Hal tersebut mengemuka
dalam diskusi yang berlangsung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis
(27/7/2023) malam. Diskusi melibatkan sejumlah lembaga non-pemerintah, para
pelaku aksi adaptasi perubahan lingkungan, dan perwakilan anak muda dari berbagai
wilayah di Indonesia bagian timur.
Maria Mone Soge,
aktivis pangan lokal dari Desa Hewa di Kabupaten Flores Timur, menuturkan,
fondasi pangan lokal di daerahnya sangat lemah dan akan memburuk pada
waktu-waktu mendatang. Hal ini sebabkan musim tanam terus bergeser akibat iklim
kian tidak menentu. Banyak sumber mata air juga mengering.
Kondisi yang paling
terasa tahun ini, hampir semua petani lahan tadah hujan gagal panen. Pada saat
bersamaan, pengiriman beras dari luar daerah terkendala gelombang tinggi. Harga
beras kualitas medium naik hingga Rp 18.000 per kilogram. Di Pulau Jawa
harganya berkisar Rp 10.000 per kilogram.
”Ini gejala bahwa
ketahanan pangan kita sudah sangat lemah. Memang belum ada orang di tempat kami
yang meninggal gara-gara kelaparan, tetapi kejadian seperti ini memberi
peringatan keras bahwa kita harus bergerak dari sekarang,” ucapnya.
Sorgum dan umbi
Mone memimpin anak muda
mengampanyekan konsumsi sorgum dan umbi-umbian yang dianggap lebih cocok dengan
iklim setempat. Tanaman itu lebih tahan panas ketimbang padi dan jagung. Mereka
juga mengolahnya menjadi lebih bervariasi agar menarik minat generasi muda
untuk mengonsumsinya.
Memang belum ada orang di tempat kami yang meninggal gara-gara kelaparan, tetapi kejadian seperti ini memberi peringatan keras bahwa kita harus bergerak dari sekarang.
Sementara itu, di
Kabupaten Kupang, ada Joni Messakh yang menanam mangrove. Ayah Joni yang sudah
meninggal memulai aksi itu sejak tahun 2005 setelah terjadi banjir rob yang
merusak rumah masyarakat di kampung mereka, Desa Tanah Merah. Banjir rob
terjadi lantaran masifnya penambangan pasir di daerah itu sejak 1978.
Keluarga Joni mewarisi
aksi sosial itu dengan konsisten menanam mangrove yang kini telah mencapai
ratusan ribu pohon. Ia juga menularkan semangat itu kepada generasi muda
setempat. Masyarakat sekitar sudah merasakan manfaatnya mulai dari sisi
lingkungan hingga ekonomi.
Ketika badai Seroja
menerjang NTT pada April 2021, hampir semua permukiman di pesisir rusak. Ini
berbeda dengan masyarakat di kampung Joni yang relatif terlindungi. ”Ini karena
kami punya hutan mangrove yang menjadi benteng dari gelombang pasang dan rob,”
ujarnya.
Dalam catatan Kompas, badai
Seroja menewaskan 181 orang dan 47 lainnya dinyatakan hilang. Selain itu, 250
orang luka-luka. Rumah rusak berat 17.124 unit, rusak sedang 13.652 unit, dan
rusak ringan 35.733 unit.
Kini, hutan mangrove
menjadi habitat yang nyaman bagi biota laut, seperti kepiting, udang, dan
kerang. Masyarakat sekitar dapat mengambilnya untuk makan maupun dijual. ”Kalau
kita jaga alam, alam akan memberikan penghidupan bagi kita,” ucap Joni.
Muhammad Ridwan Arif
dari lembaga Koaksi Indonesia mengapresiasi inisiatif dan kerja para pelaku
aksi adaptasi perubahan iklim di daerah-daerah. Menurutnya, aksi semacam itu
terus tumbuh seiring dengan muncul kesadaran bahwa kondisi bumi saat ini tidak
sedang baik-baik saja.
Anak-anak dari desa Tanah Merah, Kupang, Rabu (22/9/202), bermain di hutan mangrove pada Rabu (22/9/2021). |
”Yang menjadi tantangan
ke depan adalah bagaimana menjaga konsistensi dari aksi-aksi sosial semacam
ini. Banyak orang mengalami hambatan, tetapi banyak pula yang konsisten dan
bertahan selama bertahun-tahun,” ucapnya.
Menurutnya, ancaman
krisis pangan dan kerusakan lingkungan sebagai dampak dari perubahan iklim kini
sudah hadir dan sangat terasa. Gerakan adaptasi perlu dilakukan bersama-sama
agar manusia dan alam sekitar bisa bertahan. *** kompas.id