Dengan perawan atau
tanpa perawan sekalipun, perempuan tetaplah perempuan, nilainya tak akan
berkurang. Mereka pantas-pantas saja mendapat dan memberi cinta, oleh siapa dan
kepada siapapun yang mencintai dan mereka cintai.
Seharusnya, ketika
seseorang memilih mencintai, ia harus mencintai tanpa tapi. Ia juga harus
mencintai tanpa karena. Kata orang, mencintai itu tak butuh alasan ... entah
itu benar atau salah, tergantung masing-masing orang yang menjalaninya.
Ini bukan perkara bela
dan membenarkan peristiwa-peristiwa hubungan yang dilakukan di luar janji suci
pernikahan. Ia ... memang benar dalam konsep ini, mereka berbuat salah.
Mempercayakan kesucian pada orang yang tak bisa diajak menua bersama.
Namun, lebih dari pada
itu, kesalahan orang di masa lalu, tak bisa dijadikan senjata untuk
menjatuhkannya di masa sekarang. Dari ketidakperawan seorang perempuan, ada
laki-laki yang harus ikut bertanggung jawab. Mengapa harus perempuan itu
seorang diri menanggung malu? Lalu di mana laki-laki yang berjanji akan
bertanggung jawab dan setia sampai mati? Apakah dia sudah mati duluan?
Ah, sebenarnya tulisan
ini dibuat bukan untuk membela atau menyalahkan siapa-siapa, tapi agar kita
bisa berfikir sama-sama, dan mengubah setiap pola pikir yang salah tentang
ketidakperawannya seorang perempuan yang marak di masyarakat.
Sering terjadi dengan
ketidakperawannya seorang perempuan, mereka selalu mendapat perlakuan yang tak
sepantasnya mereka dapatkan. Perkara perawan dan tidak, suci dan bukannya
seseorang, itu bukan kewajiban antar sesama manusia untuk saling memberi lebel.
Itu urusan pribadinya dengan Tuhan.
Jika Tuhan yang adalah
hakim di atas segala hakim, dan hukum di atas segala hukum kebenaran, memberi
pengampunan tanpa tapi pada manusia, tak peduli sebesar apa pun dosa yang
pernah mereka lakukan, lalu apa istimewanya kita, sesama manusia malah saling
menghakimi? Kita sama-sama pendosa, hanya cara kita melakukan dosa yang
berbeda, jadi, jangan menjadi hakim untuk orang lain, kalau belum bisa
bertanggung jawab dengan diri sendiri.
Thomas Tari