Adaptasi Perubahan Iklim Terus Dikampanyekan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Adaptasi Perubahan Iklim Terus Dikampanyekan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Hampir semua petani lahan tadah hujan gagal panen. Pada saat bersamaan, pengiriman beras dari luar daerah terkendala gelombang tinggi. Harga beras kualitas medium naik hingga Rp 18.000 per kilogram.
Suasana diskusi terkait aksi adaptasi terhadap perubahan iklim yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan ketersediaan pangan. Diskusi berlangsung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis (27/7/2023) malam.


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Dampak perubahan iklim yang kini sangat terasa mendorong berbagai pihak di Nusa Tenggara Timur untuk melakukan upaya adaptasi demi menjaga kelangsungan hidup. Budidaya pangan lokal, penyelamatan lingkungan yang rusak, hingga pertobatan ekologis terus dikampanyekan lewat aksi nyata. Menjaga konsistensi aksi tersebut menjadi tantangan berikutnya.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang berlangsung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis (27/7/2023) malam. Diskusi melibatkan sejumlah lembaga non-pemerintah, para pelaku aksi adaptasi perubahan lingkungan, dan perwakilan anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia bagian timur.

Maria Mone Soge, aktivis pangan lokal dari Desa Hewa di Kabupaten Flores Timur, menuturkan, fondasi pangan lokal di daerahnya sangat lemah dan akan memburuk pada waktu-waktu mendatang. Hal ini sebabkan musim tanam terus bergeser akibat iklim kian tidak menentu. Banyak sumber mata air juga mengering.

Kondisi yang paling terasa tahun ini, hampir semua petani lahan tadah hujan gagal panen. Pada saat bersamaan, pengiriman beras dari luar daerah terkendala gelombang tinggi. Harga beras kualitas medium naik hingga Rp 18.000 per kilogram. Di Pulau Jawa harganya berkisar Rp 10.000 per kilogram.

Siswi Sekolah Dasar Katolik Witihama di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, memipih jagung di sekolah mereka pada Rabu (5/4/2023). Jagung yang dipipih atau dalam sebutan lokal jagung titi merupakan makanan khas warga Pulau Adonara.


”Ini gejala bahwa ketahanan pangan kita sudah sangat lemah. Memang belum ada orang di tempat kami yang meninggal gara-gara kelaparan, tetapi kejadian seperti ini memberi peringatan keras bahwa kita harus bergerak dari sekarang,” ucapnya.

Sorgum dan umbi

Mone memimpin anak muda mengampanyekan konsumsi sorgum dan umbi-umbian yang dianggap lebih cocok dengan iklim setempat. Tanaman itu lebih tahan panas ketimbang padi dan jagung. Mereka juga mengolahnya menjadi lebih bervariasi agar menarik minat generasi muda untuk mengonsumsinya.

Memang belum ada orang di tempat kami yang meninggal gara-gara kelaparan, tetapi kejadian seperti ini memberi peringatan keras bahwa kita harus bergerak dari sekarang.

Sementara itu, di Kabupaten Kupang, ada Joni Messakh yang menanam mangrove. Ayah Joni yang sudah meninggal memulai aksi itu sejak tahun 2005 setelah terjadi banjir rob yang merusak rumah masyarakat di kampung mereka, Desa Tanah Merah. Banjir rob terjadi lantaran masifnya penambangan pasir di daerah itu sejak 1978.

Keluarga Joni mewarisi aksi sosial itu dengan konsisten menanam mangrove yang kini telah mencapai ratusan ribu pohon. Ia juga menularkan semangat itu kepada generasi muda setempat. Masyarakat sekitar sudah merasakan manfaatnya mulai dari sisi lingkungan hingga ekonomi.

Ketika badai Seroja menerjang NTT pada April 2021, hampir semua permukiman di pesisir rusak. Ini berbeda dengan masyarakat di kampung Joni yang relatif terlindungi. ”Ini karena kami punya hutan mangrove yang menjadi benteng dari gelombang pasang dan rob,” ujarnya.

Dalam catatan Kompas, badai Seroja menewaskan 181 orang dan 47 lainnya dinyatakan hilang. Selain itu, 250 orang luka-luka. Rumah rusak berat 17.124 unit, rusak sedang 13.652 unit, dan rusak ringan 35.733 unit.

Kini, hutan mangrove menjadi habitat yang nyaman bagi biota laut, seperti kepiting, udang, dan kerang. Masyarakat sekitar dapat mengambilnya untuk makan maupun dijual. ”Kalau kita jaga alam, alam akan memberikan penghidupan bagi kita,” ucap Joni.

Muhammad Ridwan Arif dari lembaga Koaksi Indonesia mengapresiasi inisiatif dan kerja para pelaku aksi adaptasi perubahan iklim di daerah-daerah. Menurutnya, aksi semacam itu terus tumbuh seiring dengan muncul kesadaran bahwa kondisi bumi saat ini tidak sedang baik-baik saja.

Anak-anak dari desa Tanah Merah, Kupang, Rabu (22/9/202), bermain di hutan mangrove pada Rabu (22/9/2021).


”Yang menjadi tantangan ke depan adalah bagaimana menjaga konsistensi dari aksi-aksi sosial semacam ini. Banyak orang mengalami hambatan, tetapi banyak pula yang konsisten dan bertahan selama bertahun-tahun,” ucapnya.

Menurutnya, ancaman krisis pangan dan kerusakan lingkungan sebagai dampak dari perubahan iklim kini sudah hadir dan sangat terasa. Gerakan adaptasi perlu dilakukan bersama-sama agar manusia dan alam sekitar bisa bertahan. *** kompas.id

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama