Aksi pembongkaran paksa
di desa yang jadi bagian Kecamatan Amanuban Selatan itu pun viral di media
sosial.
Salah satu warga
Besipae, Daud Selan, mengatakan pembongkaran itu dilakukan tengah pekan
lalu, Kamis (20/10).
"Bongkarnya hari
Kamis," ujar Daud kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (22/10).
Daud menuturkan, alasan
pembongkaran tersebut karena di lahan tersebut akan dibangun jalan masuk ke
hutan dan kandang untuk peternakan sapi.
"Katanya mau
bangun jalan masuk ke ke hutan dan buat kandang sapi," ujar Daud.
Pembongkaran itu, kata
dia, dilakukan Satpol PP yang dipimpin Kepala Badan Pendapatan dan
Aset Daerah NTT, Alex Lumba dengan dikawal ketat aparat Polres Timor Tengah
Selatan dan Brimob bersenjata lengkap.
"Mereka bawa Pol
PP, Polisi, Brimob datang gusur," ujar Daud.
Dia mengungkapkan, dari
19 rumah yang dibongkar tersebut termasuk 12 rumah yang pernah dibangun Pemprov
NTT sendiri bagi masyarakat sebagai kompensasi atas penggusuran yang terjadi
pada 2020 silam. Sedangkan tujuh rumah lainnya adalah yang dibangun
sendiri oleh masyarakat setempat.
"Jadi mereka
(Pemprov NTT) bangun [rumah], kasih masyakarat, lalu mereka sendiri yang datang
bongkar kembali," kata Daud Selan.
Dan ironisnya, lanjut
Daud, bahan bangunan dari 12 rumah yang pernah dibangun oleh pemprov tersebut
diambil dan dibawa kembali oleh aparat.
Dari yang disampaikan
aparat, kata Daud, Pemprov beralasan pembongkaran rumah-rumah tersebut
karena milik mereka, sedangkan tujuh rumah lainnya dituding sebagai
bangunan liar di lahannya.
Daud mengatakan
warga di sana sangat menyesalkan sikap Pemprov NTT yang membongkar kembali
rumah yang pernah dibangun bagi masyarakat setempat pada 2020 silam.
"Sekarang kita
bingung mau tinggal di mana, karena rumah yang mereka (Pemprov NTT) kasih
mereka bongkar lagi," tandasnya.
Akibat pembongkaran
tersebut kata Daud, saat ini 23 Kepala Keluarga kehilangan tempat tinggal.
Setidaknya 23 Kepala Keluarga itu terdiri atas 86 jiwa dengan jumlah
anak-anak dan bayi sebanyak 46.
Dia menjelaskan, saat
ini masyarakat yang rumahnya dibongkar hanya bisa berteduh dan tinggal di bawah
pohon.
"[Masyarakat] lagi
tinggal di bawah pohon. hujan juga mandi hujan, bayi balita dan lansia semua
diguyur hujan, terus mau tinggal di mana," kata Daud.
Saat ini tambah Daud,
masyarakat sangat membutuhkan terpal agar bisa dijadikan tempat bernaung,
apalagi sekarang sudah memasuki musim hujan.
Penjelasan Bapenda NTT
Sementara itu, Kepala
Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Alex Lumba menjelaskan alasan
pembongkaran dan penggusuran tersebut karena di atas lahan seluas 3.780 hektare
di kawasan Besipae tersebut akan dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat.
Namun rencana
pembangunan jalan di lahan milik Pemprov dalam kawasan tersebut ditolak warga
setempat dengan menggunakan perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi
protes.
"Mereka (warga)
mengedepankan perempuan dan anak-anak (untuk lakukan aksi protes), ada buktinya,"
jelas Alex Lumba didampingi Plt Sekda NTT, Johanna Lisapaly kepada
wartawan di Kantor Gubernur NTT, Kupang, petang.
Menurutnya, aksi protes
warga menggunakan 'tameng' perempuan dan anak-anak dengan menaiki eksavator.
Selain itu, sambungnya, ada pula penganiayaan sekelompok orang di
Besipae terhadap seorang petuga pemerintahan.
Menurutnya, papun
keputusan pemerintah atas lahan di kawasan tersebut selalu dianggap salah dari
sudut pandang pemikiran masyarakat.
"Pemerintah dalam
kaitan dengan program pemberdayaan masyarakat di lokasi itu selalu salah,"
kata Alex tanpa merinci jenis program pemberdayaan yang hendak dilakukan
Pemprov NTT di kawasan Besipae.
Sebagai informasi,
sengketa lahan yang diklaim Pemerintah Provinsi NTT di kawasan Besipae ini
telah berlangsung sejak 2020 silam. Pemprov mengklaim memiliki lahan seluas
3.780 hektar di kawasan Besipae, padahal ada warga yang mendiami daerah itu.
Mereka pun menolak klaim pemprov sebagai pemilik lahan.