Ilustrasi Pekerja di kebun Anggur |
Alienasi adalah suatu hubungan yang aneh, ketika
bekerja tidak lagi menjadi sebuah ekspresi dari tujuan hidup, namun kita merasa
hubungan tersebut (seakan-akan) bersifat alamiah. Alienasi dalam pendekatan
dialektis Marx merupakan kontradiksi dari kerja dalam naungan kapitalisme,
namun seiring berjalannya waktu, kapitalisme dengan sangat cantik terus
mengelaborasi cara bagaimana hubungan (alienasi) tersebut tetap terjaga namun
dalam bungkus yang lebih tampak ‘humanis’ tentunya. Menurut Marx, alienasi akan
berakhir bila manusia mampu mengungkapkan secara utuh kegiatannya untuk diri
mereka sendiri, sehingga ekspolitasi dan penindasan tidak menjangkiti manusia
lagi. Marx juga mengingatkan alienasi tidak bisa dipecahkan hanya dalam
pikiran, butuh obat radikal dengan perubahan sosial yang benar-benar nyata.
Sekarang mari mulai bicara tentang obat tersebut.
Jika Marx dulu pernah berasumsi bahwa pada hakikatnya manusia membutuhkan
bekerja secara kooperatif, dalam kapitalisme, kooperasi (kerjasama)
dihancurkan, manusia dipaksa untuk bekerja bagi kapitalis. Nah, asumsi
Marx tersebut yang kini sedang saya coba bangun kembali, kooperasi dalam artian
koperasi, koperasi yang sering kita dengar (katanya) sebagai sokoguru ekonomi
di Indonesia. Bila pertanyaannya, seradikal itukah koperasi hingga mampu
menjadi obat penawar alienasi, saya jawab ‘iya!’ Dan jawaban lengkapnya adalah
koperasi pekerja.
Koperasi Pekerja
Kita analogikan alienasi sebagai penyakit endemik
dalam tubuh kapitalisme. Untuk itu mari kita bawa alienasi ini ke ruang operasi
dan kita bedah bersama unsur-unsurnya. Untuk membedahnya, saya meminjam
penjelasan simple dari Ritzer (2011) yang mengungkapkan (kembali) unsur-unsur
dasar alienasi dalam sistem kapitalisme. Pertama, para pekerja
teralienasi dari aktivitas produktif mereka. Kedua, para pekerja
teralienasi dari tujuan aktivitas tersebut atau atas apa yang
diproduksinya. Ketiga, para pekerja teralienasi dari kegiatan sosial
dengan sesamanya. Dan keempat potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh
setiap pekerja menjadi tidak berarti.
Sebelum memulai pembedahan, saya akan memperkenalkan
terlebih dulu apa itu koperasi pekerja. Sederhananya koperasi pekerja adalah
perusahaan koperasi yang dimiliki dan dikontrol oleh para pekerjanya. Tujuan
utama dari koperasi pekerja adalah menjadikan pekerja-pekerjanya sebagai
anggota. Tiap-tiap anggota memberikan andil terhadap permodalan perusahaan, dan
tiap-tiap anggota, berapapun besarnya andil dalam modal perusahaan, memiliki
hak suara yang sama di dalam perusahaan. Harta koperasi adalah kepemilikan
kolektif dan surplus atau keuntungannya dialokasikan kepada para pekerjanya,
tergantung pada kebijakan yang diambil oleh koperasi.
Dalam korporasi dikenal istilah one share one vote, semakin besar share saham,
semakin tinggilah kedudukan suaranya. Atau dengan kata lain, si orang
yang memiliki share terbanyak inilah yang menjadi sosok kapitalis,
dengan segala dalil kebebasan, seolah-olah orang tersebut menjadi wajar bila
berhak mengkerangkeng para pekerjanya. Intinya, dengan segala kekuatan kapital
yang dimilikinya, semua bisa jadi ‘terserah gue!’.
Beda halnya dalam koperasi pekerja, tiap anggota
memiliki satu suara, berapapun jumlah ‘saham’ yang mereka miliki. Mereka
memiliki suara yang sama di dalam bisnis dan keputusan-keputusan yang diambil
di tempat mereka bekerja sehari-harinya. Para anggota mengkombinasikan
keahlian-keahlian, ketertarikan, dan pengalaman mereka untuk mencapai tujuan
bersama dengan cara menciptakan pekerjaan untuk diri mereka sendiri,
menciptakan demokrasi di tempat kerja.
Selanjutnya mari kita mulai membedah alienasi. Unsur
pertama, para pekerja teralienasi dari aktivitas produktif mereka. Kerja dalam
sistem kapitalisme adalah bekerja untuk kapitalis, yang mana tiap detik orang
yang menjadi bos atau si pemilik share saham bisa berubah-ubah. Hari
ini si A, besok si B, lusa ada merger, akuisisi atau apapun sebagai
konsekuensi logis dari sebuah mimpi bernama persaingan sempurna. Para pekerja
bekerja tidak memproduksi objek-objek berdasarkan ide mereka sendiri, mereka
bekerja untuk si kapitalis yang memberi upah untuk keberlangsungan hidup,
tentunya dengan cara yang diinginkan oleh si kapitalis. Ditambah dengan
spesialisasi dalam pembagian kerja, yang membuat pekerjaan mereka menjadi
terasa tidak terlalu berarti bagi keseluruhan produksi. Akhirnya para pekerja
teralienasi dengan aktivitas produktifnya yang-telah menjadi milik si
kapitalis. Lalu, bagaimana dengan koperasi pekerja? Dalam koperasi pekerja
aktivitas produktif murni adalah milik para pekerjanya, tidak ada perebutan
aktivitas produktif dalam koperasi.
Koperasi adalah kumpulan orang dengan tujuan yang
sama, landasannya adalah sukarela dan terbuka. Jika pekerja cocok dengan jenis
kerja, sesuai dengan kemampuan dan kesukaannya, pekerja secara sadar bisa
bergabung dan ikut berproduksi (dengan catatan rasionalisasi dan efisiensi
jumlah pekerja). Sebagai gerakan otonom, koperasi pekerja bekerja untuk dirinya
sendiri. Ide-ide mereka untuk berinovasi dan berkreatifitas tidak terkekang
oleh si kapitalis, karena dalam koperasi pekerja, mereka bisa menciptakan
perusahaan dan lapangan kerja baru dan perusahaan itu dimiliki semua
anggota/pekerjanya, tidak dimiliki oleh segelintir orang saja. Dengan kekuatan
kolektif dan otonomnya, para pekerja bekerja memproduksi objek-objek
berdasarkan ide-ide mereka sendiri.
Unsur kedua, teralienasi dari tujuan aktivitas
produksi, yaitu produk. Dalam sistem kapitalisme, produk kerja para pekerja
tidak menjadi milik mereka, melainkan menjadi hak milik pribadi para kapitalis.
Kemudian kapitalis akan menggunakan hak miliknya untuk menjual produk demi
mendapatkan keuntungan. Dari pola ini, adalah sah, misal, dari setiap produk
sepasang sepatu Nike yang seharga satu juta rupiah, si pekerja cukup
diberi upah lima ribu rupiah, karena produk sepatu Nike bukan milik
para pekerjanya, tetapi milik si kapitalis. Atau para pekerja di sebuah pabrik
roti yang bisa mati kelaparan, karena tidak kuat membeli roti yang mereka bikin
sendiri. Mereka harus menunggu gaji/upah dari kapitalis untuk bisa membeli roti
yang dibuatnya itu.
Dalam nalar koperasi pekerja, alienasi atas produksi
ini diruntuhkan. Sebagai anggota yang juga pemilik koperasi, si pekerja
memiliki secara utuh apa yang diproduksinya dengan cara mengontrolnya bersama
dari mulai bentuk, kuantitas, distribusi produksi dan sebagainya. Walau dalam
epos hari ini, epos kapitalisme, produk tersebut bisa terpeleset
bertransformasi menjadi komoditas karena ke-nilai tukarannya yang dipaksa
dengan didistribusikan ke pasar. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak akan
memperdebatkan itu secara mendalam agar tidak terjebak menjadi kontra-produktif
tentang tawaran gagasan koperasi ini. Maklum, perlu diakui, orang-orang kiri
jarang menyentuh koperasi sebagai suatu gagasan yang revolusioner. Namun
sebagai jawaban sementara, dalam terminologi gerakan koperasi, pasar yang
diperkenalkan adalah fair market sebagai pewujudan salah satu prinsip
koperasi, yakni kerjasama antar koperasi. Jadi, jejaring dalam gerakan koperasi
merupakan jejaring kerjasama yang tidak dominatif atau ber-ruh kompetisi.
Ketiga, yang menjadi soal adalah para pekerja
teralienasi dari kegiatan sosial dengan sesamanya. Film bernuansa kritik karya
Charlie Chaplin, Modern Time,
begitu menggambarkan bagaimana para buruh pabrik bak robot mekanis yang terus
berulang melakukan aktivitas yang sama. Tak ada komunikasi dan ihwal yang
bersifat sosial berlaku dalam pabrik, karena ngobrol antar pekerja di
ruang produksi dianggap bisa mengurangi produktivitas. Begitulah gambaran mode
produksi kapitalisme bekerja, yang pada intinya, tenaga kerja mengalami proses
alienasi atau keterasingan yang membuat kerja tidak lagi bagian dari fitrah
manusia, melainkan proses rutin yang menjemukan. Seiring dengan perkembangan
jaman, perubahan humanisasi di ruang kerja terus dibangun, dengan kamuflase bernama
profesionalitas dan semacamnya. Namun secara esensi, jika diperhatikan,
sebenarnya tidak ada perubahan. Dalam membaca ini kita perlu sedikit hati-hati,
karena ini bukan perihal teknis semata tentang kedisiplinan kerja. Dalam
diktum-diktum buku manajerial, tidak sedikit yang membincangkan dengan klaim
‘akademik’ bahwa kedisiplinan dalam aktivitas kerja itu penting, sehingga akan
dianggap lumrah bila para pekerja dilarang mengobrol ini-itu atau melakukan
sesuatu di luar SOP yang ditentukan. Namun, dalam hal ini, kita perlu menarik
ini lebih jauh lagi agar tidak terkatung di permukaan. Kiranya kita perlu
kembali mengingat, dalam Marxisme pun perlu penelaahan yang ketat dan disiplin.
Dengan kata lain, disiplin adalah bagian dari Marxisme. Nah, dalam koperasi
pekerja, tujuan aktivitas produksinya merupakan hasil dari semangat
kolektifitas serta segala proses yang berjalan tiada lain merupakan kesepakatan
bersama, termasuk perencanaan dan pelaksanaan aturan-aturan harian dalam
berproduksi. Dalam telaah koperasi pekerja, para pekerja bisa bebas dari
keterasingan. Pasalnya, ketika kedisiplinan muncul sebagai aturan utama dalam
koperasi pekerja, hal itu tiada lain merupakan hasil ekspresi bersama seluruh
anggota. Dalam hal ini, pekerja tidak terlepas dari ihwal sosialnya, aturan
disiplin bukan merupakan dikte si pemilik modal.
Dalam koperasi pekerja, relasi yang terjalin di
antara anggota/pekerja tidak saling mengsubordinasi. Pekerja bekerja untuk
mengekspresikan diri, bukan untuk berkompetisi di antara para pekerja seperti
halnya yang seringkali terjadi di dunia korporasi, dimana si kapitalis sering
mengadu para pekerja agar berlomba untuk menjadi yang lebih giat, rajin, dan
cepat melakukan kerjanya. Belum lagi, hari ini sistem kerja yang dibangun
sangat menguntungkan kapitalis, seperti hadirnya sistem kerja kontrak dan outsourcing. Si
kapitalis tinggal duduk kalem menonton para pekerja yang secara horizontal
dipertarungkan. Pekerja yang berprestasi dan paling produktif akan diberi
imbalan lebih, sementara yang kalah akan dibinasakan. Koperasi pekerja adalah
pembalikannya. Nilai kerjasama menjadi menu utama dan keniscayaan dalam
koperasi. Soal operasionalisasi nilai ini, koperasi melangkah lebih maju
dibanding dengan teriakan revolusi yang sering kita dengar di jalan-jalan yang
masih abstrak itu. Dalam perjalanannya, sejak Robert Owen menggagas model
koperasi sampai detik ini, koperasi bisa berjuang dan bertahan hidup dengan
caranya. Koperasi tidak mudah terjebak dalam kata-kata brosur-pamflet yang
retorik.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana sejumlah
besar pekerja memproduksi komoditas demi keuntungan segelintir kapitalis. Namun
kapitalisme bukan semata sistem ekonomi, yang lebih penting adalah bahwa ia
juga merupakan sistem kekuasaan. Rahasia kapitalisme adalah kekuatan-kekuatan
politis yang telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi (Wood, 1995). Dalam
praktiknya, para kapitalis bisa memaksa dan sewenang-wenang ‘membunuh’ para
pekerjanya dengan ancaman PHK, relokasi atau menutup pabrik-pabriknya. Dengan
kekuasaanya, bukan soal sulit bagi para kapitalis untuk meruntuhkan potensi
kemanusiaan yang dimiliki para pekerjanya. Inilah persoalan alienasi
selanjutnya, para pekerja teralienasi dari potensi kemanusiaannya sendiri.
Dalam kapitalisme pekerja ditransformasikan menjadi mesin-mesin kerja. Semuanya
sudah diprogram sedemikian rupa termasuk senyum-senyum dan sapa hormat yang
diberikan para pekerja. Kerja sama sekali tidak lagi menjadi ekspresi manusia,
kebebasan manusia sangat terbatas. Terkait problem ini, koperasi pekerja
memiliki prinsip utama berupa sukarela dan terbuka. Sukarela yakni tanpa
paksaan, dan terbuka berarti koperasi senantiasa wajib bersifat inklusif, beda
halnya dengan korporasi yang sangat ekslusif. Misal, para pekerja di Bakrie
Group sama sekali tidak bisa sekonyong-konyong menjadi pemilik perusahaan.
Kesukarelaan dan keterbukaan menjadi fundamen dalam gerak-gerik koperasi untuk
menghargai esensi kemanusiaan para pekerja. Dalam hal ini, sederhananya pekerja
bisa memilih ruang atau koperasi pekerja mana saja yang bisa menjadi media
aktualisasi dirinya. Orang yang senang A, ia harus menjadi anggota koperasi A.
Yang hobi B, dia harus bergabung dengan koperasi B.
Sedikit penjelasan di muka tentang koperasi pekerja
yang ternyata mampu menjadi proyeksi untuk meng-counter sistem ekonomi
yang kapitalistik. Seperti yang dibahasakan sebelumnya, koperasi bisa menjadi
obat yang radikal. Namun, yang jelas perjuangan ini tidak semudah membalik
telapak tangan. Secara diskursus pun, koperasi masih dipandang sebelah mata,
baik oleh orang kiri, aktivis atau akademisi. Bahkan ada beberapa di antaranya
yang merasa alergi. Apalagi melihat realitasnya, di Indonesia belum ada
koperasi yang patut menjadi contoh konkret. Namun optimisme harus dibangun,
koperasi adalah penciptaan momen dan kita harus setia terhadap momen yang
diciptakan. Koperasi adalah gerakan disiplin diri untuk membangun kesadaran
serta keinsyafan rakyat dan mengoordinasikan sumber daya yang penting untuk
perjuangan.
Marx mungkin bukan anggota koperasi dan tidak pernah
memberi penjelasan tentang koperasi, namun dari pembedahan kontradiksi internal
kapitalismenya, kita bisa menjadi paham syarat pembalikannya, dan koperasi bisa
menjadi anti-tesisnya. Satu lagi, dia pun pernah berseru ’Kaum Buruh Sedunia,
Bersatulah!,’ bila begitu kenapa kita tidak sedikit mengubahnya menjadi:
’Kaum Buruh Sedunia, Berkoperasilah!’***