Berdasarkan hasil temuan lembaga-lembaga survei
belakangan ini, posisi tiga besar secara elektabilitas masih ditempati oleh
PDIP, Gerindra, Golkar. Temuan lembaga Semar Politik Indonesia/Semar Political
Institute (SPIN) melalui telesurvei pada Juni 2023 juga menunjukkan hasil
serupa.
Dalam analisis lembaga Semar Politik Indonesia
(SPIN), PDI-P dan Partai Gerindra menjadi partai terdepan karena kapasitas dan
kapabilitas figur kunci maupun sumber daya manusia (SDM) partainya, punya
kemelekatan pemilih yang kental, terlebih posisi sentral ketua umum. Demikian
pula Golkar yang relatif stabil, ditopang oleh mesin organisasi dan kelembagaan
partai yang kuat.
Bagi parpol
non-Senayan dan parpol baru, tampaknya perlu dukungan serius dari tokoh-tokoh
yang punya magnet elektoral. Mereka seyogianya mengimplementasikan bauran isu
dan program berdaya ledak masif yang sejalan dengan aspirasi rakyat, dan
kampanye super kolosal. Dengan begitu, bayang-bayang terdepak dari peta politik
nasional terselamatkan.
Berdasarkan hasil pemilu 2019, semua parpol baru
tercatat gagal memperoleh kursi DPR RI, yaitu Partai Perindo, Partai Berkarya,
PSI, dan Partai Garuda. Bahkan parpol lawas seperti Partai Hanura tersingkir
dari Senayan. Pahit getir pun dirasakan PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019.
Nasib senada dialami PKPI.
Namun, ada beberapa contoh yang relevan terkait
kesuksesan parpol baru yang layak menjadi acuan. Parpol peserta pemilu era
reformasi penuh dengan pasang surut. Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999,
terdapat tiga parpol baru yang mencolok, yakni PDI Perjuangan yang notabene
merupakan transformasi dari PDI Pro Mega dengan raihan suara 33,74 persen, PKB
12,61 persen, dan PAN 7,12 persen.
Partai Demokrat tercatat sukses mendulang 7,4 persen
suara di Pemilu 2004. Gerindra berhasil mendapatkan 4,5 persen suara di Pemilu
2009. Nasdem meraih 6,7 persen suara di pemilu 2014.
Keberhasilan Hanura di Pemilu 2009 juga patut
dicatat, termasuk PBB di pemilu 1999, kendati gagal mempertahankan kursi
Senayan pada pemilu berikutnya. Pada Pemilu 1999, Partai Keadilan (PK) gagal
masuk parlemen, lalu berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan
berhasil menembus Senayan di Pemilu 2004.
Pertautan Modal
Parpol baru yang akan berlaga di pemilu 2024 memerlukan pertautan
modal, sehingga dapat bertarung secara terukur dengan kompetitornya. Mengutip
Richard L Daft (2003), Philip Kotler, dan Kevin Lane Keller (2006), setidaknya
ada enam modal utama—kalau diringkas jadi rumus enam M, yakni Man, Machine,
Money, Method, Materials, Market.
Rumus itu merupakan produk dari ilmu manajemen yang
diadaptasikan dan diterjemahkan secara kontekstual di ranah praksis politik.
Formula itu tersambung dengan postulat Pierre Bourdieu (1986), terkait modal
ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Gabungan berbagai modal (capital) itu
mesti saling berkait-kelindan.
Kepincangan salah satu modal akan mempengaruhi
bangunan sebuah parpol. Pada dasarnya modal itu dapat diperluas dan
dimodifikasi lebih banyak lagi, tergantung kondisi objektif organisasi,
kebutuhan, dan tren konsumen politik. Dalam sejarah kemenangan sejumlah parpol
baru, tergambar variabel kehebatan tokoh ikon partainya, sebut saja “Great
Man”.
Partai Demokrat yang melejit kala itu, tak bisa
dilepaskan dari daya pengaruh “Great Man”: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ihwal serupa terjadi pada Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto, Hanura
yang bertumpu pada Wiranto. Namun, tak sedikit purnawirawan jenderal yang jadi
ketua umum parpol, tapi partainya gurem bahkan lenyap.
Sebut saja PKPI, ketuanya mulai dari Edy Sudrajat,
Sutiyoso, AM Hendropriyono, hingga Yussuf Solichien. Ada juga PKPB besutan R
Hartono, Partai Karya Perjuangan yang dipimpin Muhammad Yasin, Partai Berkarya
versi pimpinan Muchdi PR, Partai Prima yang digawangi R Gautama Wiranegara.
Artinya, modal yang lain mengalami defisit.
Perihal Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP),
Gus Dur (pendiri PKB), dan Amien Rais (pendiri PAN) yang terorbit ke permukaan,
bisa dikatakan kombinasi antara modal sosial, kultural, dan simbolik. Walhasil,
partai yang dibidani oleh tokoh deklarasi Ciganjur itu meraih simpati publik.
Kekuatannya terletak pada karisma personal, mesin (machine)
organisasi kemasyarakatan dan basis massa (mass) tradisional yang dikonversi
menjadi modal sosial-politik. Megawati yang dijuluki strong woman mendapat
dukungan dari konstituen nasionalis-marhaenis, terlebih bersimbol trah Bung
Karno. Adapun PKB kala itu punya figur great man Gus Dur.
Gus Dur melaju bersama mitra strategis gerakan dari
kalangan aktivis prodemokrasi, dan ormas Nahdlatul Ulama (NU). Sementara PAN
ditopang oleh ormas Muhammadiyah dengan citra Amien Rais sebagai tokoh reformis
terkemuka waktu itu. Sedangkan Yusril Ihza Mahendra pada masa cemerlangnya,
dikenal sebagai representasi pewaris Masyumi.
Dalam konteks modal ekonomi atau uang (money),
biasanya diasosiasikan dengan parpol para pengusaha. Prabowo juga dapat
dikategorikan dalam tipologi partai tersebut, lalu Surya Paloh (ketua umum
Nasdem), dengan modal plus 1M lagi: media. Kondisi kasuistik justru berbeda
dengan Hary Tanoesoedibjo, Partai Perindo besutannya belum lolos PT di pemilu
2019.
Meskipun logistiknya besar, tapi posisi partainya
masih marginal terjadi juga pada Partai Hanura pimpinan Oesman Sapta Odang.
Bahkan Partai Berkarya asuhan Tommy Soeharto ikut lenyap. Artinya, modal-modal
yang lain perlu dipadatkan lagi. Uang yang besar untuk mengelola parpol sangat
penting, tapi di titik tertentu, rupanya tidak menjamin terdongkraknya suara
partai.
Di level praktis-operasional, parpol baru seharusnya
menampilkan diferensiasi platform, kebijakan, dan branding (partai) untuk
memikat massa. Kuncinya terpantul pada pembauran 3M: metode (method), bahan
baku (materials), pasar (market). Di sini menyangkut strategi-taktik, mengolah
bahan baku berupa ide, program, narasi, manajemen isu, lalu pemasaran politik.
Kalau semua modal itu melekat erat di parpol baru,
maka PT 4 persen bisa ditaklukkan. Sungguh berat, tapi patut dicoba. Ceruk
elektoral yang dapat dirangkul juga adalah generasi milenial, sebagai pemilih
dominan di pemilu 2024 nanti. Kalau dirangkum, modal itu jadi semacam kunci 9M:
Man, Machine, Money, Method, Materials, Market, Media, Mass, Millennial.
Untuk mengaplikasikan kunci 9M itu, perlu komunikasi
pemasaran politik yang terpadu dan terintegrasi. Mengacu pada buku “Mengelola
Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar ke Politik Praktis (2018)”, bentuk
komunikasi politik di zaman modern mengadopsi bagaimana mekanisme pemasaran
bekerja untuk mempromosikan sesuatu.
Kalau dalam pemasaran, secara umum menjual produk
berupa barang dan jasa kepada para pihak yang menjadi konsumen, maka pemasaran
politik (political marketing) secara spesifik menjual atau mempromosikan produk
politik. Konsumennya adalah pihak konstituen. Maka tersebutlah komunikasi
pemasaran politik. ***