Para Uskup Papua Nugini dan Kepulauan Salomon Desak Dialog untuk Atasi Konflik Papua

Para Uskup Papua Nugini dan Kepulauan Salomon Desak Dialog untuk Atasi Konflik Papua

Aksi damai rakyat Papua pada 31 Mei 2016 untuk meminta dukungan negara-negara Pasifik Selatan bagi proses dekolonisasi Papua lewat mekanisme di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (Foto: dok.)




Setapak rai numbei Konferensi Para Uskup Papua Nugini dan Kepulauan Salomon mengimbau pentingnya dialog untuk mengatasi konflik berkepanjangan di Papua, wilayah paling timur Indonesia.

Mereka menyatakan, seruan itu muncul karena keperihatian terhadap kondisi orang Papua, yang merupakan warga sesama ras Melanisian.


Dalam seruan yang ditandatangani oleh Uskup Agung Anton Bal, ketua konferensi para uskup itu, dikatakan bahwa mereka tersentuh oleh seruan para pemimpin Kristen di Papua Barat “untuk kemanusiaan, keadilan, kebenaran, dan keselamatan bagi kawanan mereka.”


“Kami mengenang dalam doa meminta bimbingan Tuhan tentang cara yang bisa kami lakukan untuk mengungkapkan simpati dan solidaritas kami. Dia berbisik kepada kami agar penderitaan saudara dan saudari kami tetap dekat di hati kami saat kami bersiap untuk merayakan kelahirannya ke dunia saat Natal, ”kata mereka dalam seruan pada 21 Desember.


Para pemimipin Gereja di Papua, baik Katolik maupun Protestan, telah berulang kali menyampaikan seruan bagi perdamaian yang terjadi di wilayah itu, di mana konflik terus terjadi antara aparat Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan dengan korban terus berjatuhan termasuk dari masyarakat sipil .


Bulan lalu, 194 imam Katolik di wilayah itu meminta masyarakat internasional, termasuk PBB, untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam membawa perdamaian. Seruan serupa juga datang dari Dewan Gereja Protestan Papua Barat dalam pernyataan 25 November di mana mereka meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk mengunjungi Papua dan meminta pemerintah Indonesia “menghentikan kebijakan rasisme sistemik terhadap orang Papua.”


Para uskup mengatakan “ketika serangan dan kekerasan terjadi dan anak-anak terkena peluru, orang-orang bersembunyi di hutan atau melarikan diri melintasi perbatasan, ada sesuatu yang sangat salah dalam hubungan manusia.”


“Tidak ada kesepakatan internasional, inisiatif legislatif, proses pembangunan, dan apalagi aksi militer yang dapat membawa perdamaian dan harmoni: itu hanya dapat, melainkan, hasil dari sikap rendah hati dan mendengarkan semua pihak,” kata mereka.


Mereka mengatakan bahwa konflik selama lima puluh delapan tahun sejak Papua bergabung dengan Indonesia “adalah alasan yang cukup bagi semua orang untuk menerima bahwa Papua Barat bukanlah masalah yang mudah diselesaikan.”


Mereka menambahkan, kompromi politik mungkin tidak mudah dan mungkin tidak datang dengan cepat, tetapi, “sebagai prasyarat, itu membutuhkan larangan total penggunaan kekuatan dan tekad untuk bernegosiasi sampai kesepakatan tercapai untuk kepuasan semua pihak.”


Para uskup juga meminta PBB dan negara-negara Asia Tenggara dan Melanesia diizinkan untuk memfasilitasi proses tersebut.


“Kesepakatan dan resolusi di masa lalu membutuhkan negosiasi dan penyesuaian lebih lanjut karena perdamaian dan keamanan sejauh ini gagal terwujud. Dalam solidaritas dengan semua orang yang berkehendak baik, merindukan keselamatan dan rasa hormat, kami menyerukan perubahan yang positif dan bermakna di tahun mendatang. Tidak ada keraguan, tidak ada penundaan!” kata mereka.


Seruan itu muncul di tengah protes dan kritikan yang kerap dilancarkan oleh orang-orang Katolik di Papua pada para uskup di wilayah mereka dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang dianggap tidak peduli pada penderitaan mereka.


Sebuah pernyataan pada 7 Desember yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agats, Keuskupan Timika dan dari Ordo Fransiskan dan Agustian mengecam Kardinal Ignatius Suharyo, Ketua KWI terkait pernyataannya belum lama ini bahwa sikap resmi gereja Katolik terhadap masalah Papua itu “sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin undang-undang internasional.”


Mereka meminta kepada kardinal itu agar “dalam menyampaikan pernyataan sikap yuridis politis harus disertai sikap pastoral.”


Korneles Siep, seorang aktivis Katolik yang bekerja pada Komisi KPKC Fransiskan menyatakan, seruan para uskup Papua Nugini dan Kepulauan Salomon  itu menjawab kerinduan mereka terhadap gembala Gereja Katolik yang “peduli pada penderitaan orang-orang Papua.”


“Kami berharap dari Gereja Katolik Indonesia juga muncul seruan yang sama, tapi ternyata  tidak. Kami merasa di bawah seruan para uskup itu memberi kami kekuatan di tengah perjuangan agar kami bisa bebas dari konflik yang berkepanjangan,” katanya kepada UCA News, media Katolik Asia.


“Kami terus berharap, seruan itu bisa menggerakkkan lebih banyak pihak lagi untuk peduli dan tidak membiarkan orang Papua terus menjadi korban kekerasan,” tambahnya.

 




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama