banner Manusia dan Peristiwa : Sebuah Simfoni Kerumitan Emosi di Panggung kemanusiaan

Manusia dan Peristiwa : Sebuah Simfoni Kerumitan Emosi di Panggung kemanusiaan



Suara Numbei News - Di pusaran waktu yang terus berputar, manusia berdiri hanya seperti titik kecil dalam semesta yang begitu luas. Di pundaknya, ia memikul beban sejarah sebagai khalifah di atas bumi. Ia adalah makhluk biologis, yang dibentuk oleh rangka genetik dan hukum evolusi. Ia juga merupakan medan gemuruh emosi, kerinduan, dan harapan.

Di lintasan sejarah hidupnya mengalir kesedihan, cinta, amarah, dan rindu. Sebuah simfoni yang tak dapat direduksi begitu saja menjadi reaksi kimia.

Begitulah, setiap peristiwa yang menimpa manusia bukanlah sekadar rangkaian sebab-akibat mekanistik. Ia adalah cermin dari eksistensi yang rapuh dan penuh tafsir. Bencana, perpisahan, pertemuan, bahkan secangkir teh yang tumpah di pagi hari, semuanya bisa menjadi titik tumpu yang mengguncang dan membentuk batin manusia. Di sinilah letak keajaiban manusia, yang tidak hanya mengalami peristiwa, tetapi mampu menafsirnya, menyematkan maknanya. Dan menganyam narasi dari kepingan waktu yang berserakan.

Emosi manusia adalah bentuk pengetahuan yang belum sepenuhnya terpetakan. Ia bukan lawan dari rasio. Ia bahasa purba yang menyingkap kedalaman jiwa.

Sains menjelaskan bagaimana amigdala bereaksi terhadap ancaman. Namun puisi menjelaskan bagaimana rasa takut membuat dunia mengecil. Filsafat hadir di antara keduanya, mencoba memberi nama pada yang tak terucap. Menggali hikmah dari luka kemanusiaan.

Kebahagiaan bukanlah puncak pencapaian hidup, dan penderitaan bukanlah dasar jurang kehidupan. Semua itu laksana gelombang kehidupan yang mengukir dan membentuk batin manusia. Di antara keduanya, ada kesadaran akan keterbatasan. Dan dari sanalah tumbuh kebijaksanaan. Seperti ungkapan Herakleitos bahwa segalanya mengalir. Sehingga manusia pun mengalir bersama waktu, yang terus berubah dalam arus pengalaman yang tak pernah berhenti.

Namun, adakah hakikat keabadian terungkap dari semua fenomena itu? Apakah emosi hanyalah ilusi evolusioner. Atau ia adalah gema dari realitas yang tak terkatakan? Pastinya, manusia memang tak akan pernah tahu sepenuhnya. Tapi dalam ketidaktahuan itu, manusia menciptakan seni, menulis puisi, merintis ilmu, dan menjalin kasih. Itu semua adalah bentuk tertinggi dari perlawanan terhadap absurditas. Memberi makna meski tahu bahwa segalanya fana.

Pada akhirnya, manusia adalah cerita yang terus ditulis oleh peristiwa, dengan tinta emosi dan pena kesadaran.

Dan...

Setiap manusia adalah perpustakaan yang terbuka. Menyimpan semesta kecil dalam dirinya.



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama