Tantangan dan Ancaman Sekolah Terpencil di Era Globalisasi (Secarik Kertas Rekonsiliasi Pendidikan)

Tantangan dan Ancaman Sekolah Terpencil di Era Globalisasi (Secarik Kertas Rekonsiliasi Pendidikan)

Ilustrasi salah seorang Guru SMP Negeri Kateri Kabupaten Malaka sedang menutup pintu gerbang usai kegiatan belajar mengajar


Setapak rai numbei Pendidikan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Juga diyakini sebagai tangga menuju derajat tertinggi dan kunci masuk daun pintu kesuksesan. Tapi bagi segelintir orang di pedesaan dan terpencil, mindset tentang betapa pentingnya pendidikan masih belum diyakini.

Tidak bisa dipungkiri jika masih ada yang menganggap pendidikan hanya kebutuhan sekunder yang tidak wajib dikenali dan juga tidak menjadi jaminan bahwa pendidikan bisa menjadi kayu bakar bagi tungku mereka untuk bisa terus mengepul. Bagi sebagian masyarakat, bertani lalu panen dan berpenghasilan dengan cepat menjadi hal utama untuk bisa memenuhi kebutuhan keseharian. Hal ini mereka yakini sebagai takdir yang harus dijalani tanpa harus memikirkan biaya yang lain.


Sebagaimana substansi pendidikan yaitu memanusiakan manusia, Maka tidak heran jika pendidikan selalu menjadi objek yang menarik ditelisik dan diperbincangkan disetiap sisinya. Terlebih di era sekarang ini, era kaum milenial. Kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan memaksa setiap individu harus memilih salah satu persimpangan, mengikuti arus dengan jalan mengupdate perkembangan lalu beradaptasi atau melawan arus dengan konsekuensi tergerus oleh zaman dan ketingglan jauh dibelakang.


Ikut dalam kontestasi perkembangan yang kian cepat dan tak terkendalipun, individu juga masih di perhadapkan oleh pilihan, memanfaatkan kemajuan teknologi untuk berusaha sebaik mungkin menjadi insan yang cerdas atau malah diperbudak oleh kemajuan teknologi itu sendiri.


Hidup selalu diwarnai oleh pilihan, tak terkecuali dalam hal mengenyam pendidikan. Memilih untuk terus melanjutkan pendidikan sampai pada tingkat tertinggi, memilih untuk membatasi sampai jenjang tertentu atau bahkan memilih untuk apatis dan tidak mengenal dunia pendidikan sama sekali adalah hak setiap individu. Realita seperti ini masih sering dijumpai dikalangan masyarakat pedesaan dan terpencil.


Bagi tenaga pendidik di sekolah daerah terpencil, masalah dan kendala yang beragam menjelma dalam wujud yang beraneka ragam pula. Kondisi ini merupakan santapan keseharian disetiap langkah dan tarikan nafas. Baik kendala yang sifatnya klasik seperti yang berkaitan dengan peserta didik, akses, sarana dan prasarana, sampai kepada masalah yang bersinggungan dengan pola pikir masyarakat sekitar.


Krisis kesadaran terhadap pendidikan, atau yang lebih fatal lagi yaitu sampai kepada minimnya dan bahkan lenyapnya kepercayaan masyarakat terhadap kehadiran sekolah di daerah mereka. Tentu tidak lepas dari kualitas yang dihasilkan atas kehadiran sekolah itu sendiri, atau mungkin juga mindset masyarakat yang memang telah mengakar sejak dahulu.


Hal yang pasti, tentunya menjadi tanggung jawab bagi kehadiran sekolah untuk mengikis sedikit demi sedikit segala macam masalah, menonjolkan eksistensinya dan menjadi alat penerang bagi masyarakat awam. Tidak peduli sekolah itu berstatus baru atau lama, negeri atau bukan.



*Tantangan dan Ancaman.*


Menjadi guru di sekolah terpencil bukan perkara mudah. Setiap pagi harus berjuang membelah udara pagi, menerobos dan menaklukkan medan sampai bermil-mil, menaiki dan menuruni bukit serta sekali-kali harus melewati jalanan yang menukik dan terjal bahkan harus menyeberangi sungai dan jalanan berlumpur. Begitupun sore harinya saat pulang, harus kembali menapaki jalan yang sama untuk sampai di tempat rebahan.


Suasana ini tentunya sangat dirasakan bagi guru yang bertempat tinggal jauh dari lokasi sekolah tempatnya mengabdi. Apalagi sekolah yang masih berstatus baru dan belum memiliki perumahan khusus guru. Tidak jarang bagi mereka yang tidak punya pilihan lain selain harus mencari tempat tinggal atau menumpang di rumah-rumah warga demi tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang guru.


Pilihan untuk menginap di lokasi sekitaran sekolah selama hari kerja dan jauh dari tempat tinggal mereka yang asli memperlihatkan pengabdian yang sesungguhnya. Terkadang ada diantaranya yang harus menyewa tempat tinggal.


Tinggal di daerah terpencil harus didasari oleh kebiasaan yang serba terbatas. Terbiasa dengan akses internet yang terbatas, memungkinkan terisolasi dari informasi dan perkembangan yang penyebarannya sangat cepat di luar.


Tinggal dan mengajar di daerah terpencil serta berinteraksi dengan masyarakat dan peserta didik memungkinkan seorang guru harus terbiasa dengan karakter lingkungan yang mungkin saja sangat jauh berbeda dengan lingkungan tempat tinggalnya yang asli.


Sebagai tenaga pendidik yang mengabdi di sekolah terpencil juga harus terbiasa dengan sarana dan prasarana yang terbatas, lingkungan sekolah yang masih terbuka lebar karena belum berpagar permanen sehingga sedikit menguras tenaga dan waktu dalam mengontrol peserta didik saat proses belajar mengajar berlangsung.


Pemandangan yang lain seperti peserta didik harus belajar di ruangan belajar dengan kapasitas over karena terbatasnya ruangan merupakan hal lazim, belajar di ruangan darurat sebagai pengganti ruangan belajar permanen juga bukan pemandangan asing, keterbatasan laboratorium, perpustakaan dan ruang guru yang harus menumpuk menjadi satu ruangan, bahkan kadang di alihkan menjadi ruang belajar peserta didik juga merupakan hal biasa.



*Peran penting tenaga pendidik.*


Kehadiran sekolah di tengah masyarakat dengan berbagai keterbatasan ditambah pengelolaan dan manajemen yang amburadul memunculkan citra yang buruk pula di mata masyarakat. Wibawa lembaga pendidikan yang harusnya memberikan kesan yang baik bagi masyarakat justru akan menghilangkan kepercayaan terhadap pentingnya pendidikan.


Dipandang sebelah mata dan diperlakukan layaknya tidak ada adalah hal yang menyakitkan. Dianggap nampak tapi tidak berwujud sangat sulit diterima logika. Dibanding-bandingkan dengan sekolah yang lain juga sangat memberangsang isi kepala. Ikhlas dan sabar adalah kunci yang harus diapit rapat meskipun dalam dada sesak dan berkecamuk.


Dititik inilah peran aktif dan kerja keras tenaga pendidik sangat dituntut untuk lebih banyak meluangkan waktunya menata setiap langkah strateginya menyikapi persoalan yang ada. Serta mewarnai setiap sudut tembok masalah dengan corak kreatifitas yang dimilikinya.


Menghadapi peserta didik yang notabene masih didominasi oleh pemikiran apatis terhadap pentingnya pendidikan tentulah tidak mudah menemukan vaksinnya. Ditambah daerah yang mereka tempati lahir, tumbuh dan besar tertinggal jauh oleh perkembangan dibanding peserta didik yang ada diperkotaan yang segala perkembangan dapat mereka akses dengan cepat dan mudah.


Jika beragam masalah tidak dapat dikelola dengan baik dan membalikkan keadaan menjadi sebuah tantangan untuk termotivasi melakukan yang terbaik, maka tibalah pada titik yang sangat mencemaskan, yaitu ancaman krisis kepercayaan masyarakat dan hal ini sangat butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan.


Ancaman ini sangat berdampak signifikan terhadap eksistensi sekolah dan kualitas tenaga pendidik. Kedua hal tersebut berbanding lurus dan tak terpisahkan. Sekolah maju adalah sekolah yang memiliki tenaga pendidik yang berkualitas dan begitupun sebaliknya, tenaga pendidik yang berkualitas akan senantiasa melakukan hal terbaik dan memahami tupoksinya demi memajukan pendidikan disekolah tempatnya mengabdi.


Seduh kopinya, cium aromanya, lalu seruput berlahan.
Panjang umur aroma kopi.
Salam Edukasi.

Inspirasi di Persimpangan Jalan SMP Negeri Kateri, Kabupaten Malaka NTT




 



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama