Di lintasan sejarah
hidupnya mengalir kesedihan, cinta, amarah, dan rindu. Sebuah simfoni yang tak
dapat direduksi begitu saja menjadi reaksi kimia.
Begitulah, setiap
peristiwa yang menimpa manusia bukanlah sekadar rangkaian sebab-akibat
mekanistik. Ia adalah cermin dari eksistensi yang rapuh dan penuh tafsir.
Bencana, perpisahan, pertemuan, bahkan secangkir teh yang tumpah di pagi hari, semuanya
bisa menjadi titik tumpu yang mengguncang dan membentuk batin manusia. Di
sinilah letak keajaiban manusia, yang tidak hanya mengalami peristiwa, tetapi
mampu menafsirnya, menyematkan maknanya. Dan menganyam narasi dari kepingan
waktu yang berserakan.
Emosi manusia adalah
bentuk pengetahuan yang belum sepenuhnya terpetakan. Ia bukan lawan dari rasio.
Ia bahasa purba yang menyingkap kedalaman jiwa.
Sains menjelaskan
bagaimana amigdala bereaksi terhadap ancaman. Namun puisi menjelaskan bagaimana
rasa takut membuat dunia mengecil. Filsafat hadir di antara keduanya, mencoba
memberi nama pada yang tak terucap. Menggali hikmah dari luka kemanusiaan.
Kebahagiaan bukanlah
puncak pencapaian hidup, dan penderitaan bukanlah dasar jurang kehidupan. Semua
itu laksana gelombang kehidupan yang mengukir dan membentuk batin manusia. Di
antara keduanya, ada kesadaran akan keterbatasan. Dan dari sanalah tumbuh
kebijaksanaan. Seperti ungkapan Herakleitos bahwa segalanya mengalir. Sehingga
manusia pun mengalir bersama waktu, yang terus berubah dalam arus pengalaman
yang tak pernah berhenti.
Namun, adakah hakikat
keabadian terungkap dari semua fenomena itu? Apakah emosi hanyalah ilusi
evolusioner. Atau ia adalah gema dari realitas yang tak terkatakan? Pastinya,
manusia memang tak akan pernah tahu sepenuhnya. Tapi dalam ketidaktahuan itu,
manusia menciptakan seni, menulis puisi, merintis ilmu, dan menjalin kasih. Itu
semua adalah bentuk tertinggi dari perlawanan terhadap absurditas. Memberi
makna meski tahu bahwa segalanya fana.
Pada akhirnya, manusia
adalah cerita yang terus ditulis oleh peristiwa, dengan tinta emosi dan pena
kesadaran.
Dan...
Setiap manusia adalah
perpustakaan yang terbuka. Menyimpan semesta kecil dalam dirinya.