Tampak dalam video berdurasi 30 detik itu, seorang
perempuan ditangkap sekelompok pria di simpang pertigaan Kalembuweri, Jalur
Tena Teke dan Jalur Rara, Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat,
Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), NTT.
Perempuan yang ditangkap itu sesuai informasi akan
dikawin paksa atau kawin
tangkap.
Lantas Apa itu Kawin Paksa sesuai
tradisi orang Sumba?
Tradisi kawin paksa di Sumba
adalah sebuah praktik pernikahan yang kontroversial yang masih berlangsung di
beberapa komunitas di Pulau
Sumba.
Praktik ini dikenal dengan nama "Marapu,"
yang merupakan istilah dalam bahasa Sumba yang merujuk pada agama tradisional
Sumba.
Namun, penting untuk diingat bahwa praktik kawin paksa ini
tidak selalu mewakili semua masyarakat Sumba, dan banyak di antaranya telah
beralih ke agama Kristen atau Islam dan meninggalkan praktik ini.
Berikut beberapa informasi penting tentang kawin paksa di Pulau Sumba yang
dihimpun victorynews.id dari berbagai sumber:
1. Latar
Belakang Budaya
Tradisi kawin paksa di Sumba
didasarkan pada sistem adat dan kepercayaan Marapu yang telah ada sejak
berabad-abad.
Dalam budaya Sumba, pernikahan dianggap sangat
penting, dan keluarga seringkali akan mengatur pernikahan anak-anak mereka
untuk mempertahankan status sosial, ekonomi, dan kehormatan keluarga.
2. Alasan
Praktik Kawin Paksa
Praktik kawin paksa biasanya
terjadi ketika ada perbedaan status sosial atau ekonomi antara dua keluarga.
Misalnya, jika keluarga seorang pria kaya ingin
menikahi seorang wanita dari keluarga yang kurang beruntung, mereka dapat
menggunakan kekuatan, tekanan, atau ancaman untuk memastikan pernikahan
terjadi.
3. Proses Kawin Paksa
Proses kawin paksa sering
melenceng dari yang sesungguhnya dan dapat melibatkan berbagai tindakan
kekerasan, termasuk penculikan, penganiayaan fisik, dan pemaksaan seksual.
Pria yang melakukan penculikan sering disebut
sebagai "Ronggeng."
Mereka mungkin akan membawa calon pengantin wanita
ke rumahnya dan memaksa pernikahan terjadi.
4. Upaya
Penanggulangan
Pemerintah Indonesia telah mencoba untuk mengatasi
praktik kawin paksa ini
dan melindungi perempuan dari penindasan.
Hukum Indonesia melarang pernikahan paksa dan
penculikan untuk pernikahan. Namun, penegakan hukum di daerah terpencil seperti
Sumba mungkin sulit dilakukan.
5. Perubahan
Sosial
Meskipun masih ada beberapa komunitas di Sumba yang
mempraktikkan kawin paksa, perubahan sosial dan agama telah mengurangi prevalensi praktik ini.
Banyak masyarakat Sumba telah berpindah ke agama
Kristen atau Islam, yang sering memiliki pandangan yang berbeda tentang
pernikahan dan hak-hak individu.
Penting untuk diingat bahwa tradisi kawin paksa adalah
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan telah menimbulkan penderitaan bagi
banyak perempuan di Sumba.
Upaya terus menerus dilakukan oleh pemerintah, LSM,
dan masyarakat sipil untuk mengakhiri praktik ini dan melindungi hak-hak
perempuan di wilayah tersebut.***