Surat Terbuka: Aku dan Kamu, Antara Rembulan dan Matahari yang Tak Bersatu

Surat Terbuka: Aku dan Kamu, Antara Rembulan dan Matahari yang Tak Bersatu

Kita hanya bisa saling menatap


MELARISSA BENEDICTA


Setapak rai numbei  - Terdengar klise memang, saat matahari disebut jawara cinta yang begitu putih, tulus karena selalu setia menggandeng sang pagi di setiap hamparan waktunya. Seperti aku yang menggandeng dia, tidak pernah lelah, tidak pernah surut. Sedang kamu, bagai rembulan yang bernafas tanpa henti di pekatnya sang malam. Tak perlu ditegaskan lagi, matahari dan rembulan bukanlah pasangan yang nyata, seberapapun mereka tenggelam dalam lumuran rindu yang tak berpura-pura. Matahari milik pagi, rembulan milik malam. Langit memberi jeda abadi di antaranya. Aku dan kamu tidak mungkin bersatu.

Tidakkah sang pagi dan malam menyadari, bahwa ada kekosongan di mataku dan kamu. Sinarku perlahan menipis di saat rembulanku merambat, akibat rindu yang tak bisa diingkari. Ya, matahari dan bulan, tak mungkin bertautan. Selalu ada jarak antara kita, yang mencabik hati, menyimpan rahasia terlarang tanpa jemu. Apalagi saat senjaku meretak-retak, hendak membelai, menuntun rembulan ke pecahan hatiku yang berpendar bersama sore.



Seumpama saja, sang waktu lengah dan mengabaikan tugasnya, mungkin kita akan bertemu, saling berbagi nafas ke bagian terintim tanpa perlu rundungan resah dari semesta. Namun, tentu saja melepas menjadi satu-satunya pilihan, agar kita dapat bertahan untuk kembali setia: aku pada pagi, dan kau malam. Sebab sebanyak apapun matahari mampu mencintai, mencintai pagi satu-satunya jalan yang diizinkan langit. Aku hanya bisa mengeja rasa rindu pada rembulan dalam 24 jengkal tiap hari yang kita bagi dua rata.


Meski ingin berlari untuk mengejar, tapi bulan selalu tersenyum tenangkan panasku. Hanya bersua di tepian memang sakit, tapi itu tidak akan jatuh terselip dari ingat. Betapa sedih, meski telah berimajinasi ingin melumat nafsu dan menelanjangi segala bagian yang merekatkan kita, tapi tidak mungkin. Tidak bisa. Atau lebih tepatnya, tidak diizinkan. Bayangkan, hanya dalam jeda singkat di pukul 6 sore, kita saling tatap. Jika beruntung, kita bisa saling kecup. Mungkin itu ya, bahagia yang sederhana.



Langit memang menghadang, tapi energi cinta yang tertutupi terang dan gelap tetap mengalir. Aku yakin, matahariku pasti lelah. Betapa aku memuja rembulan yang sanggup bersinar dalam hitam pekat, membuat aku terus merasa aman dan nyaman saat rindu ini belum berdamai. “Ia gembira berjalan beriringan dengannya, meski tak bisa bergandengan.” Sesakit-sakitnya, segamang-gamangnya, segila-gila rasa yang berkecamuk di hati, aku menyembunyikan semua lebam membiru dengan sinar merahku agar rembulan tak mengaduh dan merasa bersalah atas luka itu.



Biarkan aku titip cinta untuk rembulan dalam terang yang kubagikan ini. Biarkan rembulan terus menciumku meski hanya sejenak di pukul 6 sore (kecuali saat mendung merundung, dimana rindu akan semakin bergemuruh). Aku harus kembali pada pagiku, dan kamu pada malam. Sakit sayang, tapi gemuruh rindu rahasia ini terlarang. Ini dia rasanya, berusaha membuka pelukan namun tiada yang pulang ke sana.

 





Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama