Umat beriman di Nikaragua berpartisipasi dalam ziarah untuk mendukung para uskup, 28 Juli 2018. |
Pastor Rafael Bermúdez
telah berada di pengasingan di Amerika Serikat sejak 2018, tahun ketika rezim
Daniel Ortega meningkatkan tindakan kerasnya terhadap Gereja Katolik sebagai
pembalasan atas pernyataan yang dibuat para imam dan uskup tentang krisis yang
dihadapi negara itu.
Dalam sebuah pernyataan
kepada Noticias Caracol, imam itu menjawab pertanyaan tentang kata-kata yang
dikatakan Paus Fransiskus tentang situasi di Nikaragua, di mana beberapa imam
telah ditangkap dan ditahan di penjara El Chipote yang terkenal kejam dan uskup
Matagalpa, Rolando lvarez, berada di bawah tahanan rumah.
Paus mengatakan bahwa
dia “mengikuti dengan cermat, dengan kuatir dan sedih, situasi yang diciptakan
di Nikaragua, dan yang melibatkan orang-orang dan institusi.” Dia juga
menyatakan keinginannya bahwa “melalui dialog yang terbuka dan tulus mereka
dapat menemukan dasar untuk hidup berdampingan secara penuh hormat dan damai.”
“Ini rumit,” kata
Bermúdez. “Ketika saya mengatakan rumit, itu karena perasaan pendapat umum
bahwa paus tidak hanya menunda (mengatakan apa pun), tetapi juga tidak
mengatakan apa yang diharapkan orang … itu sangat rumit, karena mengingatkan
kita bahwa dengan cara tertentu tidak ada hubungan konkret” antara Takhta Suci
dan kediktatoran.
Imam itu menunjukkan
bahwa pada bulan Maret kediktatoran Ortega mengusir nunsius apostolik, Uskup
Agung Waldemar Stanislaw Sommertag. “Sejak saat itu, tidak ada orang yang
secara resmi mewakili Tahta Suci,” katanya.
Lebih lanjut, Bermúdez
menjelaskan, “Paus mengingatkan bahwa sarana, mekanisme yang selalu digunakan
Gereja adalah dialog; tapi inilah bagian yang menyakitkan: dialog tidak
mungkin. Untuk alasan apa? Paus menjelaskan: tidak ada syarat, dan apa syarat
utama, bahwa ada koeksistensi manusia.”
Imam Nikaragua di
pengasingan itu mengatakan bahwa di negara itu “kami tidak hidup berdampingan”
karena “kediktatoran tidak mengizinkannya.”
“Jika mereka intoleran,
jika mereka menundukkan, membunuh, menganiaya, memenjarakan, maka tidak ada
syarat” untuk berdialog, tegasnya.
“Jika paus berbicara,
jika dia berbicara setidaknya saat saya berbicara, apa yang akan terjadi pada
hari yang sama? … Apa yang akan terjadi? Nah, semua gerombolan mereka, semua
paramiliter, mungkin akan menyerbu gereja-gereja pada hari Minggu yang sama
untuk menyerang penduduk dan bangunan fisik itu sendiri, menyerang para imam,”
katanya.
“Saya tidak bisa
membayangkan semua hal yang mereka lakukan,” katanya, karena hanya dengan
sinyal dari kediktatoran “dan mereka bertindak dengan segala kemarahan dan
agresi yang mungkin terjadi,” katanya. **
Frans
de Sales, SCJ; Sumber: Catholic News Agency