Dinamika Pasang-Surut Parpol Peserta Pemilu Era Reformasi (Wajah Politik Indonesia)

Dinamika Pasang-Surut Parpol Peserta Pemilu Era Reformasi (Wajah Politik Indonesia)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Pemilu 2024 mendatang akan diikuti oleh 18 partai politik. Ada 9 parpol penghuni senayan (PDIP, Partai Gerindra, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, PAN, PPP), 5 parpol lama non-senayan (Partai Perindo, PSI, Partai Hanura, PBB, Partai Garuda), dan 4 parpol baru (Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Buruh, PKN).

Berdasarkan hasil temuan lembaga-lembaga survei belakangan ini, posisi tiga besar secara elektabilitas masih ditempati oleh PDIP, Gerindra, Golkar. Temuan lembaga Semar Politik Indonesia/Semar Political Institute (SPIN) melalui telesurvei pada Juni 2023 juga menunjukkan hasil serupa.

Dalam analisis lembaga Semar Politik Indonesia (SPIN), PDI-P dan Partai Gerindra menjadi partai terdepan karena kapasitas dan kapabilitas figur kunci maupun sumber daya manusia (SDM) partainya, punya kemelekatan pemilih yang kental, terlebih posisi sentral ketua umum. Demikian pula Golkar yang relatif stabil, ditopang oleh mesin organisasi dan kelembagaan partai yang kuat.

Bagi parpol non-Senayan dan parpol baru, tampaknya perlu dukungan serius dari tokoh-tokoh yang punya magnet elektoral. Mereka seyogianya mengimplementasikan bauran isu dan program berdaya ledak masif yang sejalan dengan aspirasi rakyat, dan kampanye super kolosal. Dengan begitu, bayang-bayang terdepak dari peta politik nasional terselamatkan.

Berdasarkan hasil pemilu 2019, semua parpol baru tercatat gagal memperoleh kursi DPR RI, yaitu Partai Perindo, Partai Berkarya, PSI, dan Partai Garuda. Bahkan parpol lawas seperti Partai Hanura tersingkir dari Senayan. Pahit getir pun dirasakan PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019. Nasib senada dialami PKPI.

Namun, ada beberapa contoh yang relevan terkait kesuksesan parpol baru yang layak menjadi acuan. Parpol peserta pemilu era reformasi penuh dengan pasang surut. Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999, terdapat tiga parpol baru yang mencolok, yakni PDI Perjuangan yang notabene merupakan transformasi dari PDI Pro Mega dengan raihan suara 33,74 persen, PKB 12,61 persen, dan PAN 7,12 persen.

Partai Demokrat tercatat sukses mendulang 7,4 persen suara di Pemilu 2004. Gerindra berhasil mendapatkan 4,5 persen suara di Pemilu 2009. Nasdem meraih 6,7 persen suara di pemilu 2014.

Keberhasilan Hanura di Pemilu 2009 juga patut dicatat, termasuk PBB di pemilu 1999, kendati gagal mempertahankan kursi Senayan pada pemilu berikutnya. Pada Pemilu 1999, Partai Keadilan (PK) gagal masuk parlemen, lalu berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan berhasil menembus Senayan di Pemilu 2004.

Pertautan Modal

Parpol baru yang akan berlaga di pemilu 2024 memerlukan pertautan modal, sehingga dapat bertarung secara terukur dengan kompetitornya. Mengutip Richard L Daft (2003), Philip Kotler, dan Kevin Lane Keller (2006), setidaknya ada enam modal utama—kalau diringkas jadi rumus enam M, yakni Man, Machine, Money, Method, Materials, Market.

Rumus itu merupakan produk dari ilmu manajemen yang diadaptasikan dan diterjemahkan secara kontekstual di ranah praksis politik. Formula itu tersambung dengan postulat Pierre Bourdieu (1986), terkait modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Gabungan berbagai modal (capital) itu mesti saling berkait-kelindan.

Kepincangan salah satu modal akan mempengaruhi bangunan sebuah parpol. Pada dasarnya modal itu dapat diperluas dan dimodifikasi lebih banyak lagi, tergantung kondisi objektif organisasi, kebutuhan, dan tren konsumen politik. Dalam sejarah kemenangan sejumlah parpol baru, tergambar variabel kehebatan tokoh ikon partainya, sebut saja “Great Man”.

Partai Demokrat yang melejit kala itu, tak bisa dilepaskan dari daya pengaruh “Great Man”: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ihwal serupa terjadi pada Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto, Hanura yang bertumpu pada Wiranto. Namun, tak sedikit purnawirawan jenderal yang jadi ketua umum parpol, tapi partainya gurem bahkan lenyap.

Sebut saja PKPI, ketuanya mulai dari Edy Sudrajat, Sutiyoso, AM Hendropriyono, hingga Yussuf Solichien. Ada juga PKPB besutan R Hartono, Partai Karya Perjuangan yang dipimpin Muhammad Yasin, Partai Berkarya versi pimpinan Muchdi PR, Partai Prima yang digawangi R Gautama Wiranegara. Artinya, modal yang lain mengalami defisit.

Perihal Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP), Gus Dur (pendiri PKB), dan Amien Rais (pendiri PAN) yang terorbit ke permukaan, bisa dikatakan kombinasi antara modal sosial, kultural, dan simbolik. Walhasil, partai yang dibidani oleh tokoh deklarasi Ciganjur itu meraih simpati publik.

Kekuatannya terletak pada karisma personal, mesin (machine) organisasi kemasyarakatan dan basis massa (mass) tradisional yang dikonversi menjadi modal sosial-politik. Megawati yang dijuluki strong woman mendapat dukungan dari konstituen nasionalis-marhaenis, terlebih bersimbol trah Bung Karno. Adapun PKB kala itu punya figur great man Gus Dur.

Gus Dur melaju bersama mitra strategis gerakan dari kalangan aktivis prodemokrasi, dan ormas Nahdlatul Ulama (NU). Sementara PAN ditopang oleh ormas Muhammadiyah dengan citra Amien Rais sebagai tokoh reformis terkemuka waktu itu. Sedangkan Yusril Ihza Mahendra pada masa cemerlangnya, dikenal sebagai representasi pewaris Masyumi.

Dalam konteks modal ekonomi atau uang (money), biasanya diasosiasikan dengan parpol para pengusaha. Prabowo juga dapat dikategorikan dalam tipologi partai tersebut, lalu Surya Paloh (ketua umum Nasdem), dengan modal plus 1M lagi: media. Kondisi kasuistik justru berbeda dengan Hary Tanoesoedibjo, Partai Perindo besutannya belum lolos PT di pemilu 2019.

Meskipun logistiknya besar, tapi posisi partainya masih marginal terjadi juga pada Partai Hanura pimpinan Oesman Sapta Odang. Bahkan Partai Berkarya asuhan Tommy Soeharto ikut lenyap. Artinya, modal-modal yang lain perlu dipadatkan lagi. Uang yang besar untuk mengelola parpol sangat penting, tapi di titik tertentu, rupanya tidak menjamin terdongkraknya suara partai.

Di level praktis-operasional, parpol baru seharusnya menampilkan diferensiasi platform, kebijakan, dan branding (partai) untuk memikat massa. Kuncinya terpantul pada pembauran 3M: metode (method), bahan baku (materials), pasar (market). Di sini menyangkut strategi-taktik, mengolah bahan baku berupa ide, program, narasi, manajemen isu, lalu pemasaran politik.

Kalau semua modal itu melekat erat di parpol baru, maka PT 4 persen bisa ditaklukkan. Sungguh berat, tapi patut dicoba. Ceruk elektoral yang dapat dirangkul juga adalah generasi milenial, sebagai pemilih dominan di pemilu 2024 nanti. Kalau dirangkum, modal itu jadi semacam kunci 9M: Man, Machine, Money, Method, Materials, Market, Media, Mass, Millennial.

Untuk mengaplikasikan kunci 9M itu, perlu komunikasi pemasaran politik yang terpadu dan terintegrasi. Mengacu pada buku “Mengelola Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar ke Politik Praktis (2018)”, bentuk komunikasi politik di zaman modern mengadopsi bagaimana mekanisme pemasaran bekerja untuk mempromosikan sesuatu.

Kalau dalam pemasaran, secara umum menjual produk berupa barang dan jasa kepada para pihak yang menjadi konsumen, maka pemasaran politik (political marketing) secara spesifik menjual atau mempromosikan produk politik. Konsumennya adalah pihak konstituen. Maka tersebutlah komunikasi pemasaran politik. *** 



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama