Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Anis Hidayah. ©2023 Merdeka.com |
"Perda yang
dibentuk tidak ada implementasinya, bisa dikatakan nol. Setelah ada regulasi
dan kelembagaan yakni Satgas TPPO semuanya dianggap selesai tanggung jawabnya,
padahal tidak sama sekali. Misalnya, Disnakertrans hanya memberikan pelatihan
tanpa melakukan pencegahan," kata Anis, Kamis (25/5).
Menurut Anis, kasus
TPPO di NTT sangat tinggi namun tindakan pencegahannya hampir tidak ada,
padahal Perda telah disahkan oleh pemerintah kabupaten kota maupun provinsi.
Bahkan Komnas HAM menemukan alasan pemerintah daerah, bahwa anggaran yang
digelontorkan sangat sedikit sehingga tidak bisa melakukan sosialisasi
pencegahan TPPO di tengah masyarakat.
Anis Hidayah juga
mendapatkan fakta di lapangan, koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah
(SKPD) tidak berjalan. Komnas HAM kemudian mempertanyakan cara pemulangan
korban TPPO, jawaban pemerintah daerah sangat menohok karena tidak ada program
apa pun yang bisa dilakukan.
"Ironisnya, di
Kabupaten Kupang kami dianggap sebagai tukang kredit, sehingga surat kami yang
sudah dimasukan dari pekan lalu itu tidak digubris sama pemerintah Kabupaten
Kupang. Bahkan Kepala Dinas Ketenagakerjaan saat dihubungi juga tidak
merespons, lewat whatasApp juga begitu, tidak dibalas. Alasan mereka takut,
benar enggak ini dari Komnas HAM. Padahal kita sudah kirimkan suratnya pakai
lambang garuda," tambah Anis Hidayah.
Menurutnya, keluhan
pemerintah kabupaten dan kota maupun provinsi selain anggaran yaitu reintegrasi
ekonomi dan sosial sangat lemah. Kemudian tidak pernah mengembangkan potensi
yang ada di NTT, sehingga tindakan TPPO selalu terjadi bahkan meningkat.
Data kematian pekerja
migran Indonesia (PMI) yang diperoleh dari BP2MI per Januari hingga Mei 2023,
sudah 56 orang asal NTT dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia.
Sehingga Anis mengklaim
bahwa NTT sudah sangat darurat TPPO, karena masyarakat yang bermigrasi baik
keluar negeri maupun dalam negeri dan antarkota serta provinsi, semakin rentan
mengalami TPPO.
"Karena kontrol
perbatasan antarpulau sampai ke provinsi melalui pelabuhan, terminal dan
bandara ini minim koordinasi, termasuk dari aspek pencatatan sipil, Imigrasi
dan antardinas nyaris tidak ada koordinasi. Sehingga memicu migrasi
nonprosedural terus terjadi dan makin liar praktiknya," ungkapnya.
Anis Hidayah
melanjutkan, karena tidak adanya kerja sama dengan provinsi lain seperti
Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara, mengakibatkan masyarakat NTT yang
bermigrasi data kependudukannya mulai dari KTP hingga paspor dikeluarkan oleh
wilayah lain.
"Dari aspek
penegakan hukum terkait TPPO sendiri tidak adanya kesamaan persepsi mulai
dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sehingga bila dalam penegakan
terjadinya kasus TPPO maka vonisnya ringan. Kemudian juga ada yang menggunakan
UU Keimigrasian sehingga jatuhnya people smuggling bukan TPPO, maka itu
hukumannya ringan," ungkapnya.
"Bila diamati
kembali, banyaknya residivis pelaku TPPO di NTT, namun hingga saat ini tetap
beroperasi. Ini yang kami melihat kenapa penegakan hukum TPPO belum efektif di
NTT," tambah Anis Hidayah.
Masih menurut Anis
Hidayah, dari pemulangan sejumlah jenazah kenapa sulit diungkap bahwa itu adalah
korban TPPO. Karena tidak adanya kesepahaman antara aparat penegak hukum. Yang
selalu dihukum itu pelaku di lapangan yang keuntungan sedikit dari TPPO, yang
paling banyak untung adalah aktor intelektualnya, termasuk keterlibatan aparat
negara maupun dari aparat pemerintah seperti Dukcapil dan Imigrasi.
"Maraknya
pemalsuan dokumen TPPO itu sering terjadi di Dukcapil dan Imigrasi namun jarang
terungkap, jadi selama komitmen pemerintah daerah untuk memperkuat satuan tugas
dengan penganggaran yang cukup dengan melakukan mekanisme pencegahan
komprehnsif dan efektif tidak ada, maka sulit ditangani," tutupnya. [cob]