Untuk mengatakan bahwa
Yudas Iskariot berjasa dalam terjadinya penyelamatan Tuhan, hampir sama saja
dengan mengatakan bahwa Setan yang membuat Adam dan Hawa berdosa juga berjasa,
karena dengan itu Yesus turun ke dunia dan menunjukkan kepada umat manusia
tentang kasih Allah yang tak terbatas. Tentu saja kita tidak bisa berkata bahwa
tanpa Yudas tidak ada keselamatan, karena Tuhan juga dapat menggunakan cara
yang lain. Dalam artian, tanpa pengkhianatan Yudas, orang Farisi juga tetap
dapat menangkap Yesus dan berusaha untuk membunuhnya, seperti yang diceritakan
dalam beberapa kejadian di Injil (Yoh 5:18; Yoh 7:1).
Mungkin pernyataan yang
lebih baik adalah “Tuhan dapat mendatangkan sesuatu yang baik dari sesuatu yang
buruk untuk menyatakan kemuliaan-Nya“. Keburukan dosa yang terekspresi lewat
setan yang menggoda Adam dan Hawa, mendatangkan rencana Tuhan yang paling
indah, yaitu misteri Inkarnasi. Keburukan dosa Petrus yang menyangkal Yesus
tiga kali (Mat 26:69-75) mendatangkan kekuatan bagi Petrus untuk mengemban
amanat yang diberikan oleh Yesus untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yoh
21:15-17). Dan keburukan dosa yang dilakukan oleh Yudas membuka mata hati
manusia akan suatu bahaya dosa keputusasa-an, yang adalah dosa yang tidak
terampuni, karena yang bersangkutan menolak kemungkinan untuk diampuni.
Dosa keputusasa-an
(despair) adalah salah satu dosa yang melawan Roh Kudus, yang tidak dapat
diampuni di kehidupan ini dan kehidupan mendatang (Lk 12:10). Dosa
pengkhianatan Yudas tidaklah sebesar dosanya untuk mengakhiri hidupnya.
Andaikata Yudas bertobat dan kembali kepada Yesus, mungkin dia akan menjadi
seorang rasul yang luar biasa, seperti Rasul Petrus yang bertobat dan menjadi
Paus yang pertama. Jadi apakah Yudas berdosa? Ya, terutama karena dia
mengakhiri hidupnya, dikarenakan keputusasaan. Dosa ini adalah dosa
melawan 2 theological virtue atau kebajikan ilahi: pengharapan dan
iman. Pengharapan dihilangkan oleh keputusasa-an, dengan cara melihat bahwa
tidak ada harapan lagi untuk memperoleh surga. Iman dihilangkan oleh
keputusasa-an karena melihat dosanya lebih besar dari kasih dan belas kasih
Tuhan. Dan Yesus secara jelas mengatakan, “Dia yang bersama-sama dengan Aku
mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku.
Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia,
akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu
diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.”
(Mat 26:23-24). Dari pernyataan Yesus ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Yudas
mengalami penderitaan di neraka, kecuali jika pada saat-saat akhir
sebelum kematiannya, dia benar-benar bertobat dan menyesali semua dosanya.
Namun Kitab Suci tidak menceritakan hal ini.
Bagaimana dengan
peristiwa penyaliban? Apakah Tuhan pro dengan kekerasan? Sesungguhnya ini
adalah suatu pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan ini
akan benar, kalau seandainya manusia dilahirkan sebagai robot, sehingga
semuanya diatur oleh Tuhan tanpa ada kerjasama dari manusia. Namun
manusia mempunyai keinginan bebas sehingga manusia dapat memilih
untuk mengikuti Yesus dengan ajaran kasih-Nya, atau melawan Yesus dengan
perbuatan dosa. Memang Tuhan mengizinkan hal ini terjadi, karena Tuhan
dapat membawa kebaikan yang lebih besar. Dalam hal ini penderitaan dan kematian
Yesus menjadi sumber keselamatan umat manusia.
Dalam peristiwa
penyaliban kita melihat dua hal yang bertolak belakang: 1) Kekejaman dan
keburukan dosa dan 2) Keindahan dan kedalaman kasih Allah. Kekejaman dosa dapat
terlihat dari penderitaan Kristus. Dan kedalaman kasih Allah dibuktikan dengan
kematian-Nya di kayu salib. Kristus dapat saja menyelamatkan dunia dengan
setetes darah-Nya, namun Dia memilih untuk ‘minum dari piala yang diberikan
oleh Bapa’ dengan mencurahkan darah-Nya di kayu salib. Penderitaan-Nya yang
begitu besar untuk membayar dosa-dosa kita, seharusnya semakin memacu kita
untuk hidup kudus. Di kayu salib Kristus seolah-olah berkata kepada kita
masing-masing, “Ini adalah tanda kasih-Ku kepadamu, apakah tanda kasihmu
kepada-Ku?”
Kalau Tuhan pro dengan
kekerasan, Yesus tidak akan mengajarkan ajaran cinta kasih. Tentu saja
ini tidak benar, sebab dari pengajaran Yesus di “Kotbah di bukit” (lih Mat
5:1-12) kita melihat ajaran cinta kasih yang begitu sempurna.
Mari kita bersama-sama
belajar dari kisah Yudas, kasih dan belas kasihan Allah selalu lebih
besar dari dosa kita, asalkan kita mau bertobat dan kembali kepada-Nya. Mari
kita berbangga dengan Salib Kristus, karena kita melihat Allah yang begitu
mengasihi setiap kita, sehingga kita juga terus berusaha berjuang untuk hidup
kudus, menjalankan semua perintah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. *** katolisitas.org