Mereka menyatakan, seruan itu muncul karena
keperihatian terhadap kondisi orang Papua, yang merupakan warga sesama ras
Melanisian.
Dalam seruan yang ditandatangani oleh Uskup Agung
Anton Bal, ketua konferensi para uskup itu, dikatakan bahwa mereka tersentuh
oleh seruan para pemimpin Kristen di Papua Barat “untuk kemanusiaan, keadilan,
kebenaran, dan keselamatan bagi kawanan mereka.”
“Kami mengenang dalam doa meminta bimbingan Tuhan
tentang cara yang bisa kami lakukan untuk mengungkapkan simpati dan solidaritas
kami. Dia berbisik kepada kami agar penderitaan saudara dan saudari kami tetap
dekat di hati kami saat kami bersiap untuk merayakan kelahirannya ke dunia saat
Natal, ”kata mereka dalam seruan pada 21 Desember.
Para pemimipin Gereja di Papua, baik Katolik maupun
Protestan, telah berulang kali menyampaikan seruan bagi perdamaian yang terjadi
di wilayah itu, di mana konflik terus terjadi antara aparat Indonesia dan
kelompok pro-kemerdekaan dengan korban terus berjatuhan termasuk dari
masyarakat sipil .
Bulan lalu, 194 imam Katolik di wilayah itu meminta
masyarakat internasional, termasuk PBB, untuk memainkan peran yang lebih aktif
dalam membawa perdamaian. Seruan serupa juga datang dari Dewan Gereja Protestan
Papua Barat dalam pernyataan 25 November di mana mereka meminta Dewan Hak Asasi
Manusia PBB untuk mengunjungi Papua dan meminta pemerintah Indonesia
“menghentikan kebijakan rasisme sistemik terhadap orang Papua.”
Para uskup mengatakan “ketika serangan dan kekerasan
terjadi dan anak-anak terkena peluru, orang-orang bersembunyi di hutan atau
melarikan diri melintasi perbatasan, ada sesuatu yang sangat salah dalam
hubungan manusia.”
“Tidak ada kesepakatan internasional, inisiatif
legislatif, proses pembangunan, dan apalagi aksi militer yang dapat membawa
perdamaian dan harmoni: itu hanya dapat, melainkan, hasil dari sikap rendah
hati dan mendengarkan semua pihak,” kata mereka.
Mereka mengatakan bahwa konflik selama lima puluh
delapan tahun sejak Papua bergabung dengan Indonesia “adalah alasan yang cukup
bagi semua orang untuk menerima bahwa Papua Barat bukanlah masalah yang mudah
diselesaikan.”
Mereka menambahkan, kompromi politik mungkin tidak
mudah dan mungkin tidak datang dengan cepat, tetapi, “sebagai prasyarat, itu
membutuhkan larangan total penggunaan kekuatan dan tekad untuk bernegosiasi
sampai kesepakatan tercapai untuk kepuasan semua pihak.”
Para uskup juga meminta PBB dan negara-negara Asia
Tenggara dan Melanesia diizinkan untuk memfasilitasi proses tersebut.
“Kesepakatan dan resolusi di masa lalu membutuhkan
negosiasi dan penyesuaian lebih lanjut karena perdamaian dan keamanan sejauh
ini gagal terwujud. Dalam solidaritas dengan semua orang yang berkehendak baik,
merindukan keselamatan dan rasa hormat, kami menyerukan perubahan yang positif
dan bermakna di tahun mendatang. Tidak ada keraguan, tidak ada penundaan!” kata
mereka.
Seruan itu muncul di tengah protes dan kritikan yang
kerap dilancarkan oleh orang-orang Katolik di Papua pada para uskup di wilayah
mereka dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang dianggap tidak peduli
pada penderitaan mereka.
Sebuah pernyataan pada 7 Desember yang
ditandatangani oleh Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan
Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agats, Keuskupan Timika dan dari Ordo
Fransiskan dan Agustian mengecam Kardinal Ignatius Suharyo, Ketua KWI terkait
pernyataannya belum lama ini bahwa sikap resmi gereja Katolik terhadap masalah
Papua itu “sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin
undang-undang internasional.”
Mereka meminta kepada kardinal itu agar “dalam
menyampaikan pernyataan sikap yuridis politis harus disertai sikap pastoral.”
Korneles Siep, seorang aktivis Katolik yang bekerja
pada Komisi KPKC Fransiskan menyatakan, seruan para uskup Papua Nugini dan
Kepulauan Salomon itu menjawab kerinduan mereka terhadap gembala Gereja
Katolik yang “peduli pada penderitaan orang-orang Papua.”
“Kami berharap dari Gereja Katolik Indonesia juga
muncul seruan yang sama, tapi ternyata tidak. Kami merasa di bawah seruan
para uskup itu memberi kami kekuatan di tengah perjuangan agar kami bisa bebas
dari konflik yang berkepanjangan,” katanya kepada UCA News, media Katolik Asia.
“Kami terus berharap, seruan itu bisa menggerakkkan
lebih banyak pihak lagi untuk peduli dan tidak membiarkan orang Papua terus
menjadi korban kekerasan,” tambahnya.