Manusia menjadi serigala tak ubahnya manusia itu
berganti wajah, beralih rupa, atau berubah sikap dan perilakunya, yang sebelumnya
berhabitus kemanusiaan, namun karena “sesuatu” dan “lain hal”, akhirnya manusia
ini mendesain dirinya dengan sikap dan perilaku antagonistik dengan
kemanusiaannya.
Desain baru dirinya itu bercorak “serigala” atau
berkebinatangan, yang di antaranya ditunjukkan dengan menerkam, menusuk,
membantai, mengebom, atau mendestrusi kehidupan sesamanya.
Dalam ranah itu, kehadiran seseorang atau sekelompok
manusia lain menjadi objek. Di matanya, mereka bisa dan bahkan harus dilukai
atau dikorbankan kapan dan di mana saja sesukanya.
Sikap dan perilaku dehumanitas (kebiadaban) yang
ditampilkan manusia itu adalah untuk membenarkan kalau dirinya telah berhasil
memberikan (memaksakan) hajat atau kepentingan, apa pun caranya.
Sikap dan perilaku manusia demikian itu membuatnya
hanya berpikir soal hasil dan bukan pada proses. Yang terpenting bagaimana yang
diyakini dan diinginkannya berhasil direalisasikan. Ideologi dan agama
tertinggi merupakan wujud apa yang diperbuatnya, dan bukan pada apa yang
dirasakan (diderita) orang lain.
Sikap dan perilaku teroris, yang diwujudkannya
dengan cara menikam (menusuk), mengebom, memenggal kepala (seperti yang suka
dilakukan oleh ISIS), atau membunuh seseorang atau sekelompok orang, identik
dengan opsi yang keluar dari fundamentalisme kemanusiaan, sehingga logis ketika
pemerintah (negara) berlaku tegas terhadap warga negara Indonesia yang terlibat
jaringan ISIS yang pulang dari Suriah.
Cara-cara yang dilakukan oleh teroris itu tak
ubahnya dengan watak serigala yang menempatkan sesamanya sebagai obyek yang
dimangsa. Modus perilaku demikian inilah yang membuatnya tidak layak
mendalilkan dirinya sebagai subyek yang berkomitmen pada hajat kemanusiaan.
“Bagian terbaik dari seseorang adalah
perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain”
demikian pernyataan William Wordsworth yang sejatinya mengajak setiap manusia
di bumi ini untuk berlomba berbuat baik pada sesama manusia.
Wordsworth memang menunjukkan, bahwa ada jenis
perbuatan yang membuat seseorang layak mendapatkan prediket terbaik atau
menjadi bagian terbaik dalam konstruksi kehidupannya, manakala ia mampu
menghasilkan perbuatan terbaik pada sesama yang sesama ini tidak perlu mengetahui
kalau dirinya yang berbuat baik dan mengasihinya.
Itu jelas doktrin Wordsworth berdimensi kemanusiaan.
Manusia ditunjukkan caranya berbuat baik tanpa pamrih, tanpa tendensi, atau
tanpa menuntut imbalan (kompensasi). Dalam doktrinya, manusia terbaik merupakan
sosok pengabdi dalam kerelaan atau memberikan yang terbaik untuk hajat
kemanusiaan tanpa ada publikasi.
Pikiran seperti itu identik dengan menempatkan
perbuatan terbaik manusia dalam bentuk mengasihi, melindungi, atau menyayangi
manusia lain sebagai fundamentalisme kemanusiaan.
Manusia baru benar-benar dikatakan layak memasuki
ranah kebermaknaan hidup bersama manusia lain bilamana peran yang
ditunjukkannya bersifat “memberikan” yang terbaik. Inilah yang disebut sebagai
kebermaknaan yang ditentukan oleh kuatnya relasi protektif atas kehadiran
sesama sebagai hal fundamental dalam konstruksi kehidupannya.
Memberikan yang terbaik bermakna juga memprevensi
diri dan kelompok dari kecenderungan menjerumuskan dan menyesatkan orang lain
dalam perbuatan tidak baik dan sebaliknya berusaha kuat melindunginya dari
kemungkinan menjadi korban “serigala” yang muncul dari diri dan sekumpulan
orang di tengah masyarakat.
Saat dalam diri kita mulai mencuat niat dan aksi
yang berpola “serigala”, kita secepatnya berusaha dan berjuang untuk
mengalahkan dan memadamkannya. Kita tidak kenal penat menghadapi segala bentuk
kecenderungan yang mengarahkan pada opsi dan pembenaran kriminalistik.
Dalam realitas di tengah kehidupan bermasyarakat dan
bernegara ini, menjadi orang baik itu tidak mudah. Di saat seseorang sudah
bertekad menjalani kehidupannya dengan nilai-nilai mulia yang menjunjung tinggi
kemanusiaan, terkadang ada saja muncul sekelompok orang atau pihak lain yang
berusaha dan mengajaknya berbuat di jalur keburukan dan berlawanan dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
Seseorang atau pihak itu mengajak dengan cara
menjebak lewat doktrin yang bermuatan fundamentalisme kemanusiaan, yang pada
intinya memprovokasi dengan berbagai cara supaya seseorang itu tidak
sungguh-sungguh dan kalau perlu mengasingkan hidupnya dari kewajiban berdimensi
kemanusiaan dan gencar mempengaruhinya agar tersesat di jalan pembenaran
kebiadaban.