Mengenal RealitasTradisi Kawin Paksa di Pulau Sumba, NTT

Mengenal RealitasTradisi Kawin Paksa di Pulau Sumba, NTT

Para pria menangkap dan menaikkan seorang wanita yang diduga kawin tangkap atau kawin paksa di Sumba Barat Daya, NTT. (Tangkapan Layar)


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Hari Kamis (7/9/2023) sebuah video viral di media sosial yang menunjukkan praktek kawin tangkap atau kawin paksa.

Tampak dalam video berdurasi 30 detik itu, seorang perempuan ditangkap sekelompok pria di simpang pertigaan Kalembuweri, Jalur Tena Teke dan Jalur Rara, Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), NTT.

Perempuan yang ditangkap itu sesuai informasi akan dikawin paksa atau kawin tangkap.

Lantas Apa itu Kawin Paksa sesuai tradisi orang Sumba?

Tradisi kawin paksa di Sumba adalah sebuah praktik pernikahan yang kontroversial yang masih berlangsung di beberapa komunitas di Pulau Sumba.

Praktik ini dikenal dengan nama "Marapu," yang merupakan istilah dalam bahasa Sumba yang merujuk pada agama tradisional Sumba.

Namun, penting untuk diingat bahwa praktik kawin paksa ini tidak selalu mewakili semua masyarakat Sumba, dan banyak di antaranya telah beralih ke agama Kristen atau Islam dan meninggalkan praktik ini.

Berikut beberapa informasi penting tentang kawin paksa di Pulau Sumba yang dihimpun victorynews.id dari berbagai sumber:

1. Latar Belakang Budaya

Tradisi kawin paksa di Sumba didasarkan pada sistem adat dan kepercayaan Marapu yang telah ada sejak berabad-abad.

Dalam budaya Sumba, pernikahan dianggap sangat penting, dan keluarga seringkali akan mengatur pernikahan anak-anak mereka untuk mempertahankan status sosial, ekonomi, dan kehormatan keluarga.

2. Alasan Praktik Kawin Paksa

Praktik kawin paksa biasanya terjadi ketika ada perbedaan status sosial atau ekonomi antara dua keluarga.

Misalnya, jika keluarga seorang pria kaya ingin menikahi seorang wanita dari keluarga yang kurang beruntung, mereka dapat menggunakan kekuatan, tekanan, atau ancaman untuk memastikan pernikahan terjadi.

3. Proses Kawin Paksa

Proses kawin paksa sering melenceng dari yang sesungguhnya dan dapat melibatkan berbagai tindakan kekerasan, termasuk penculikan, penganiayaan fisik, dan pemaksaan seksual.

Pria yang melakukan penculikan sering disebut sebagai "Ronggeng."

Mereka mungkin akan membawa calon pengantin wanita ke rumahnya dan memaksa pernikahan terjadi.

4. Upaya Penanggulangan

Pemerintah Indonesia telah mencoba untuk mengatasi praktik kawin paksa ini dan melindungi perempuan dari penindasan.

Hukum Indonesia melarang pernikahan paksa dan penculikan untuk pernikahan. Namun, penegakan hukum di daerah terpencil seperti Sumba mungkin sulit dilakukan.

5. Perubahan Sosial

Meskipun masih ada beberapa komunitas di Sumba yang mempraktikkan kawin paksa, perubahan sosial dan agama telah mengurangi prevalensi praktik ini.

Banyak masyarakat Sumba telah berpindah ke agama Kristen atau Islam, yang sering memiliki pandangan yang berbeda tentang pernikahan dan hak-hak individu.

Penting untuk diingat bahwa tradisi kawin paksa adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan telah menimbulkan penderitaan bagi banyak perempuan di Sumba.

Upaya terus menerus dilakukan oleh pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil untuk mengakhiri praktik ini dan melindungi hak-hak perempuan di wilayah tersebut.***

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama