Cover Cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu)
Tentang Penulis
Djenar Maesa Ayu lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Cerpen-cerpennya telah
tersebar di beberapa media massa di Indonesia seperti Kompas,
Republika, Cosmopolitan, Jurnal Perempuan, dan lain
sebagainya. Ia telah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen seperti “Mereka
Bilang, Saya Monyet!”, “1 Perempuan 14 Laki-Laki”, “Twitit”, juga novel yang
berjudul “Nayla”.
Djenar Maesa Ayu merupakan salah satu diantara beberapa penulis
perempuan yang mengusung tema perempuan dan gender dalam karya-karyanya. Judul
yang digunakan di setiap karya yang ditulisnya dibuat semenarik mungkin, bahkan
menjurus ke arah sensual, membuat karya-karya Djenar banyak dibicarakan oleh
pemerhati sastra. Misalnya saja salah satu judul cerpennya yaitu “Payudara Nai
Nai” yang sangat terang-terangan menyebut bagian tubuh perempuan dan menabrak
batas-batas tabu. Juga judul cerpen yang juga menjadi judul kumpulan cerpennya
yang terbit tahun 2003 “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” yang kontan
membuat pembaca penasaran dengan kumpulan cerpen tersebut.
Di balik judul-judul yang ‘berani’, Djenar juga merupakan
penulis yang suka bermain dengan simbol-simbol yang disampaikan melalui tokoh,
alur, dan lain sebagainya. Seperti dalam cerpen “Jangan Main-main (dengan
Kelaminmu” yang terdapat empat pencerita namun dengan pemikiran yang seragam
hanya saja melalui sudut pandang pencerita yang berbeda-beda. Hal tersebut
merupakan sesuatu yang eksperimental dan merupakan cirri khas Djenar, serta
dapat menambah efek estetik seperti yang diungkapkan Richard Oh pada esai
pembuka yang berjudul “Jangan Main-main dengan Djenar” dalam kumpulan cerpen
“Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” berikut
Merancang cerpennya dengan
kerangka seperti ini, Djenar berhasil menciptakan satu dampak yang memberi
nilai tambah. Efek satu dunia di mana para karakternya bermain-main dengan kata
dan manipulasi pernyataan tampak nyata.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
xxiii – xxiv)
Masih banyak lagi terobosan-terobosan Djenar yang tertuang dalam
karya-karyanya, akan tetapi pada tulisan ini hanya akan memberi perhatian
khusus mengenai karya-karya Djenar Maesa Ayu yang dipahami melalui pendekatan
feminis, mengingat Djenar adalah salah satu penulis perempuan yang hampir
seluruh karyanya bernafaskan pesan-pesan feminis di dalamnya.
Perempuan
dalam Karya Djenar Maesa Ayu
Tokoh-tokoh Perempuan yang diangkat Djenar Maesa Ayu sebagian
besar merupakan perempuan yang mengalami trauma karena keadaan keluarga yang
tidak harmonis atau perempuan yang tidak merasakan kasih sayang dari salah satu
orangtuanya. Seperti yang terdapat dalam cerpen “Payudara Nai Nai” yang
menceritakan seorang gadis bernama Nai Nai yang tidak pernah merasakan kasih
sayang seorang ibu.
Nai Nai lahir dari keluarga
yang sangat sederhana. Ayahnya bekerja sebagai pembersih pendingin ruangan
waktu siang dan penjual buku stensilan di daerah Pecenong waktu malam. Ibunya
sudah lama meninggal. Nai hanya tahu ibunya meninggal karena sakit parah tanpa
tahu persis apa jenis penyakitnya.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
109)
Karena ia tidak pernah mendapat pendidikan kewanitaan dari
seorang ibu serta kurangnya perhatian dari ayahnya, ia akhirnya mencari-cari
sendiri pendidikan seksual dari buku-buku stensilan dagangan ayahnya dan
diam-diam bermain-main dengan fantasinya sendiri.
Ketika Ayah bekerja di
siang hari, Nai sering membaca buku-buku stensilan yang sudah ayahnya
persiapkan untuk dijual malam harinya. Disantapnya berbagai cerita pengalaman
seksual seperti yang kerap didengar dari mulut teman-temannya, berikut
ilustrasi yang melengkapinya. Hampir semua perempuan dalam gambar-gambar yang
menghiasi buku-buku itu berpayudara seperti teman-teman perempuannya. Dan
hampir semua cerita yang ditulis dalam buku-buku itu menggambarkan betapa
lelaki begitu berhasrat kepada payudara besar, tapi tidak payudara rata.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
111)
Karya Djenar juga mengisyaratkan pentingnya peran keluarga yang
harmonis untuk membentuk karakter anak. Beberapa perempuan yang diceritakan
menjadi korban dari ketidakharmonisan keluarga sehingga merasakan apa yang
sebenarnya tidak ia rasakan jika memiliki keluarga yang harmonis, misalnya saja
menjadi objek seksual dari pacar ibunya, seperti yang terjadi dalam cerpen
“Lintah”.
Selain itu dalam kumpulan cerpen ini juga didominasi oleh kaum
perempuan yang berusaha tampil sempurna secara fisik karena terpengaruh oleh
selera kaum lelaki yang seakan diseragamkan dan merupakan konstruksi pikiran
budaya patriarki mengenai fisik perempuan yang ideal dan dianggap cantik.
Misalnya saja yang terdapat dalam cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”
ketika sang suami tidak lagi tertarik pada istrinya karena fisik sang istri
tidak lagi sempurna.
Perempuan yang mengalami kekerasan, baik kekerasan secara
seksual maupun secara rohani juga menjadi pembicaraan utama dalam beberapa
karya Djenar. Misalnya saja tokoh Nayla dalam cerpen “Menyusu Ayah” dan tokoh
dengan nama yang sama dalam novel “Nayla”.
Akan tetapi perempuan-perempuan yang digambarkan Djenar
merupakan perempuan yang akhirnya memutuskan nasibnya sendiri tanpa adanya
campur tangan dari orang lain dan sekaligus menafsihkan bahwa ia adalah
perempuan yang kuat. Latar yang diambil Djenar rata-rata merupakan perempuan
metropolitan, sehingga membaca karya Djenar sama seperti menyibak sisi lain
perempuan metropolitan di balik kesibukan mereka sebagai wanita karir di
kota-kota besar.
Feminisme
Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan.
Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan
laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.
Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan
terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki
laki.
Dalam perkembangannya secara luas, kata feminis mengacu kepada
siapa saja yang sadar dan berupaya untuk mengakhiri subordinasi yang dialami
perempuan.
Feminisme sering dikaitkan dengan emansipasi. Emansipasi, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai pembebasan atau dalam hal isu-isu
perempuan, hak yang sama antara laki laki dan perempuan.
Gerakan feminis dimulai sejak akhir abad ke- 18, namun diakhiri
abad ke-20, suara wanita di bidang hukum, khususnya teori hukum, muncul dan
berarti. Hukum feminis yang dilandasi sosiologi feminis, filsafat feminis dan
sejarah feminis merupakan perluasan perhatian wanita dikemudian hari. Di akhir
abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical
Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap
logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan
hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan
sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.
Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum
terhadap bertahannya hegemoni patriarchal. Segala analisis
dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata
diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran
sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya (manusia) untuk bertahan
hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang
abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan.
Para pakar feminis
menawarkan sebuah metode penelitian yang baru, yakni metodologi penelitian
feminis yang berangkat dari keprihatinan atas banyaknya penelitian tentang
hubungan gender yang pada akhirnya bias gender- dan ini memang sangat berkait
dengan pandangan ilmu sosial yang sangat seksis. Meski banyak kaum positivis,
terutama laki-laki yang sulit menerima metodologi ini, para tokoh feminis tetap
sepakat bahwa metodologi feminis akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kualitas hidup perempuan.
(Jurnal Perempuan, No. 48
tahun 2006, hlm. 48)
Judith Lorber menekankan bahwa metodologi feminis lalu menjadi
satu-satunya cara untuk mengetuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami
perempuan, dan dengan ini kaum feminis memberikan kontribusi unik pada ilmu
sosial tentang pola keterkaitan antar sebab dan akibat dari
pertanyaan-pertanyaan yang belum terlihat oleh peneliti yang tidak feminis.
Epistemologi feminis menolak nilai-nilai universalitas,
totalitas, rasionalitas, dan esensialis karena nilai-nilai semacam inilah yang
membuat perempuan terabaikan. Feminis menegaskan melalui konsep pemikirannya
bahwa identitas perempuan bukan sesuatu yang secara otonom dibangun, melainkan
dibentuk secara sosial. Hal ini berkaitan dengan makna dari “sex” dan “gender”
sendiri. Sex merupakan
hal yang bersifat alamiah, pemberian dari Tuhan, dan sulit untuk dirubah.
Sedangkan gender merupakan kontruksi dari masyarakat menyikapi peranan antara
laki-laki dengan perempuan.
Sastra
Feminis di Indonesia
Memasuki periode tahun 2000-an sastra Indonesia diwarnai oleh
jenis sastra yang membicarakan perempuan dengan cara penceritaan yang berani,
apa adanya, dan mendobrak batas-batas tabu sehingga tidak jarang menuai
kontroversi di kalangan masyarakat. Masyarakat memang cenderung sensitif dengan
hal-hal berbau seksualitas yang langsung diidentikkan dengan pornografi
sehingga kemudian muncul sebutan sastra selangkangan karena hanya membicarakan
mengenai seksualitas dan tubuh perempuan dalam karya sastra tersebut.
“Saman” karya Ayu Utami dianggap sebagai awal mula kemunculan
karya-karya bernafaskan feminisme ini, yang kemudian diikuti oleh nama-nama
seperti Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, Helvy Tiana Rosa, dan lain
sebagainya. Tulisan mengenai feminis memang tidak selalu ditulis oleh
perempuan, akan tetapi pada periode 2000-an ini memang dunia sastra feminis
sedang didominasi oleh perempuan yang seakan mewakili suara-suara kesetaraan
kaumnya.
Sejatinya karya-karya sastra yang memberi perhatian mengenai
kesetaraan gender sudah muncul sejak lama. Misalnya saja RA Kartini yang tidak
banyak dikenal sebagai penulis, padahal tulisan-tulisan beliau sangat
mencerminkan perjuangan terhadap kaum perempuan khususnya perempuan Jawa yang
pada masa itu masih terikat oleh adat istiadat yang berlaku.
Salah satu penulis perempuan lainnya yang juga dikenal sebagai
penulis feminis adalah NH Dini. Pengalaman NH Dini tinggal di beberapa negara,
khususnya negara Eropa yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih akan posisi
perempuan, membuat tulisan NH Dini sangat membela kaum perempuan yang mengalami
pelecehan dan ketidakadilan karena sistem kaum patriarki.
Djenar Maesa Ayu tampil sebagai penulis perempuan dengan gaya
penceritaan yang berani dan inovatif. Judul-judul yang kontroversial dan
kesetaraan yang disampaikan melalui karya-karyanya merupakan karakteristik
tulisan Djenar, seperti yang diungkap Richard Oh pada esai pembukanya dalam kumpulan
cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” berikut
Dalam perkembangan fiksi
dewasa ini, di mana segala cara bernarasi sudah pernah ditempuh penulis
sebelumnya, originalitas dalam pengucapan menjadi sangat penting bagi penulis
yang ingin memisahkan diri dari penulis lainnya.
Oleh sebab itu, dalam
kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) yang
tidak saja cukup berani menampilkan tema-tema yang kontroversial seperti Menyusu
Ayah, Djenar Maesa Ayu memperkenalkan suatu gaya penulisan yang menurut
saya merupakan pembaharuan yang berarti dalam perkembangan Sastra Indonesia
saat ini.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
xxvii)
Sampai saat ini sastra feminis semakin berkembang dan menjadi
warna tersendiri dalam dunia sastra Indonesia.
Penelitian
Sebelumnya Mengenai Karya Djenar Maesa Ayu
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Djenar Maesa Ayu
merupakan salah satu penulis yang memberi perhatian khusus terhadap kesetaraan
gender. Serta tulisan Djenar Maesa Ayu memiliki gaya penceritaan yang inovatif,
misalnya saja pada cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) yang menyajikan
empat sudut pandang di dalamnya dengan gaya penceritaan yang berbeda namun
jalan pemikiran yang sama. Begitu pula dengan cerpen “Saya Adalah Seorang
Alkoholik!” yang pada bagian akhir menceritakan kejadian yang dialami tokoh
dengan cara terbalik, artinya menceritakannya dari apa yang terjadi pada saat
ini kemudian mundur ke kejadian-kejadian sebelumnya dan diceritakan dengan gaya
mengigau yang mencerminkan psikologis tokoh tersebut.
Keunikan dan kontroversi yang menyertai Djenar Maesa Ayu membuat
karyanya banyak dijadikan bahan kajian baik dari segi feminisme, maupun dari
pandangan lainnya. Perbedaan pendapat memang sering kali terjadi pada
karya-karya yang dianggap nyeleneh dan baru dalam
dunia sastra Indonesia, akan tetapi hal tersebut semakin menggambarkan warna
dari penulis tersebut.
Beberapa penelitian yang menjadi bahan pertimbangan penulis
dalam menulis tulisan ini salah satunya adalah skripsi Indrawaty Dewi Rachmy
yang mengkaji karya Djenar Maesa Ayu dalam ranah erotisme. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra yang merefleksikan karya
sastra sebagai cerminan masyarakat pada saat karya tersebut di tulis. Hasil
penelitian tersebut adalah dipetakannya bentuk-bentuk erotisme dalam kumpulan
cerpen Djenar Maesa Ayu seperti yang terdapat dalam pengantar tulisannya
berikut ini.
Sikap erotis yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Jangan
Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu adalah
sebagai berikut.(1) mencari kesenangan yang dilatarbelakangi untuk memenuhi
suatu kebutuhan akan cinta, kasih sayang, perhatian, dan ketidakpuasan dalam
hubungan suami istri. (2) bersifat merayu, menggoda, dan genit yang bertujuan
untuk membangkitkan gairah seksual. Sikap tersebut merupakan perwujudan dan
respon individu terhadap obyek erotis dan situasi erotis yang berkaitan dengan
pengalaman, motivasi, emosi, persepsi, dan kognisi.
Perilaku erotis yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Jangan
Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar terjadi karena
adanya pengaruh dan respon individu terhadap obyek erotis dan situasi erotis
yang berkaitan dengan pengalaman, motivasi, emosi, persepsi, kognisi, dan
nilai-nilai yang telah teradopsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu.
Bentuk-bentuk perilaku tersebut adalah sebagai berikut. (1) Mencari kesenangan
dengan (a) perselingkuhan yang berpuncak dengan persetubuhan dan (b) gaya hidup
bebas yang menggambarkan perilaku seks bebas berganti-ganti pasangan. (2)
Membangkitkan gairah dengan cara (a) berimajinasi atau fantasi membayangkan
sesuatu yang berhubungan dengan seks untuk memberikan rangsangan dan
membangkitkan gairah seks dan (b) gerakan tubuh menggoda untuk memancing gairah
seksual, misalnya mencium, mencumbu, memeluk, mengusap, hembusan napas, dan
puncaknya adalah persetubuhan.
Selain itu Indrawaty Dewi Rachmy menulis bahwa penampilan erotis
juga diperlihatkan Djenar Maesa Ayu melalui penggambaran sensualitas tokoh
perempuan dengan bentuk tubuh yang ramping atau langsing berisi, rambut
panjang, paras cantik, pinggang bak biola, tinggi semampai, kulit putih dan
halus, pantat dan payudara besar, kaki belalang, dan masih banyak yang lainnya.
Selain itu, cara berpakaian juga dapat mengungkap penampilan erotis, di
antaranya adalah baju seksi dan potongan baju minimalis yang dapat menampilkan
lekuk-lekuk potongan bentuk tubuh. Dandanan atau make up pada perempuan
yang menimbulkan sisi erotis, yaitu berupa dandanan yang dapat membangkitkan
gairah, misalnya warna lipstik yang merah menyala, riasan wajah yang tebal, dan
lain sebagainya. Menurut saya, mengenai penampilan yang dideskripsikan penulis
dalam karyanya merupakan cara penulis untuk menggambarkan realita yang ada di
sekitar kita, juga untuk mendukung jalan cerita yang sedang dibangun sehingga
dapat menyampaikan maksud yang ingin disampaikan penulis. Erotis tidak dapat
kita pahami hanya sebagian kecil saja, namun juga keseluruhan dan benar-benar
memberikan efek bagi pembaca. Apakah jika penulis hanya menyebutkan bahwa tokoh
tersebut memiliki tubuh yang ramping dan pinggang bak biola lantas hal tersebut
dikatakan sebagai sesuatu yang erotis.
Menurut Tesaurus Bahasa Indonesia tahun 2008 halaman 157 sendiri
erotis berarti memberahikan, menggiurkan, merangsang, panas, seksi, sensual,
semok, seronok. Akan tetapi kembali lagi pada individu yang mendefinisikan
batas erotisme itu sendiri. Menurut saya beberapa cerpen Djenar Maesa Ayu
memang memiliki unsur-unsur erotis, namun saya tidak setuju jika penggambaran
tokoh yang dilakukan Djenar Maesa Ayu dikatakan erotis. Karena kembali lagi,
hal tersebut merupakan cara penulis mengungkapkan pemikirannya sehingga
menghasilkan kesatuan dalam karyanya serta batasan erotis yang kabur dan tidak
dapat disamaratakan bagi setiap orang.
Selain tulisan di atas masih banyak tulisan lain yang membahas
kumpulan cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” maupun karya-karya Djenar
Maesa Ayu lainnya baik ditinjau dari pendekatan sosiologi sastra, feminis,
semiotika, psikologi, maupun teori-teori lainnya. Semua penelitian tersebut
sejatinya mencoba memberikan apresiasi dan kritik terhadap karya-karya Djenar
Maesa Ayu dan menafsihkan nama Djenar Maesa Ayu dengan karya-karya sastra
feminisnya sebagai salah satu penulis perempuan yang patut untuk mendapat
tempat dalam dunia sastra Indonesia.
Penanaman
Konstruksi Patriarki Mengenai Tubuh Perempuan
Dalam kumpulan cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”
seringkali menggambarkan betapa perempuan harus berpenampilan semenarik mungkin
agar mendapat perhatian dari orang lain terutama kaum lelaki. Seperti yang
terdapat dalam cerita pendek “Moral”
Saya pergi ke spa. Banyak
hal yang perlu saya lakukan untuk persiapan pesta nanti malam. Sudah beli baju
mahal tapi diri kita sendiri kacau balau juga percuma. Antara baju dan pemakai
harus saling menunjang. Seksi boleh, tapi jangan terkesan jorok. Kalau pakai
rok mini tapi kakinya seperti pakai stocking bulu, tetap
saja tidak enak dilihat. Salah-salah jadi bahan tertawaan. Jadi saya mutlak
luluran supaya kulit berkilau dan tentunya cabut bulu kaki dan ketiak, dong…
juga rambut dan rias wajah. Tak apa pegal sedikit karena tidak leluasa bergerak
menunggu malam. Yang penting penampilan nanti malam harus yahud. Harus
menarik perhatian. Minimal tak kalah gaul!
Setelah mempersiapkan diri
habis-habisan, rasanya tidak sabar menunggu hingga acara nanti malam. Mau tidur
tapi tidak nyaman akibat rambut yang sudah di-blow natural.
Kompensasinya jadi ingin makan. Tapi itu pun tidak bisa saya lakukan karena
takut perut kelihatan besar. Celakanya lagi, saya hari ini belum juga buang air
besar. Akhirnya dengan hanya makan sekerat roti saya banyak mengkonsumsi kopi
untuk merangsang hajat supaya cepat-cepat keluar, tentunya dengan alasan supaya
perut tidak buncit tadi. Pokoknya saya ingin kelihatan sempurna mala mini.
Bayangkan, jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Kalau saya tidak
mengupayakan diri secara optimal, bagaimana nasib saya di kemudian hari? Umur
saya sudah dua puluh lima tahun. Belum punya pacar sungguhan. Lima tahun lagi
saya akan dicap sebagai perawan tua. Lima tahun sesudahnya lagi, jatah saya
cuma duda.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
27 – 28)
Dari penggalan cerpen di atas kita dapat melihat bagaimana usaha
keras dari tokoh perempuan dalam cerpen “Moral” untuk mempercantik dirinya
serta menjaga agar perutnya tidak terlihat buncit sehingga ia harus menjaga
pola makannya. Dan pada akhir paragraf kedua tokoh tersebut menceritakan bahwa
ia telah berumur dua puluh lima tahun dan ia belum memiliki kekasih yang rupanya
merupakan alasan utama tokoh tersebut menjaga penampilannya untuk menarik lawan
jenisnya. Karena jika ia tidak segera memiliki kekasih maka ia akan dicap
perawan tua oleh masyarakat.
Selain itu tokoh Nai Nai dalam cerpen “Payudara Nai Nai” juga
memiliki perasaan was-was yang sama karena tidak memiliki payudara yang besar
seperti yang dimiliki oleh teman-teman perempuannya yang lain, yang ternyata
merupakan idaman laki-laki di sekolahnya. Nai Nai merasa minder dengan bentuk
payudara kecil yang dimilikinya, hal ini seperti yang diceritakan dalam petikan
berikut
Apakah orangtuanya punya
pertimbangan tertentu ketika menamainya, Nai Nai tidak tahu menahu. Yang ia
tahu dalam bahasa moyangnya, Mandarin, Nai nai artinya payudara. Yang ia tahu
payudaranya tidak tumbuh sesuai bertambahnya usia dan pertumbuhan tubuhnya.
Yang ia tahu, teman-teman prianya sering menambahkan kata-kata ‘kecil’ di
belakang namanya. Yang ia tahu, teman-teman prianya menyukai payudara
teman-teman perempuannya, tapi tidak payudara Nai Nai.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
107)
Bahkan persoalan bentuk payudara perempuan memang selalu menjadi
pembicaraan oleh teman-teman pria Nai Nai. Maka karena itu Nai Nai selalu
mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-teman prianya, bahkan Yongki –
lelaki yang selama ini dikaguminya justru meledek ukuran payudaranya
Nai Nai masih ingat reaksi
Yongki ketika mereka saling bersalaman dan mengucapkan nama. Tanpa tenggang
rasa sedikit pun sesaat setelah mengerling kea rah payudaranya, Yongki
mengatakan nama Nai kurang pas kalau tidak ditambah dengan kata ‘kecil’. Nai
pun masih ingat reaksi teman-teman lain ketika mendengar ucapan Yongki. Ada
yang membuang muka. Ada yang menahan tawa. Tapi tidak sedikit juga yang tertawa
terbahak-bahak. Nai juga masih merasakan hangat menjalar di mukanya, dan leleh
air mata di pipinya. Juga masih bisa merasakan panas di telapak tangannya
ketika menampar mulut Yongki. Juga masih terbayang kilat mata Yongki ketika
tawa bahak yang ditujukan pada Nai berganti arah kepadanya. Juga masih terdengar
langkah berat Yongki menjauh dan rasa sakit merajam dadanya. Juga masih ada
rasa yang tidak pernah bisa Nai terjemahkan kecuali ketika sedang membaca
buku-buku stensilan yang akan diperjualbelikan ayahnya di daerah Pecenongan.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
112)
Perbuatan Yongki tersebut membuat Nai Nai nekat membaca
buku-buku stensilan yang berisi cerita-cerita dewasa kemudian membayangkan
bahwa pelaku dalam buku tersebut adalah dirinya dan Yongki. Nai Nai kemudian
menceritakan isi dari buku-buku tersebut kepada teman-temannya untuk
membuktikan bahwa payudaranya yang kecil tidak lantas membuatnya tidak memiliki
keterbatasan wawasan mengenai seks. Selain itu cerita-ceritanya tersebut juga
untuk menarik perhatian Yongki. Akan tetapi Nai Nai tetap tidak mendapat
perhatian Yongki karena bagaimana pun payudara kecil Nai Nai tidak menarik
Yongki.
Penggambaran fisik yang harus sempurna serta pendapat mengenai
perawan tua sejatinya merupakan pandangan laki-laki dalam menilai perempuan.
Sayangnya pandangan tersebut kemudian menjadikan panutan kaum perempuan untuk
menarik perhatian laki-laki. Laki-laki memang bebas menentukan batasan-batasan
mengenai kecantikan perempuan, akan tetapi perempuan seakan-akan tidak
diperkenankan dan tabu membicarakan fisik laki-laki yang sesuai dengan
keinginannya. Perempuan seakan-akan dituntut untuk nrimo dan tidak
mempermasalahkan urusan fisik pria.
Kebebasan
Akan Politik Tubuh
Adanya pandangan yang seakan menjadi pakem mengenai fisik
perempuan ideal yang bertubuh tinggi semampai, langsing, putih, memiliki
payudara besar, berambut panjang, dan lain sebagainya inilah yang kemudian
menuai kritik dari aktivis perempuan. Menurut mereka adanya pakem atau
standardisasi mengenai fisik perempuan ideal membuat perempuan berlomba-lomba
untuk tampil semenarik mungkin sesuai dengan keinginan laki-laki. Selain itu
hal tersebut juga kemudian menjadikan keseragaman selera dalam memandang
perempuan dan menimbulkan diskriminasi kepada perempuan-perempuan yang tidak
sesuai dengan standar selera yang telah digariskan oleh lelaki yang dalam hal
ini merupakan pelaku budaya patriarki.
Bahkan para aktivis tersebut berpendapat bahwa standar-standar
yang telah diungkapkan oleh kaum patriarki dalam memandang perempuan tersebut
lebih berpihak pada suatu ras tertentu, dalam hal ini adalah bangsa Eropa yang
memang memiliki kulit putih dan perawakan yang tinggi. Pertanyaannya sekarang
adalah bagaimana jika perempuan tidak dapat memenuhi standar selera tersebut
dikarenakan hal-hal yang bersifat kodrati. Misalnya saja perempuan Asia,
terutama Asia Tenggara dan Asia Selatan, yang secara umum memiliki
kecenderungan kulit gelap, perempuan yang memiliki payudara kecil seperti Nai
Nai, dan perawakan sedang. Juga perempuan Afrika yang memiliki kulit hitam dan
perempuan-perempuan lainnya di seluruh dunia yang dianggap tidak beruntung
karena tidak memenuhi standar-standar tersebut.
Sebenarnya setiap bangsa sejatinya memiliki standar-standar
kecantikan sendiri yang lagi-lagi telah disusun oleh kaum patriarki dalam
memandang perempuan. Misalnya saja yang terjadi pada perempuan Tionghoa zaman
dulu yang berlomba-lomba mengikat telapak kakinya dengan tali agar kakinya
lebih kecil dan bisa memakai sepatu-sepatu yang menarik. Konon perempuan yang
cantik menurut mereka adalah perempuan yang memiliki telapak kaki kecil.
Sedangkan lelaki Arab berpendapat bahwa perempuan yang layak untuk dinikahi
adalah perempuan yang memiliki pinggul besar karena perempuan tersebut akan
mampu menghasilkan banyak anak.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kaum lelaki selalu
menuntut perempuan memenuhi selera mereka. Bahkan ketika pasangan mereka tidak
lagi menarik, mereka tidak akan lagi menyentuhnya. Misalnya saja yang terjadi
dalam cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” ketika sang suami tidak lagi
tertarik pada istrinya yang telah berubah menjadi gemuk dan tidak lagi cantik,
maka ia beralih pada perempuan lain yang lebih muda dan dapat memuaskan hasrat
seksualnya.
Awalnya memang urusan
kelamin. Ketika pada suatu hari saya terbangun dan terperanjat di sisi seonggok
daging tak segar dipenuhi gajih yang tak akan mudah hilang dengan latihan senam
maupun fitness tiap
hari sekalipun. Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan onggokkan daging itu
dari lemak-lemaknya. Setelah itu pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan
kerut-merut di sekitar mata, kening, dan lehernya, hanya dapat tertolong oleh
bedah plastik. Kalau hanya akupuntur, entah berapa juta jarum yang harus
ditusukkan supaya dapat mengembalikan kekencangan semula.
………..
Anehnya, sejak hari itu, saya
lebih memilih lekas-lekas berada di tengah-tengah kemacetan dan segudang
rutinitas yang membosankan itu ketimbang lebih lama di rumah dan melihat
seonggok daging yang tak sedap dipandang dan suara yang tak sedap didengar.
Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya?
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
4)
Dari penggalan di atas terlihat bahwa sang suami mengomentari
perubahan-perubahan yang terjadi pada istrinya. Padahal ketuaan merupakan hal
alamiah yang terjadi pada setiap orang. Akan tetapi sang suami seakan tidak
memahaminya dan tidak mau peduli dengan perasaan istrinya.
Sebagai individu perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki dalam kebebasan menentukan pilihan hidup, tanpa campur tangan pihak
lain. Perempuan seharusnya memiliki kebebasan untuk mengatur kehidupannya
sendiri karena kebebasan merupakan hak asasi manusia (Humm, 1986). Hal tersebut
yang kemudian dilakukan oleh tokoh istri yang memilih untuk meninggalkan
suaminya meskipun ia dalam keadaan hamil karena ia merasa direndahkan oleh
suaminya yang jarang berada di rumah dan tidak menghargainya seperti yang
terdapat dalam petikan berikut ini
Saya heran. Kehamilan saya
sepertinya tidak juga membuatnya bahagia. Ia lebih kelihatan bingung. Saya
merasa kehamilan ini bukanlah karunia baginya melainkan penderitaan yang kelak
akan memerangkapnya untuk tetap bertahan dalam mahligai rumah tangga. Saya
tidak berlebihan. Ia lebih jarang ada di rumah sekarang. Mungkin saya sudah
terlalu lama merendahkan diri saya sendiri dengan membiarkannya menginjak-injak
harga diri saya selama pernikahan kami. Tapi jangan harap ia bisa melakukan hal
yang sama kepada anak saya. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Saya berhak
menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
12)
Bahkan ketika suaminya meminta maaf dan meminta untuk diberi
kesempatan berubah, sang istri tetap tidak bergeming dan tetap pada
keputusannya untuk meninggalkan suaminya.
Jika sebelumnya perempuan digambarkan ingin cantik dan berusaha
untuk tampil sebaik mungkin agar dapat memikat lawan jenis, berbeda dengan
Nayla (hlm 37) dalam cerpen Menyusu Ayah yang justru
apa adanya menyebut dirinya tidak cantik akan tetapi tidak bermasalah dengan
ketidaksempurnaan fisiknya tersebut. Justru bagi Nayla ia tidak peduli dengan
ketidaksempurnaan fisiknya, terutama ukuran payudaranya, karena ia tidak mau
dinikmati laki-laki, seperti pernyataan di bawah ini
Potongan rambut saya
pendek. Kulit saya hitam. Wajah saya tidak cantik. Tubuh saya kurus kering tak
menarik. Payudara saya rata. Namun saya tidak terlalu peduli dengan payudara.
Tidak ada pentingnya bagi saya. Payudara tidak untuk menyusui tapi hanya untuk
dinikmati lelaki, begitu kata Ayah. Saya tidak ingin dinikmati lelaki. Saya
ingin menikmati lelaki, seperti ketika menyusu penis Ayah waktu bayi.
(Djenar Maesa Ayu, 2004
: 37)
Dalam petikan di atas terlihat bahwa Nayla ingin memiliki
kebebasan akan tubuhnya. Ia sengaja tidak ingin dinikmati laki-laki dan justru
ingin menikmati laki-laki. Walaupun pada akhirnya ia kalah akan perlakuan salah
satu rekan ayahnya yang menyetubuhinya dan menyebabkan kehamilan pada Nayla.
Kebebasan akan tubuh juga disuarakan Nayla dalam kalimat Nama
saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena,
saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya
tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah. yang
diulang dua kali dalam cerpen “Menyusu Ayah” tersebut merupakan suatu bentuk
ekspresi penegasan Nayla akan dirinya sebagai perempuan yang tidak ingin
diremehkan hanya karena ia berjenis kelamin perempuan. Selanjutnya Nayla
menyatakan bahwa sebagai perempuan ia juga memiliki hak untuk berpenampilan dan
berperilaku layaknya laki-laki karena memang itulah yang dilihatnya selama
diasuh oleh ayahnya. Pernyataan Nayla berikut ini Saya mengenakan celana pendek atau
panjang. Saya bermain kelereng dan mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan
berkelahi. Saya kencing berdiri. Saya melakukan segala hal yang dilakukan anak
laki-laki. – sebagai mencerminkan adanya perubahan pola pikir
dan usaha untuk mendekonstruksi pemikiran akan perilaku perempuan yang seakan
telah menjadi mainset dalam masyarakat. Saya mengenakan
celana pendek atau panjang, misalnya dan bukan mengenakan rok sebagaimana
penggambaran perempuan yang selama ini digambarkan masyarakat.
Kebebasan akan tubuh juga disuarakan dalam cerpen “Staccato”
dimana tokoh perempuan dalam cerpen tersebut diceritakan memiliki kebebasan
untuk menentukan kehidupannya sendiri karena sang suami tidak lagi peduli akan
istrinya karena kesibukan akan pekerjaannya. Karena tidak mendapat kepuasan
dari suaminya maka akhirnya ia merasa bukanlah suatu hal yang salah jika ia
kemudian mencari kesenangan dengan pria-pria lainnya.
Sore hari. Suami tidak bisa
dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tidak mau diganggu dan ponselnya
mati. Padahal sudah janji ikut ke party. Padahal sudah khusus beli baju seksi.
Harganya mahal sekali. Buat suami. Jarang disentuh akhir-akhir ini. Sakit hati.
Pesan taksi. Pergi ke salon Sugi. Dandan funky. Rambut gimbal. Kaus ketat.
Sepatu boot. Rok mini. Wow! Cantik sekali! Para stylist memuji. Percaya diri.
Berangkat ke party. Tanpa suami.
(Djenar Maesa Ayu, 2004 :
68)
Padahal sang istri sudah mencoba untuk menghubungi dan mengajak
suami berinteraksi tapi suaminya tidak bereaksi. Akhirnya sang istri memutuskan
untuk pergi ke pesta sendiri tanpa suami.
Penutup
Dengan menggambarkan perempuan-perempuan yang memiliki trauma
seksual, perempuan yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan, perempuan yang
hidup dalam keluarga yang tidak harmonis, dan perempuan-perempuan yang
mengalami ketidaksetaraan lainnya, Djenar Maesa Ayu menyampaikan pesan
kesetaraan yang sangat pentinglah penting bagi kaum perempuan agar mereka tidak
lagi dianggap sebagai masyarakat nomor dua.
Daftar
Pustaka
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-main (dengan Kelaminmu).
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Humm, Maggie. 1986. Feminist Criticism: Woman as Contemporary
Critics. London: The Harvester Press.
Haryatmoko, “Dominasi Laki-Laki Melalui Wacana” dalam Feminis
Laki-Laki: Solusi atau Persoalan?, Jakarta, Yayasan Jurnal
Perempuan, 2001.
Rachmy, Indrawaty Dewi. 2006. Representasi Erotisme dalam Kumcer Jangan
Main-main (dengan Kelaminmu). Skripsi. Jurusan Pendidikan
Universitas Negeri Malang.
Srinarti, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori
Budaya Populer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Tesaurus
Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Yayasan Jurnal Perempuan edisi Pengetahuan Perempuan. Nomor 48
tahun 2006.