah persoalan cara seseorang berpikir, merasa. Orang yang sederhana hanya memikirkan satu hal penting. Ketika ia berpikir baik, hanya baik yang ia pikirkan. Manusia sederhana tak pernah berpikir picik terhadap sesamanya. Tidak ada tempat bagi kejahatan dalam kesederhanaan.


Maka dalam kesederhanaan pula manusia dapat men-Cinta. Sesederhana percakapan tak sampai antara kayu dan api yang menjadikannya abu. Ada momen hening dalam percakapan semacam ini. Dan Cinta memang tak perlu kata untuk menafsirkan dirinya. Tak ada kata yang mampu menjelaskan bagaimana Cinta secara utuh.


Lantas bagaimana Cinta dapat dimengerti jika halnya demikian? Hening. Hanya dalam keheningan Cinta menjadi terasa. Cinta bukanlah milik mereka yang pongah, tidak pula pada pribadi yang meniadakan sesamanya. Cinta menjadi milik manusia-manusia yang mampu hening dengan hidupnya sehingga ia kemudian dapat menyatukan dirinya dengan semesta.


“Sungguh, aku ingin mencintaimu secara sederhana. Dalam hening. Dalam kesatuan asali kita.”

 

Cinta itu Indah

Armada Riyanto melihat Cinta dan Keindahan sebagai dua hal yang identik.[15] Cinta identik dengan keindahan itu sendiri. Keindahan Cinta melebihi keindahan barang duniawi manapun: emas, intan bahkan mungkin batu akik. Ketika manusia sudah memeluk Cinta, ia sudah memeluk keindahan itu sendiri. Ia tak akan melepaskan pelukannya karena manusia tak mungkin bisa melepaskan Cinta.


Cinta yang indah semacam ini, menurut Armada, tidak mungkin berasal dari ciptaan. Mengapa? Karena manusia sendiri juga mencari Cinta, tak mungkin ia yang menciptakannya. Cinta semacam ini tentulah berasal dari Sang Pencipta itu sendiri.[16] Cinta itu hadir saat tiupan “nafas” pertama dari Sang Pencipta dalam kisah penciptaan. Dalam nafas kehidupan itu, Cinta hadir. Nafas kehidupan itu sendiri merupakan perwujudan Cinta yang teramat besar dari Sang Pencipta bagi manusia. Karena itu, tanpa Cinta manusia pada dasarnya tidak ada. Cinta Sang Pencipta yang menjadikan manusia ada.


Bagi Armada, Cinta itu membebaskan.[17] Cinta tak menjadikan manusia terkungkung. Cinta tak memenjarakan manusia. Dalam Cinta, manusia mampu membaharui dirinya untuk kemudian bergerak dalam kebebasan sejatinya sebagai manusia. Cinta membuat St. Maximilianus Maria Kolbe secara bebas menyerahkan nyawanya sebagai ganti nyawa seorang ayah yang akan dihukum mati oleh Nazi. Cinta yang membebaskan yang membuat Kristus menyerahkan nyawanya sebagai tebusan bagi umat manusia.


Dimanakah Cinta mewujudkan dirinya? Cinta mewujudkan dirinya dalam kehidupan.[18] Cinta tak memiliki wujud dalam konsep, dalam pemikiran abstrak. Cinta terwujud dalam ayah yang bekerja siang-malam untuk keluarganya. Cinta hadir dalam seorang pemuda yang memberikan sepasang sepatunya kepada gelandangan di jalanan Inggris. Cinta tersenyum dalam peristiwa para frater CM yang merawat alm. Fr. Renatus Jojita yang menderita kanker sampai akhir hayatnya. Demikianlah Cinta. Ia tak terlihat, namun terwujud dalam perbuatan manusia. Dan pada perbuatan penuh Cinta manusia inilah Sang Pencipta Cinta itu pula tampak.


Bagi Armada, Cinta mengatasi segala ketidak-mungkinan.[19] Cinta mampu menyeberangi kematian manusia. Cinta itu abadi. Cinta tak melepaskan siapapun. Ia memeluk seseorang dan melpaskan yang lain. Cinta menyatukan segalanya tanpa pilih-pilih. Cinta mengubah kematian menjadi kehidupan. Cinta merobek kegelapan dan memberikan terang. Cinta itu indah.


Lebih lanjut, Armada melihat Cinta adalah nilai tertinggi yang harus disadari setiap manusia.[20] Kesadaran akan Cinta ini harus terwujud dalam tindakan men-Cinta. Men-Cinta siapa? Sesama. Dengan Cinta, manusia melayani dang mengasihi sesamanya terutama yang menderita.

 

Penutup

Setelah perjalanan panjang manusia dari abad ke abad dalam memahami Cinta, kesimpulan yang dapat diambil tetaplah sama: Cinta itu misteri. Cinta itu menjadi semacam kekuatan yang merengkuh setiap manusia dan kemudian mendorongnya untuk melakukan segala hal dalam rasa Cinta. Cinta tetap misteri tetapi daya tariknya tak pernah habis untuk digali sepanjang waktu. Cinta memang abadi, dari asalnya dan dalam kehidupan manusia.


Seorang Bapak dari pedalaman Kalimantan Barat pernah mengatakan bahwa Cinta menjadikan seseorang itu kreatif. Cinta membuat pikiran orang terbuka. Karena Cinta kepada anak-anaknya, Bapak tersebut berpikir keras untuk menemukan cara dalam mencari rejeki secara baik dan benar. Cinta yang tulus pada keluarganya itu yang menjadikan ia kuat menempuh perjalanan ratusan kilometer di darat, lewat jalan yang berlumpur dan berlubang, demi mencari sesuap nasi di kota, demi anak didiknya.


Cinta memang menakjubkan. Apakah yang lebih kuat dari Cinta? “Karena Cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat memadamkan Cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk Cinta, namun ia pasti dihina” (Kid 8:6b-7). Kekuatannya sungguh tak terkira. Mengapa? Mungkin karena kekuatannya sendiri berasal dari Sang Cinta sendiri. Pencipta menciptakan Cinta sebagai kekuatan yang mampu menyelimuti dunia tanpa kecuali. Bahkan penjahat yang paling kejam sekalipun tetap memiliki Cinta dan belas kasih.


Akhirnya, Cinta memang menjadi sebuah cerita indah tiada akhir. Cinta tak berujung. Ia menggerakkan manusia dalam lorong-lorong kehidupannya. Cinta men-Cinta-i Cinta sehingga pada hati di mana Cinta berkuasa, di situlah Cinta akan bertemu dan berpelukan. Terima kasih Cinta!

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2013.


Fromm, Erich. The Art of Loving. London: Unwin Books. 1957.


Hariyadi, Mathias. Membina Hubungan Antarpribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel. Yogyakarta: Kanisius.1994.


Riyanto, Armada. Katolisitas Dialogal. Yogyakarta: Kanisius. 2014.


_______. Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius. 2013.


Tillich, Paul. Cinta Kekuasaan & Keadilan:Makna Dasar dan Implikasi Etis (terj. Muhammad Hardani). Surabaya: Pustaka Eureka. 2004.


Wibowo, Setyo A. Arete: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius. 2010.


 


 



[1] Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 157.

 

[2] A. Setyo Wibowo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 40-50 dan 81.

 

[3] Paul Tillich, Cinta Kekuasaan & Keadilan:Makna Dasar dan Implikasi Etis (terj. Muhammad Hardani), Surabaya: Pustaka Eureka, 2004, hlm. 28-40.


[4] Ibid.


[5] Ibid.


[6] Ibid.


[7] Mathias Hariyadi, Membina Hubungan Antarpribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, Yogyakarta: Kanisius, 1994. hlm. 73-80.

 

[8] Ibid.


[9] Ibid.


[10] Ibid.


[11] Erich Fromm, The Art of Loving, London: Unwin Books, 1957, hlm. 9.

 

[12] Ibid., hlm. 13.


[13] Ibid., hlm. 14


[14] Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. 105.


[15] Armada, Op. Cit., hlm. 157-168.


[16] Ibid.


[17] Ibid.


[18] Ibid.


[19] Ibid


[20] Armada Riyanto, Katolisitas Dialogal, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 106-107.

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama