Komnas HAM Bongkar Buruknya Penanganan TPPO di NTT: Kami Dianggap Tukang Kredit!

Komnas HAM Bongkar Buruknya Penanganan TPPO di NTT: Kami Dianggap Tukang Kredit!

Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Anis Hidayah. ©2023 Merdeka.com


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti persoalan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah menyayangkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2018 tentang pencegahan dan penanganan korban TPPO di NTT tidak diimplementasikan alias nol.

"Perda yang dibentuk tidak ada implementasinya, bisa dikatakan nol. Setelah ada regulasi dan kelembagaan yakni Satgas TPPO semuanya dianggap selesai tanggung jawabnya, padahal tidak sama sekali. Misalnya, Disnakertrans hanya memberikan pelatihan tanpa melakukan pencegahan," kata Anis, Kamis (25/5).

Menurut Anis, kasus TPPO di NTT sangat tinggi namun tindakan pencegahannya hampir tidak ada, padahal Perda telah disahkan oleh pemerintah kabupaten kota maupun provinsi. Bahkan Komnas HAM menemukan alasan pemerintah daerah, bahwa anggaran yang digelontorkan sangat sedikit sehingga tidak bisa melakukan sosialisasi pencegahan TPPO di tengah masyarakat.

Anis Hidayah juga mendapatkan fakta di lapangan, koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD) tidak berjalan. Komnas HAM kemudian mempertanyakan cara pemulangan korban TPPO, jawaban pemerintah daerah sangat menohok karena tidak ada program apa pun yang bisa dilakukan.

"Ironisnya, di Kabupaten Kupang kami dianggap sebagai tukang kredit, sehingga surat kami yang sudah dimasukan dari pekan lalu itu tidak digubris sama pemerintah Kabupaten Kupang. Bahkan Kepala Dinas Ketenagakerjaan saat dihubungi juga tidak merespons, lewat whatasApp juga begitu, tidak dibalas. Alasan mereka takut, benar enggak ini dari Komnas HAM. Padahal kita sudah kirimkan suratnya pakai lambang garuda," tambah Anis Hidayah.

Menurutnya, keluhan pemerintah kabupaten dan kota maupun provinsi selain anggaran yaitu reintegrasi ekonomi dan sosial sangat lemah. Kemudian tidak pernah mengembangkan potensi yang ada di NTT, sehingga tindakan TPPO selalu terjadi bahkan meningkat.

Data kematian pekerja migran Indonesia (PMI) yang diperoleh dari BP2MI per Januari hingga Mei 2023, sudah 56 orang asal NTT dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia.

Sehingga Anis mengklaim bahwa NTT sudah sangat darurat TPPO, karena masyarakat yang bermigrasi baik keluar negeri maupun dalam negeri dan antarkota serta provinsi, semakin rentan mengalami TPPO.

"Karena kontrol perbatasan antarpulau sampai ke provinsi melalui pelabuhan, terminal dan bandara ini minim koordinasi, termasuk dari aspek pencatatan sipil, Imigrasi dan antardinas nyaris tidak ada koordinasi. Sehingga memicu migrasi nonprosedural terus terjadi dan makin liar praktiknya," ungkapnya.

Anis Hidayah melanjutkan, karena tidak adanya kerja sama dengan provinsi lain seperti Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara, mengakibatkan masyarakat NTT yang bermigrasi data kependudukannya mulai dari KTP hingga paspor dikeluarkan oleh wilayah lain.

"Dari aspek penegakan hukum terkait TPPO sendiri tidak adanya kesamaan persepsi mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sehingga bila dalam penegakan terjadinya kasus TPPO maka vonisnya ringan. Kemudian juga ada yang menggunakan UU Keimigrasian sehingga jatuhnya people smuggling bukan TPPO, maka itu hukumannya ringan," ungkapnya.

"Bila diamati kembali, banyaknya residivis pelaku TPPO di NTT, namun hingga saat ini tetap beroperasi. Ini yang kami melihat kenapa penegakan hukum TPPO belum efektif di NTT," tambah Anis Hidayah.

Masih menurut Anis Hidayah, dari pemulangan sejumlah jenazah kenapa sulit diungkap bahwa itu adalah korban TPPO. Karena tidak adanya kesepahaman antara aparat penegak hukum. Yang selalu dihukum itu pelaku di lapangan yang keuntungan sedikit dari TPPO, yang paling banyak untung adalah aktor intelektualnya, termasuk keterlibatan aparat negara maupun dari aparat pemerintah seperti Dukcapil dan Imigrasi.

"Maraknya pemalsuan dokumen TPPO itu sering terjadi di Dukcapil dan Imigrasi namun jarang terungkap, jadi selama komitmen pemerintah daerah untuk memperkuat satuan tugas dengan penganggaran yang cukup dengan melakukan mekanisme pencegahan komprehnsif dan efektif tidak ada, maka sulit ditangani," tutupnya. [cob]

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama