Penulis bersama dua orang Nenek (Ferek Fukun) foto bersama dengan latar rumah adat Suku Naisore, Kampung Numbei, Desa Kateri Kabupaten Malaka, NTT |
Suatu Siang itu terjadi sebuah demo mahasiswa di pusat
ibu kota Negara Indonesia, Jakarta yang berujung bentrok antara kelompok
pendemo dan aparat keamanan, dalam media sosial saya mengikuti
pemberitaan dan komentar yang ramai membahas fenomena demo yang
berujung penagkapan hari itu. Dari beberapa komentar yang muncul
ada sebuah komen yang sedikit menarik perhatian saya “pendemo yang itu kampungan”. Sontak
jari-jari saya yang sedang bermain-main dengan smartphone terhenti dan berpikir
sejenak, apa iya perbuatan-perbuatan mahasiswa itu tercermin dari watak dari
kampung dan kampung itu selalu saja negatif?
Kata kampungan memang sangat sering digunakan untuk
mereka yang berprilaku negatif, sering berbuat onar, anarkistik serta mereka
yang berbuat bodoh sering dikatakan kampungan. Kampung-an berasal dari
kata “kampung” dan akhiran-“an” yang diartikan bersifat orang
kampung (tolong kritik saya bila salah dalam penyampaian arti kata ini).
Sedang menurut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 228) kata ”kampungan” didefinisikan
sebagai hal yang: 1. berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum
modern); kolot; 2. tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar;
berandalan. Seperti itulah kamus besar bahasa Indonesia memperlakukan
orang-orang yang hidup di kampung. Jadi ketika mengatakan kampungan itu sebuah
ungkapan untuk mendefenisikan sifat orang-orang di kampung.
Saya adalah salah satu anak kampung yang kebetulan
setelah sempat melalang buana ke daerah kota dan sesekali pulang mudik kembali menetap di kampung. Namun di
kampung tidak melulu warganya itu berprilaku negatif, bahkan warga-warga di
kampung cermin dari prilaku budaya nusantara yang masih terjaga. Interaksi
antar sesama warga di kampung masih berjalan sebagaimana mestinya, jika anda
punya kesempatan ke kampung-kampung di wilayah Kabupaten Malaka lihatla,
di setiap pagi menikmati makan sirih pinang bareng dan sorenya anda akan
mendapatkan kehangatan antar tetangga ketika mereka duduk menikmati kopi sambil
bersenda gurau, melihat tawa anak-anak mereka yang sedang bermain di halaman
rumahnya. Bila anda masih meragukannya, sapalah warga di sekitar
kampung tersebut dan mereka akan menjawabnya dengan bonus senyuman yang ramah.
Senyuman ramah Ibu-ibu di Kampung Numbei selepas pulang dari aktivitas di kebun |
Warga di kampung memang sangat jauh akan modernisasi
bila dibandingkan dengan kota, tapi hal itu menjadi sebuah kesyukuran
tersendiri buat saya. Bisa jadi ketika modernisasi itu terbangun di kampung,
mungkin pola pikir warga kampung pun akan sama dengan pola pikir warga kota
yakni individualisme atau bahasa kerennya “urusanmu
yah urusanmu, urusanku yah urusanku”, tidak ada lagi interaksi hangat antar
sesama warganya yang menjadi daya tarik saat sore tiba.
Bahasa ibu negara ini saja sudah mendiskriminasikan
orang kampung. Mungkin pengungkap bahasa Indonesia tidak mengetahui kalau
semangat gotong royong di kampung itu masih berjalan dengan baik ketimbang di
kota, kalau kota itu tidak akan berjalan dengan baik bila tidak orang-orang
kampung tidak bertani ataupun berladang sebagai penopang kehidupan di kota.
Sedangkan kini kita setiap hari mendengar berita
kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu lalu apakah
mereka itu orang kampung? Lalu Apakah saya yang dari kampung, lantas
dengan sendirinya harus mendapat julukan kampungan?
Apa beda antara kampung dan kampungan? yang pertama
adalah lebih menunjuk kepada geografis atau lokasi dimana seseorang tinggal.
sementara yang yang kedua lebih menunjukkan suatu sikap yang “uncivilized” atau “uneducated” . bagaimana seseorang itu menyikapi sesuatu terlepas
orang itu dari kota maupun desa.
Dari pemikiran diatas, orang kampung tidak tepat
kalau dibilang kampungan hanya berdasarkan geografis. artinya orang kampung
bisa saja lebih “ngota” ketimbang orang-orang yang hidup dikota ketika
orang-orang kampung begitu respek dan simpati terhadap sesama.
Orang-orang yang tinggal dikota sebaliknya bisa saja
lebih kampungan dari orang-orang kampung, jika orang-orang kota cenderung egois
dan tidak punya respek baik terhadap sesama maupun terhadap alam.
Saya pun bertanya apakah korupsi yang terjadi di
pusat-pusat kekuasaan itu bagian dari sikap kampungan? rasa-rasanya, praktek
korupsi itu bukanlah praktek yang beradab, tapi justru risih dan menjijikan.
kalau korupsi itu praktek yang uncivilized,
berarti pelaku-pelaku korupsi itu baik dikota maupun di desa, adalah
orang-orang yang kampungan banget. Bisa jadi mobil mereka mewah, rumah mereka
megah, tapi sayang dihasilkan dari mentalitas kampungan mereka.
Orang kampung jangan bersedih hati hanya karena
tinggal di kampung. sebaiknya kampung kalian harus dikelola dengan
sebaik-baiknya. Tatalah kampung kita masing-masing dengan baik. Bangunlah
jiwa-jiwa entrepreneur untuk para
remaja desa agar menjadi generasi hijau dengan karaktek yang tegas dan kuat,
bukan generasi yang pintar mengeluh. Kampung kalian harus bersih sebersih
pikiran dan hati kalian. Bangun pula jiwa-jiwa kritis yang tidak mau dibodohi
oleh orang-orang yang ngakunya pintar tapi justru membodohi. Orang kampung
dengan karakter yang metropolitan dan well-civilized,
why not?