Mayoritas sumber air selain dari sungai, biasanya
terdapat di daerah yang masih terjaga keasrian lingkungan disekitarnya. Daerah
tersebut bisa saja di daerah pegunungan, hutan, maupun pedesaan di pinggiran
kota. Kemudian dari sumber-sumber air tersebut dikelola sedemikian rupa untuk
kemudian disalurkan menuju warga di daerah sekitarnya maupun daerah perkotaan
sehingga warga kota yang rumahnya jauh dari sumber air pun dapat dengan mudah
menikmati air bersih dengan sekali putaran kran. Pertanyaan yang kemudian timbul
adalah, apabila yang terjadi adalah demikian, maka bukankah akan menjadi sebuah
ironi jika warga kota dimana kebutuhan airnya sangat besar tidak melakukan
sebuah tindakan menghemat air?
Ironi akan terjadi karena yang terjadi adalah
demikian (koreksi saya kalau saya salah). Di bawah tanah terdapat saluran atau
sungai-sungai bawah tanah yang terintegrasi, baik karena sistemnya maupun
karena daya permeabilitas dari tanah tersebut. Ketika sebuah sumber air
diambil, maka volume sumber air tersebut akan berkurang. Volume sumber air
tersebut akan habis jika sumber tersebut tidak terintegrasi dengan sungai bawah
tanah yang lain, atau tidak akan habis dengan mengambil air dari sumber air
lain melalui sungai bawah tanah tersebut. Ketika musim kemarau dimana suhu
menjadi sangat tinggi dan pasokan air dari hujan tidak ada, yang terjadi adalah
habisnya volume sumber air atau paling tidak berkurangnya volume sumber air.
Dalam keadaan demikian, warga desa (dimana paling dekat dengan sumber air) akan
menjadi sangat menderita karena seperti kita tahu kondisi akses jalan mayoritas
desa di Indonesia masih kurang memadai sehingga untuk mencari air bersih di
sumber air lain membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak. Sering kita
lihat di berita dimana setiap hari seorang warga harus berjalan pulang pergi
menempuh puluhan kilometer berjalan kaki demi satu jerigen air bersih. Belum
lagi jika di sekitar desa tersebu tidak terdapat sumber air lagi, maka mereka
harus menunggu datangnya bantuan dropping air bersih dari pemerintah dan harus
antri pula untuk mendapatkannya. Itu baru kebutuhan air bersih untuk kegiatan
domestik saja. Sektor pertanian yang notabennya merupakan mayoritas lapangan
pekerjaan masyarakat desa tentu juga mengalami dampak yang serupa. Persawahan
mereka akan banyak mengalami gagal panen yang tentu berakibat terganggunya
perekonomian mereka.
Oleh sebab itu, kita sebagai warga kota dimana kita
diberi kemampuan lebih dari segi finansial maupun fasilitas dalam memperoleh
air bersih harus dapat dengan bijak dalam penggunaan air. Masih banyak diantara
kita yang sering menggunakan air secara sporadis. Menggunakan air secara
berlebihan, untuk kegiatan yang tidak perlu, maupun membuang-buang air secara
sia-sia. Kita harus ingat, tanpa adanya usaha dari warga desa untuk menjaga
kelestarian sumber air dengan segala kearifan lokalnya kita tidak akan
mendapatkan apa-apa. Usaha merekapun akan menjadi sia-sia pula. Cuaca dewasa
ini semakin tidak terprediksi. Kita tidak dapat mengetahui secara pasti lagi
kapan musim kemarau terjadi dan berapa lama itu berlangsung.
Bijaklah dalam menggunakan air bersih. Jangan
biarkan air terbuang sia-sia untuk kebutuhan yang sia-sia pula. Lebih galakkan
lagi upaya-upaya konservatif untuk menjaga kelestarian sumber-sumber air di
bumi ini. Renungkan kembali perjuangan masyarakat pedesaan yang harus berjalan
puluhan kilometer untuk mendapatkan air bersih daripada “perjuangan” kita yang
hanya memutar kran air. Itu semua semata bukan untuk kepetingan masyarakat
pedesaan saja, tapi untuk kepentingan kita semuanya dan anak cucu kita kelak.